Kuasa Hukum Terdakwa Dirut PT BMM Hans Falita Utama, Agus Sudjatmoko SH MH Ungkap Dasar Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Tidak Konsisten dan Tidak Singgung Abolisi Tom Lembong

Kuasa Hukum terdakwa Dirut PT BMM Hans Falita Utama, Agus Sudjatmoko SH MH ketika jumpa pers di luar ruang Prof Dr HM Hatta Ali SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis (30/10/2025). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Tok! Akhirnya, hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menjatuhi hukuman kepada 5 (lima) terdakwa perusahaan gula swasta dengan vonis hukuman kurungan penjara selama 4 tahun dan membayar uang denda Rp200 juta subsider 4 bulan kurungan penjara, di ruang Prof Dr HM Hatta Ali SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis (30/10/2025).
Hakim menyatakan, para terdakwa bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama dalam kegiatan impor gula di Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag RI). Lima terdakwa itu adalah Tony Wijaya Ng selaku Direktur Utama (Dirut) PT Angels Products sejak 2003, Then Surianto Eka Prasetyo selaku Direktur PT Makassar Tene sejak 2006, Eka Sapanca selaku Dirut PT Permata Dunia Sukses Utama sejak 2015, Hendrogiarto A Tiwow selaku Kuasa Direksi PT Duta Sugar International sejak 2016, dan Hans Falita Hutama selaku Dirut PT Berkah Manis Makmur (BMM) sejak 2012. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karenanya dengan pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp200 juta.
“Dengan ketentuan, apabila tidak dibayar, maka diganti pidana kurungan selama 4 bulan,” ujar Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika saat membacakan amar putusan.
Hakim mengatakan, para terdakwa telah memperoleh hasil dari Tipikor yang dilakukan. Sementara, hal yang meringankan vonis ialah para terdakwa belum pernah dihukum, serta menitipkan uang kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) RI pada saat penyidikan sebagai uang pengganti atas kerugian keuangan negara.
Hakim menyatakan, para terdakwa bersalah melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hakim juga menghukum para terdakwa membayar uang pengganti dengan nominal yang berbeda-beda.
Namun, pembayaran seluruh uang pengganti itu telah memperhitungkan penitipan uang yang dilakukan para terdakwa ke rekening pemerintah lainnya Kejagung RI. Terdakwa Eka Sapanca dihukum membayar uang pengganti Rp32.012.811.588,55, Hendrogianto Antonio Tiwow sebesar Rp41.226.293.608,16, Hans Falita Utama sebesar Rp74.583.958.290,80, Then Surianto Eka Prasetyo sebesar Rp39.249.282.287,52, dan Tony Wijaya sebesar Rp150.813.450.163,81.
Kuasa Hukum terdakwa Dirut PT BMM Hans Falita Utama, Agus Sudjatmoko SH MH mengatakan, kliennya (terdakwa Hans Falita Utama) dikenakan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor. “Kemudian, hukumannya sama bagi lima terdakwa pengusaha impor gula adalah 4 tahun penjara dan membayar uang denda Rp200 juta dan subsidair 4 bulan kurungan penjara,” ujar Agus Sudjatmoko SH MH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui di luar ruang Kusuma Atmadja 4, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis (30/10/2025).
Dijelaskannya, untuk pidana tambahan berupa membayar uang pengganti kepada lima terdakwa sesuai dengan yang telah dititipkan saat penyidikan. “Untuk terdakwa Hans Falita Utama, uang pengganti sebesar Rp74 miliar. Terdakwa Tony Wijaya sebesar Rp150 miliar, kurang lebih dan seterusnya (dst). Nah, itu yang dianggap telah dinikmati sebagai kerugian keuangan negara kepada lima terdakwa,” ungkap Agus Sudjatmoko SH MH dari Kantor Hukum Soesilo Aribowo (KHSA) yang beralamat di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan (Jaksel) ini.
“Catatan kami dari pertimbangan hukum majelis hakim, pertama, tadi amar putusannya, majelis hakim yang saat ini menurut kami tidak konsisten pertimbangan hukumnya karena majelis hakim sekarang susunannya sama dengan perkaranya mantan Mendag RI Tom Lembong dan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) Charles Sitorus. Pada saat perkara Tom Lembong dan Charles Sitorus waktu itu kerugian negaranya tidak sebesar Rp500 miliaran tapi sekitar Rp174 miliaran. Jadi dalam dakwaan Penuntut Umum itu ada 2 (dua) macam bentuk kerugian negara yakni pertama, kemahalan harga dan kedua, terkait dengan Bea Masuk (BM),” ujarnya.
Dijelaskannya, terkait dengan BM, majelis hakim yang sekarang itu sebenarnya menyatakan menolak tidak menerima dakwaan Penuntut Umum, bahwasanya kerugian negara terkait BM tidak diterima tapi sekarang dikabulkan. “Jadi tidak konsisten pertimbangan hukum majelis hakim. Padahal, saksi-saksinya itu sama, buktinya sama, audit yang dijadikan bukti dalam perkara ini sama dengan yang dijadikan bukti dalam perkara Charles Sitorus maupun Tom Lembong, sehingga kami mempertanyakan sebenarnya terkait dengan kerugian negara, bahwasanya BM itu dianggap sebagai kerugian negara itu,,” terangnya.
“Sebenarnya sudah tepat yang dinyatakan atau yang dipertimbangkan saat itu, bahwasanya dalam dakwaan Penuntut Umum yang seharusnya diimpor adalah GKP. Padahal, faktanya klien kami (terdakwa Hans Falita Utama) dan lain-lain (dll) mengimpor Gula Kristal Mentah (GKM) bukan Gula Kristal Putih (GKP), sehingga BM yang harus dibayar sesuai dengan tarif GKM. Nah, klien kami disuruh Impor GKM, masa disuruh bayar BM sesuai dengan GKP? Itu tidak masuk akal. Kurang lebih yang pertama itu, terkait catatan kami tentang kerugian negara,” urainya
Kedua, sambungnya, terkait dengan Abolisi mantan Mendag RI Tom Lembong dalam pertimbangan hukum majelis hakim tidak dipertimbangkan sama sekali. “Kemarin kita sudah mendengar yang pertimbangan hukumnya terkait Abolisi Tom Lembong sama sekali tidak disinggung. Padahal, itu fakta isudah terungkap dalam persidangan. Abolisi Tom Lembong itu artinya Tom Lembong sudah diberikan Abolisi oleh Presiden RI, yang menyatakan, bahwasanya intinya Tom Lembong tidak bersalah. Kurang lebih seperti itu,” ungkapnya.

Lima terdakwa pengusaha impor gula yang terlibat dalam pusaran perkara dugaan Tipikor penugasan PI gula Kemendag RI sedang mendengarkan putusan vonis majelis hakim di ruang Prof Dr HM Hatta Ali SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis (30/10/2025). (Foto : Murgap Harahap)
“Kalau Tom Lembong sudah dinyatakan tidak bersalah, maka selaku pelaku utama yang memberikan penugasan, masa yang diberi penugasan PI gula dinyatakan bersalah? Ini kan mencabik-cabik rasa keadilan. Logika hukumnya membingungkan,” jelasnya.
Dikatakannya, kalau yang menghapus pidana itu disebut Amnesty. “Jadi kayak perkara Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto itu dinyatakan bersalah. Jadi masih dinyatakan bersalah cuma diampuni itu namanya Amnesty. Abolisi itu berbeda. Abolisi itu perbuatannya yang dinyatakan tidak ada. Kalau teorinya, Abolisi itu menghentikan penuntutan. Artinya, perbuatannya dianggap tidak ada. Beda dengan Amnesty. Amnesty itu perbuatannya ada, bahwasanya seseorang sudah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana, cuma tidak menjalani hukuman karena sudah diampuni. Amnesty itu berasal dari kata Amnesia melupakan kesalahannya tapi tetap dinyatakan bersalah. Tapi tidak menjalani hukuman,” pungkasnya.
Menurutnya, Amnesty beda dengan Abolisi. “Abolisi itu perbuatannya dianggap tidak ada. Dihentikan tuntutannya. Kalau dihentikan tuntutannya, maka dia dinyatakan tidak bersalah. Orang dinyatakan bersalah karena dilakukan penuntutan. Kalau tidak ada penuntutan, bagaimana bisa dinyatakan bersalah?” tanyanya.
“Jadi perbuatannya sejak awal dianggap tidak ada. Terkait Abolisi dalam tuntutan jaksa tidak disinggung. Kalau dihentikan penuntutan, orang dinyatakan bersalah, berdasarkan tuntutan. Kalau tidak pernah dilakukan penuntutan, bagaimana bisa dikatakan bersalah? Dinyatakan bersalah karena ada penuntutan,” terangnya.
Dijelaskannya, putusan hakim merupakan tanggapan dari tuntutan jaksa. “Seseorang dituntut dan hakim menanggapi dan merespon atas tuntutan jaksa. Kalau dari awal tidak ada penuntutan, kan tidak perlu ada putusan. Kalau sejak awal tidak dilakukan penuntutan, bagaimana seseorang bisa dinyatakan bersalah?” tanyanya heran.
“Seseorang dinyatakan bersalah karena ada tuntutan. Kalau tidak ada penuntutan, maka seseorang tidak bisa dikatakan bersalah. Begitupun Tom Lembong. Begitu diberikan Abolisi, maka penuntutan kepada Tom Lembong tidak ada. Artinya, perbuatannya sejak awal dianggap sudah tidak ada. Nah, kalau perbuatanya sejak awal dianggap tidak ada, maka dia dianggap sebagai orang yang terpidana. Beda dengan orang yang diberikan Amnesty. Dia masih terpidana tapi tidak menjalani hukuman. Bedanya seperti itu,” tuturnya.
Tom Lembong dianggap perbuatannya tidak ada, sambungnya, perbuatan menyatakan, bahwasanya Tom Lembong memberi penugasan PI tanpa rekomendasi dan tanpa Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) dan dianggap tidak bersalah. “Tom Lembong dianggap tidak melanggar hukum. Nah, Tom Lembong yang memberi penugasan PI perbuatannya dinyatakan tidak bersalah, tapi orang yang diberi penugasan, masa dinyatakan bersalah. Nah, terkait Abolisi itu clear (jelas) sudah kami jelaskan. Mau berdebat dengan siapa pun, klien kami (terdakwa Hans Falita Utama) masih dinyatakan bersalah, itu tidak masuk akal,” ucapnya.
Ia mengatakan, selama 7 (tujuh) hari ke depan akan mengambil sikap pikir-pikir. “Akan kita diskusikan karena sebenarnya ketika seseorang menerima putusan itu bukan berarti menerima atau mengakui kesalahan. Kayak Charles Sitorus kemarin saat menjadi saksi di perkara ini, itu juga menyatakan, bahwasanya dia dihukum kurungan penjara selama 4 tahun, kemudian tidak melakukan kasasi. Hukuman 4 tahun tidak dibanding itu dikuatkan dan dia menyatakan tidak melakukan kasasi karena Charles Sitorus sudah lelah dan tidak memiliki harapan terhadap sistem peradilan di Indonesia, sehingga bukannya dia menerima putusan hakim sebenarnya tapi sudah punya bayangan apa yang akan dihadapi nanti ketika kasasi, sehingga nanti kita tidak tahu kalau nanti Charles Sitorus menerima putusan hakim berarti ia mengakui kesalahan karena dengan variabel dan faktor yang perlu dipertimbangkan,” katanya.
“Maka, bisa jadi Charles Sitorus tidak melakukan banding. Tapi sementara kita menyatakan sikap akan berpikir-pikir untuk terdakwa Hans Falita Utama,” tandasnya. (Murgap)
