Yonatan Christofer SH MH
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan kasus dugaan Tipikor Persetujuan Impor (PI) baja atau besi, baja paduan dan produk turunannya tahun 2016 sampai dengan 2021 dengan terdakwa Tahan Banurea (TB) selaku Kepala Sub Bagian Tata Usaha (Kasubag TU) Kemendag RI periode 2017 hingga 2018 dan Kepala Seksie (Kasie) Barang Aneka Industri periode 2018 hingga 2020 pada Direktorat Impor Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Ditjen Daglu Kemendag RI), Taufik (T) selaku Manager di PT Meraseti Logistik Indonesia, dan Budi Hartono Linardi (BHL) selaku owner atau pemilik PT Meraseti Group, di ruang Prof Dr H Muhammad Hatta Ali SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jum’at siang (24/02/2023).
Pada sidang kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan 2 orang Ahli yakni Ahli Metalurgi, Ahli Perhitungan Kerugian Negara dari BPKP dan seorang saksi verbalisasi (Penyidik Kejaksaan Agung Republik Indonesia atau Kejagung RI) untuk memberikan keterangannya di hadapan majelis hakim dan Tim Kuasa Hukum dari ketiga terdakwa serta JPU. Kuasa Hukum owner atau pemilik PT Meraseti Group Budi Hartono Linardi (BHL), Yonatan Christofer SH MH mengatakan, berdasarkan keterangan Ahli Metalurgi, bahwa Ahli Metalurgi itu tidak mempunyai kapasitas atau tidak mengetahui mengenai detailnya HS code baja.
“Ahli Metalurgi menyampaikan, hanya mengetahui penggunaan HS code itu untuk pengelompokan jenis barang. Bukan untuk terkait dengan pengenaan tarif yang dikenakan oleh negara,” ujar Yonatan Christofer SH MH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Oleh karena itu, sambungnya, itu lah yang ia pertanyakan kapasitas keilmuan dan pengetahuan Ahli Metalurgi terkait HS code baja seperti apa. “Kalau memang keterangan Ahli Metalurgi didukung dengan adanya aturan hukum yang mengatur tentang HS code, tentunya Ahli Metalurgi bisa menyampaikan di muka persidangan, tapi Ahli Metalurgi tidak bisa menyampaikannya karena kapasitasnya sebagai Ahli Metalurgi,” paparnya.
“Kalau dari keterangan Ahli Perhiitungan Kerugian Negara dari BPKP disampaikan, bahwa ia hanya melakukan perhitungan dari ini dan itu. Artinya, apa data yang disampaikan oleh penyidik Kejagung RI dianalisa sepihak olehnya tanpa dilakukan konfrontir ataupun wawancara pada pihak terkait, maka Ahli Perhitungan Negara ini mengeluarkan hasil perhitungannya,” jelasnya.
Menurutnya, hasil perhitungannya pun sama dan justru yang menurutnya kurang tepat adalah dirujuk kepada Circum Convention atau Pengalihan HS code berdasarkan dari keterangan Ahli Metalurgi. “Sedangkan Ahli Metalurgi, tidak mengetahui mengenai hal itu. Nah, itu justru yang ingin kita sampaikan, bahwa jika keterangan Ahli Metalurgi ragu terhadap HS code baja itu, bagaimana hasil perhitungan yang dikeluarkan berdasarkan dari keterangan Ahli Metalurgi itu sendiri?” tanyanya.
“Itu yang perlu sama-sama kita pertanyakan. Makanya, nanti akan kita tanggapi dalam Nota Pembelaan atau Nota Pledoi terdakwa BHL,” ungkapnya.
Dijelaskannya, perkara kliennya ini belum putus tapi sudah seakan-akan kerugian negara itu nyata. “Padahal, pihak Bea Cukai (BC) yang berwenang diberikan Undang-Undang (UU) untuk berwenang melakukan penagihan barang impor, justru tidak mengeluarkan adanya tagihan yang tertunda. Semuanya itu klop dan sesuai, barang yang datang HS codenya apa dan dikenakan biayanya berapa,” terangnya.
“Hal itu juga yang ditanyakan di muka persidangan, apakah dalam melakukan perhitungan kerugian negara, dilibatkan pihak BC selaku pihak yang berwenang untuk melakukan penagihan, ternyata tidak dilakukan,” ujarnya.
Jadi memang dari awal, sambungnya, perkara ini berjalan dan kebetulan ia adalah Kuasa Hukum dari terdakwa BHL yang kedua. “Jadi sepert apa awalnya, kita tidak mengerti,” ungkapnya.
“Kerugian negara itu dinyatakan oleh Ahli Perhitungan Kerugian Negara itu sendiri hanya berdasarkan keyakinannya. Itu yang kita pertanyakan. Terkait soal pengenaan biaya, aturan hukum mana yang dilanggar?” tanyanya lagi.
Pasalnya, imbuhnya, semua importasi ini sesuai dengan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI). “Sesuai keterangan saksi dari BC, pada sidang sebelumnya menyatakan, bahwa untuk para importir ini sudah tidak ada sangkut pautnya lagi ke negara karena semua barang sudah dibayarkan. Karena kalau barang tidak dibayarkan, maka barang tidak bisa keluar,” urainya.
“Berdasarkan keterangan Ahli Perhitungan Kerugian Negara juga berdasarkan keterangan Ahli Metalurgi, Ahli Metalurgi sendiri pun tidak mengetahui sampai ke sana penggunaan HS code untuk apa. Jadi kita tunggu sama-sama hasilnya seperti apa nantinya,” tuturnya.
Terkait HS code 7225 dan 7208, sambungnya, HS code 7225 itu adalah baja paduan dan HS code 7208 adalah baja carbon. “Nah dari keterangan Ahli Metalurgi yang sama-sama kita dengarkan di muka persidangan, bahwa sebenarnya HS code itu harus mengikuti BTKI. Jadi ketika yang menyatakan HS code itu adalah dari seorang Ahli Metalurgi, makanya kita pertanyakan, dasarnya Ahli Metalurgi itu apa mengelompokkan HS code?” tanyanya heran.
“Karena ketika melakukan importasi, barang baja itu kan menggunakan UU Kepabeanan,” ucapnya.
Agenda sidang selanjutnya akan digelar pada Senin (27/02/2023) dengan menghadirkan Ahli Hukum Pidana, Ahli Perekonomian Negara dan Ahli dari Badan Pusat Statistik (BPS) atas permintaan dari JPU. “Kesempatan terdakwa BHL untuk menghadirkan Ahli pada hari Kamis dan Senin,” jelasnya.
Ia mengharapkan perkara kliennya ini makin jelas dan mengetahui semakin ke sini seperti apa hasilnya nanti. “Sebenarnya, perkara ini terkait importasi. Justru satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan penarikan ataupun penagihan terkait biaya adalah BC. Kalau BC tidak mempersalahkan kenapa pihak lain yang mempermasalahkan,” tandasnya. (Murgap)