Erwan Suryadi SH
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan dugaan Tipikor pada perkara kasus dugaan Tipikor pengadaan 1,1 juta set lebih alat pelindung diri (APD) Corona Virus Disease-19 (Covid-19) dengan terdakwa eks Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) Budi Sylvana dan sejumlah pengusaha yang merugikan negara Rp319.691.374.183,06 (Rp319,6 miliar) di ruang Prof Dr Kusumah Atmadja SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Senin (10/03/2025).
Adapun sejumlah pengusaha yang terlibat itu adalah Direktur Utama (Dirut) PT Energi Kita Indonesia (EKI) dan Dirut PT Permana Putra Mandiri (PT PPM) Ahmad Taufik dan Satrio Wibowo. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dakwaannya menyebut kerugian negara itu merujuk pada hasil perhitungan kerugian negara yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia (BPKP RI).
“Mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp319.691.374.183,06,” kata Jaksa KPK di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Selasa (04/02/2025).
Dalam dakwaannya, jaksa menyebut perbuatan ini dilakukan Budi, Satrio, dan Taufik bersama-sama Komisaris Utama (Komut) PT PPM Siti Fatimah Az Zahra, legal PT EKI Isdar Yusuf, dan Sekretaris Utama (Sestama) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Harmensyah pada kurun 2019 hingga Mei 2020. Dalam pengadaan itu, Budi duduk sebagai PPK Kemenkes RI, sementara Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dijabat Harmensyah.
Adapun sumber dana pengadaan APD ini berasal dari Dana Siap Pakai (DSP) BNPB Tahun 2020. Perkara ini berawal dari kondisi pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia pada 2020.
Pada 29 Februari 2020, Kepala BNPB yang saat itu dijabat Almarhum (Alm) Doni Monardo menandatangani Keputusan Kepala BNPB tentang Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia. Saat itu, terdapat sejumlah perusahaan di Kawasan Berikat Bogor dan Bandung, Jawa Barat (Jabar), yang memproduksi APD merek BOHO.
Merek ini dimiliki perusahaan Korea Selatan (Korsel) UPC Ltd melalui PT Daekyung Glotech dengan tujuan ekspor ke negeri ginseng tersebut. Perusahaan-perusahaan itu adalah PT Daedong International, PT Permata Garment, PT Pelita Harapan Abadi, PT GA Indonesia, PT Indomatra Busana Jaya, dan PT ING International.
Pada 16 Maret 2020, Menteri Perdagangan (Mendag) RI saat itu, Agus Suparmanto menandatangani Peraturan Mendag yang melarang ekspor sementara antiseptik, bahan baku masker, APD, dan masker. Karena ingin meraup keuntungan dari penjualan APD di Indonesia,
Direktur PT Daekyung Glotech, Kim Jae Yeol, meneken perjanjian dengan Dirut PT Yoon Shin Jaya, Shin Dong Keun, untuk memasarkan APD merek BOHO di Indonesia. “Padahal, saat itu terdakwa belum menjabat Dirut PT EKI, selain itu PT EKI tidak mempunyai kualifikasi sebagai penyedia barang atau jasa sejenis di instansi pemerintah,” tutur Jaksa KPK.
Meski demikian, permainan Satrio berlanjut. Ia membuat surat-surat yang menyatakan seolah-olah PT EKI menjadi distributor tunggal APD merek BOHO di Indonesia.
Kemudian, pada Maret 2020 hingga Mei 2020, berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Ditjen BC) bukti pengiriman surat, dan rekapitulasi pengiriman APD, sebanyak 2.140.200 APD telah diterima di Gudang Tentara Nasional Indonesia (TNI) Halim Perdanakusuma. Namun, baru 1.010.000 set APD yang dibayar dengan harga Rp711.284.704.680 (Rp 711,2 miliar).
Padahal, berdasarkan audit BPKP RI ditemukan, bahwa biaya nyata (real cost) dan pengiriman 2.140.200 APD itu hanya Rp391.593.330.496,94 atau Rp 391,5 miliar. Jaksa lantas menyimpulkan, perbuatan Satrio, Budi, Taufik, Siti Fatimah, Isdar, dan Harmensyah terkait pengadaan 170.000 set APD tanpa surat pesanan, negosiasi, dan penandatanganan surat pesanan 5 juta set APD hingga pembayaran 1 juta set APD senilai Rp711,2 miliar melanggar hukum.
Satrio dan terdakwa lainnya kemudian didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Juncto (Jo) Pasal 18 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pada sidang kali ini, Jaksa KPK menghadirkan 3 orang saksi yakni dari Auditor BPKP RI, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan BNPB untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, Jaksa KPK dan tim Kuasa Hukum dari ketiga terdakwa.
Kuasa Hukum terdakwa PPK Kemenkes RI Budi Sylvana, Erwan Suryadi SH mengatakan, keterangan perhitungan Auditor BPKP RI normatif sesuai yang tadi disampaikan di muka persidangan, mengenai ada marjin 15% acuannya adalah terhadap pesanan awal yang dikirimkan ke Kemenkes RI, di situ ada perhitungan. “Komponennya tidak disebutkan hanya mengacu kepada apa yang sudah ada karena perhitungan harga yang wajar itu tidak ada. Maksudnya tidak ada acuan yang wajar harus sekian-sekian itu tidak ada. Jadi hanya mengacu kepada yang sudah berjalan dan sudah berjalan itu adalah pengiriman pertama kali yang pesanan Kemenkes RI itu dihitung profit 15%. Itu yang mereka pakai acuannya,” ujar Erwan Suryadi SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Kemudian, sambungnya, terkait audit mengenai harga yang harusnya seperti apa tadi sudah disampaikan dan tidak ada keberatan keterangan perhitungan Audit BPKP RI oleh terdakwa Satrio Wibowo maupun dari terdakwa Ahmad Taufik. “Keterangan saksi dari LKPP menyampaikan, bahwa dasar-dasar pengambilan kebijakan yang dilakukan. Jadi misalkan yang dilakukan adalah menyesuaikan dengan kondisi darurat, kita tidak bisa mengacu kepada acuan normal,” ungkap Erwan Suryadi SH dari kantor law firm Lex Luminis ini.
“Kondisi pada saat itu cukup darurat dibutuhkan kecepatan, maka harus mengambil langkah-langkah yang cukup mengikuti kondisi itu,” katanya.
Dijelaskannya, apa yang sudah dilakukan oleh PPK sudah mengikuti arahan dari acuan keadaan darurat yang disampakan oleh dari LKPP. “Saksi dari BNPB keterangannya menyesatkan. Jawabannya cuma dua yakni tidak tahu dan tidak ingat,” ungkapnya.
Menurutnya, sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) tindakan dari PPK melakukan pembayaran adalah sesuai dengan kondisi memang itu harus dibayarkan untuk kesinambungan pembayaran berikutnya. “Kalau tidak dibayar, pemesanan berikutnya akan berpengaruh dan tindakan pembayaran terlebih dahulu pun itu dimungkinkan dalam kondisi darurat, bahwa perhitungan akan dilakukan kemudian dan itu sudah dilaksanakan,” tegasnya.
Ia mengharapkan untuk kliennya posisi positif dan tidak ada SOP yang dilanggar. Agenda sidang selanjutnya akan digelar pada Jum’at (14/03/2025), jaksa masih menghadirkan saksi fakta.
“Setelah jaksa menghadirkan semua saksi di muka persidangan, baru nanti saksi dari kita akan dihadirkan dan Ahli juga akan kita hadirkan satu orang,” tandasnya. (Murgap)