Berty Poluan
Jakarta, Madina Line.Com – Berty Poluan selaku Managing Director PT Trident Perkasa International yang berlokasi di Graha Mampang Lantai 5, Jalan Mampang Prapatan Raya Nomor 100, Jakarta Selatan (Jaksel), mengatakan, dirinya sudah bekerja di Offshore (pemboran minyak lepas pantai) sejak tahun 1970. Demikian hal itu dikatakan Berty Poluan kepada wartawan Madina Line.Com saat ditemui di sela-sela acara Railwaytech Indonesia 2024, Inamarine 2024 & Inagritech 2024, di Jakarta International Expo (JIExpo), Kemayoran, Jakarta Pusat (Jakpus), Selasa (30/07/2024).
Dijelaskannya, sekarang ia bekerja di Oil Company (Perusahaan Perminyakan) dari tahun 1970 hingga tahun 2000 dan sudah keliling Indonesia. “Oil Company itu umumnya masih berasal dari Amerika Serikat (AS), Australia dan Inggris. Semuanya eksplorasi minyak dan gas (migas). Setelah tahun 2000, setelah saya pensiun dari perusahaan perminyakan, saya ditunjuk oleh beberapa perusahaan asing. Salah satunya perusahaan di Singapura, yakni Kamen Marine yaitu mereka punya logistic based (tempat logistik) di Singapura dan di Darwin dan juga punya kapal-kapal atau tag and bars untuk angkutan general cargo atau di pemboran. Kalau di pemboran namanya angker helling towing vessel,” terangnya.
“Kalau masuk di Indonesia kapal dari luar negeri, pakai itu untuk towing. Setelah tiba di lokasi, kapal itu menjadi kapal operasional. Kapal untuk 3000 atau 4000 Metrik Ton (MT) kapasitasnya,” jelasnya.
Cuma, sambungnya, kapal memang pada umumnya untuk stand by (jaga-jaga) di Offshore. “Kalau terjadi kebakaran atau blow out di pemboran, kalau blow out namanya tekanan gas dari dalam dari sumur sampai menekan ada BOP System atau bisa-bisa setelah ditutup menyembur ke samping seperti yang terjadi di lumpur Lapindo, beberapa waktu lalu,” terangnya.
“Itu masih eksplorasi. Tentunya kalau blow out itu masih pemboran atau masih mencari. Yang dalam itu belum memakai pipa selubung masih casing (pakaian luar) namanya,” katanya.
Menurutnya, kalau ada tekanan, maka akan menyembur di situ. “Baik itu lewat pipa ke atas kalau BOP System dikunci atau malah dia menyembur kalau tanah formasinya lembek, maka ke luar dari sumur ke luar ke area pemboran. Sama seperti yang terjadi pada lumpur Lapindo. Tanah labil. Tapi Lapindo itu terjadi di darat ya,” ungkapnya.
“Kalau di laut ada juga. Setelah di blow out, ringnya sudah tidak ada di situ, itu masih menyembur terus gas dari dalam perut bumi,” ulasnya.
Upaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), sambungnya, dalam menghadapi semburan gas dari perut bumi, kalau dulu-dulu itu sumurnya langsung ditutup. “Tapi kalau memang sumur itu sudah tidak bisa ditutup itu hanya gas saja pressure (tekanan) dari dalam perut bumi. Jadi sudah tidak ada buangan atau waste. Tapi itu hanya pressurenya saja. Jadi itu namanya bubbles (gelembung) menyembur tapi itu sudah tidak ada barang beracun atau limbah beracun,” paparnya.
Ia bersyukur sudah banyak kapal yang dioperasikan oleh Pertamina Trans Kontinental (PTK) yang semua tipe kapal ada di situ. “Jadi ada yang Big Vessel, itu PTK International Shipping. Kalau PTK untuk kapal-kapal yang kecil-kecil yaitu buat Filo Tech atau membantu tanker yang akan bersandar di SPSO untuk Ekspor,” ucapnya.
“Jadi kalau kapal besar sudah mendekati SPSO tidak boleh menggunakan mesin sendiri karena takut menabrak. Jadi mungkin mesinnya kebutuhan tidak full (penuh) itu yang didorong atau ditarik oleh kapal assisst supaya tidak terjadi tabrakan,” tuturnya.
Kalau untuk Offshore, imbuhnya, jack apritnya beroperasi di Negara Malaysia dan Negara Vietnam dan proyek induknya di sana. “Perusahaan kami mewakili sebagai agencynya saja di Indonesia,” tandasnya. (Murgap)