Brigjen Pol (Purn) Drs M Zulkarnain MM MH
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Umum (Tipidum) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) kembali menggelar acara sidang lanjutan dengan Nomor pokok perkara 141 yang menjerat mantan Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Wakabareskrim Mabes Polri) Inspektur Jenderal Polisi (Irjen Pol) Purnawirawan (Purn) Drs Johny M Samosir selaku terdakwa dalam perkara perjanjian antara PT Konawe Putra Propertindo (KPP) dan PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) pada tanggal 28 Maret 2018, atas perjanjian aquo, para pihak tidak menaati perjanjian, sehingga objek tanah yang diperjualbelikan jadi sengketa di ruang Oemar Seno Adji 1, PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran. Jum’at siang (26/05/2023).
Pada sidang hari ini, agendanya adalah pemeriksaan terdakwa mantan Wakabareskrim Mabes Polri Irjen Pol (Purn) Drs Johny M Samosir untuk memberikan keterangan dan penjelasan di hadapan majelis hakim, JPU dan tim Kuasa Hukum terdakwa mantan Wakabareskrim Mabes Polri Irjen Pol (Purn) Drs Johny M Samosir. Kuasa Hukum terdakwa mantan Wakabareskrim Mabes Polri Irjen Pol (Purn) Drs Johny M Samosir, Brigjen Pol (Purn) Drs M Zulkarnain MM MH menanggapi terkait keterangan dan penjelasan kliennya terdakwa Johny M Samosir, adanya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) atau diberhentikannya berkas laporan perkara terdakwa Johny M Samosir dari Polda Sulawesi Tenggara (Sultra) ketika masuk ke Bareskrim Mabes Polri atas perintah pimpinan di Bareskrim Mabes Polri, harusnya dilanjutkan ke tingkat penyidikan, malah tidak dilanjutkan alias diberhentikan.
“Jadi begini di dalam proses penyidikan itu ada Peraturan Kepala Polisi Republik Indonesia (Perkapolri). Dulu ada Perkapolri Nomor 10 berubah jadi Perkapolri Nomor 12 dan terakhir ada Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Manajemen Penyidikan atau Proses Penyidikan Tindak Pidana,” ujar Brigjen Pol (Purn) Drs M Zulkarnain MM MH yang juga mantan Penyidik Reserse di Kepolisian selama 20 tahun ini kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang.
Dikatakannya, apabila kasus perkara pidana yang diproses oleh penyidik baik oleh Bareskrim Mabes Polri dan penyidik Polisi Daerah (Polda), itu ada aturannya. “Manakala penyidik kepolisian tidak menemukan cukup bukti atau digelar perkara dulu dan diundang lah pelapor dan terlapor dan disampaikan lah dan digelar lah perkara itu, lalu dijelaskan apa tersangkanya memenuhi unsur pidana atau tidak? Kalau tidak, maka dihentikan. Itu sesuai isi dari Perkapolri loh,” terang mantan Kepala Polda (Kapolda) Banten ini.
“Perkapolri aturannya ada. Faktanya, Bareskrim Mabes Polri menarik perkara dari Polda Sultra tidak sesuai dengan Perkapolri Nomor 6 tahun 2019, dalam hal gelar perkara,” tegasnya.
Menurutnya, Perkapolri tidak dilaksanakan. “Harusnya menggelar perkara itu adalah Koordinator Pengawas Penyidikan atau Korwas Sidik. Karena Korwas Sidik memiliki Direktur sendiri,” ungkapnya.
“Artinya, diundang dong si terlapor dan pelapor berikut saksi-saksinya perlu dihadirkan di muka persidangan. Pada faktanya, tidak diundang. Tidak jelas apa SP3-nya. Harusnya dijelaskan SP3-nya tidak cukup bukti atau apa, hanya kurang bukti saja alasan SP3 Bareskrim Mabes Polri terhadap kliennya. Tidak jelas,” urainya.
Terkait 64 surat itu, sambungnya, belum termasuk ke Barang Bukti (BB). “Tapi saya bicara soal fakta hukum dan aturan, Perkapolri itu adalah aturan yang sudah setingkat dengan Undang-Undang (UU) dan harus dipatuhi,” jelasnya.
“Kalau tidak dipatuhi, maka melanggar UU. Saya hafal kok dan saya ikut dalam pembahasan Perkapolri Nomor 10, dan saya sempat mengikuti pembahasan Perkapolri Nomor 10 tapi Perkapolri yang terakhir tidak mengikuti karena saya kan sudah pensiun untuk pembahasan Perkapolri Nomor 6 tahun 2019,” ungkapnya.
Untuk pembahasan Perkapolri Nomor 10, imbuhnya, dirinya mengikuti dari awal. “Saya tahu betul Perkapolri tersebut. Saya sangat hancur terkait dengan proses penyidikan terhadap klien saya yakni terdakwa mantan Wakabareskrim Mabes Polri Irjen Pol (Purn) Johny M Samosir. Selama 20 tahun saya bertugas di Reserse mulai dari tingkatan 1 sampai Direktur. Jadi saya paham betul arah penyidikan Bareskrim Mabes Polri mau ke mana arah penyidikannya, saya tahu,” akunya.
“Sampai berkas perkara klien saya ini tahu saya ke mana arah penyidikan ini. Paham benar. Apa lagi tadi oleh klien saya terdakwa Johny M Samosir di muka persidangan disebut nama Jenderal Polisi Ferdy Sambo. Saya ini mantan polisi loh dan terdakwa Johny M Samosir ini teman saya dan kita sama-sama orang di Reserse. Bergaul lama sama saya di Reserse, Johny M Ssmosir. Jadi saya sangat paham tapi kok tiba-tiba klien saya terdakwa Johny M Samosir jadi Tersangka (Tsk). Padahal, beliau yang melapor?” tanyanya heran.
Ia menilai pada perkara kliennya ini ada unsur abuse of power, artinya melampaui batas kewenangan. “Ini yang harus ditertibkan. Bereskrim Mabes Polisi harus tertib,” imbaunya.
“Dulu senior saya pernah mengajarkan kepada saya dan mengingatkan kepada saya, “Hei Zulkarnain kamu sekarang di Bareskrim. Bareskrim adalah benteng terakhir dalam proses penyidikan”. Itu senior saya mengajarkan saya dan mendidik saya seperti itu,” tuturnya.
Apabila Bareskrim itu tidak tertib hukum, sambungnya, hancur lah institusi Polri. “Ada namanya sistem Stratifikasi Proses Penyidikan yang merupakan tingkatan. Bila Polisi Resor (Polres) tidak mampu, maka ditariklah ke Polda. Jika Polda tidak mampu tarik ke Bareskrim Mabes Polri. Makanya, Bareskrim itu adalah benteng terakhir proses penyidikan,” katanya.
“Apabila Bareskrim tidak benar dalam proses penyidikan, maka hancur lah institusi Polri,” tandasnya. (Murgap)