Kuasa Hukum Terdakwa Komut PT Petro Energy Jimmy Masrin, Waldus Situmorang SH MH Pertanyakan Kenapa Dari PT Kutilang Paksi Mas (KPM) Tidak Ada yang Ditersangkakan, PT KPM Juga Berutang Hampir Rp300 M
Waldus Situmorang SH MH
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan perkara dugaan Tipikor pembiayaan ekspor Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dengan 3 (tiga) terdakwa yakni Direktur Utama (Dirut) PT Petro Energy Newin Nugroho, Direktur Keuangan Susy Mira Dewi Sugiarta dan Presiden Direktur (Presdir) PT Caturkarsa Megatunggal sekaligus Komisaris Utama (Komut) PT Petro Energy Jimmy Masrin, di ruang Wirjono Projodiikoro 2, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis (25/09/2025).
Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuding adanya penyalahgunaan fasilitas kredit oleh PT Petro Energy melalui penggunaan dokumen yang disebut fiktif, serta
mengaitkannya dengan dugaan kerugian negara sebesar 22 juta dolar Amerika Serikat (AS) dan Rp600 miliar. Agenda sidang hari ini, jaksa KPK menghadirkan 5 (lima) saksi yakni Andrianto Lesmana selaku Direktur PT Petro Energy, Jubilant Arda Harmidy selaku Dirut PT Pada Idi, Giovani Suheri selaku mantan Direktur Mitradas Sinergi Selaras, Reymond dan 1 (satu) orang saksi lainnya untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, jaksa dan tim Kuasa Hukum terdakwa.
Kuasa Hukum terdakwa Presdir PT Caturkarsa Megatunggal sekaligus Komut PT Petro Energy Jimmy Masrin, Waldus Situmorang SH MH mengatakan, sesungguhnya sejak awal, ini perjanjian sudah dicover (dilindungi) dengan corporate guaranted (jaminan perusahaan) dan Lander of Undertaking (LoU) artinya sudah sungguh menjamin. “Artinya, dari awal ini sudah diberikan jaminan, bahwa tidak akan ada kehilangan uang karena mereka sudah sejak awal akan memberikan dengan segala apa pun mereka akan memberikan,” ujar Waldus Situmorang SH MH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
“Nah, persoalannya terjadi sesuatu karena mungkin tata kelola bisnis yang kurang menguntungkan, sehingga pada waktu itu dihitunglah semua utang-utang ini sebesar Rp844 miliar sekian dengan kurs dollar Amerika Serikat (AS) Rp14.000 per 1 dollar AS pada tahun 2021. Dihitunglah 60 juta dollar AS. Karena PT Pada Idi memberikan corporate guaranted, dan kemudian PT Caturkarsa Megatunggal juga memberikan corporate garansi dan Memorandum of Understanding (MoU), maka kemudian dibagilah utang mereka itu 50 dengan 10 karena Rp844 miliar itu tadinya dikonversi dengan kurs 1 dollar AS sama dengan Rp14.000 yaitu 60 juta dollar AS. Nah, dibagilah itu yang PT Pada Idi 50 juta dollar AS dan PT Caturkarsa Megatunggal 10 juta dollar AS. Inisiasi pembagian ini datang dari terdakwa Jimmy Masrin. Jadi sejak awal tidak ada maksud apa-apa. Dia ajukan surat dan ajukan proposal ke LPEI kemudian rapat lah di sana. Ketika itu sudah diletakan kepailitan kepada PT Petro Energy. Jadi sesungguhnya penyelesaian itu alamiah,” terang Waldus Situmorang SH MH dari Kantor Hukum Soesilo Aribowo (KHSA) yang beralamat di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan (Jaksel) ini.
Artinya, sambungnya, bahwa kepailitan, jual barang bayar, jual barang bayar dan jual barang, bayar. “Tapi ternyata tidak demikian. Ini dilakukan skema di luar kepailitan dengan mengadakan corporate guaranted tadi dengan LoU. Maka, terjadilah pembagian 50 dengan 10 tadi,” terangnya.
“Pertanyaannya, itu pembayaran untuk berdua, argonya itu beda jalan. Kalau PT Caturkarsa Megatunggal mulai 2021 yang akan berakhir pada 2025 di Desember, sedangkan itu argonya mulai 2024 dan akan berakhir di 2028,” ungkapnya.
Pertanyaannya, imbuhnya, pembayaran tadi itu dalam bentuk dollar, padahal pinjaman dalam bentuk rupiah. “Nah, kita sudah tahu, kalau dia pembayaran secara dollar, harganya itu tidak flat pada waktu perjanjian. Dia mengikuti harga pasar. Maka, kemudian terjadi lonjakan-lonjakan dan itu tidak bisa dihindari karena market (pasar),” tegasnya.
Ia mengambil contoh, untuk pembayaran periode September 2025, 2,5 juta dollar AS kalau itu dikali kurs 1 dollar sama dengan Rp14.000 sekian, sekarang kurs dollar AS sudah Rp16.000 sekian, hampir Rp41 miliar. “Notabene perbedaannya sampai Rp7 miliar. Kalau demikian, dikalikan 20 (dua puluh) pembayaran, kurang lebih Rp140 miliar diraup oleh LPEI tanpa uang itu bekerja untuk dirinya,” paparnya.
“Artinya, LPEI tidur saja kan? Makanya, saya tanya apakah LPEI tidak berbelas kasihan? Metode yang sama, sama dengan PT Caturkarsa Megatunggal terkait pembayaran. Semua itu dilakukan dengan pembayaran secara tertib dan teratur, sehingga mengeluarkan sepucuk surat setiap kali pembayaran, bahwa sisi utang ini adalah dalam status Performing Loan (PL) atau artinya lancar semuanya,” ungkapnya.
Oleh karena itu, sambungnya, kalau misalnya PT Pada Idi sudah membayar dan PT Caturkarsa Megatunggal sudah membayar, bagaimana dengan bundel pailit. “Kan bundel pailit dipegang oleh kurator. Makanya saya bilang, tidakkah ada maksud untuk menyelesaikan itu? Karena kalau dia bayar kan tidak boleh lagi dong. Karena kan tujuan penjualan kurator untuk pembayaran utang. Pembayaran utang sudah diselesaikan dengan skema di luar kepailitan,” katanya.
Ia menegaskan, tidak ada kerugian negara sepeser pun. “Bahkan negara itu beruntung. Saya bilang tadi LPEI meraup selisih kurs Rp140 miliar kalau dua puluh kali pembayaran,” ucapnya.
“Pertanyaannya, kalau klien kami (terdakwa Jimmy Masrin) ditersangkakan, kenapa dari PT Kutilang Paksi Mas (KPM) tidak ditersangkakan?” tanyanya.
Menurutnya, PT KPM juga berutang hampir Rp300 miliar dan pembayarannya hanya Rp2 miliar per bulan. “PT Petro Energy pembayarannya Rp40 miliar dan lancar lagi,” katanya.
“Jadi dalam perkara ini ada perlakuan yang tidak adil,” tegasnya.
Ia mengharapkan keterangannya menjadi bahan pertimbangan bagi majelis hakim untuk mengambil keputusan. “Karena pertama, terjadikah pinjaman itu? Jawabnya terjadi. Kedua, terjadikah kerugian negara? Jawabnya tidak. Karena yang utama itu kan yang dicegah kerugian negara tapi dalam perkara ini tidak ada kerugian negara. Boleh terjadi perbuatan menyimpang tapi kalau kerugian negara itu tidak ada. Itu sama dengan onslagh (lepas). Mudah-mudahan keterangannya menjadi bahan pertimbangan bagi majelis hakim,” tuturnya.
Ia hanya bertanya kepada saksi Andrianto Lesmana itu karena ada sengketa pendapat dengan saksi Andrianto Lesmana soal PT KPM. “Karena terdakwa Jimmy Masrin ini posisinya sebagai Komut PT KPM. Apakah ada cawe-cawe? Ternyata saksi Andrianto Lesmana kasih penjelasan, bahwa kliennya tidak ada cawe-cawe. Itu bagus semua. Itu artinya, terdakwa Jimmy Masrin ini sebagai Komut PT Petro Energy dan memposisikan dirinya ada di dalam komisaris dan tidak mau turut campur. Karena urusan kepengurusan perusahaan dilakukan oleh direksi. Dia konsisten di situ. Jadi itu lah intinya,” tandasnya. (Murgap)