Oleh Dr Wirawan B Ilyas Ak SH MSi MH CPA CPI
Pengantar
Pada bulan April dan Mei yang lalu Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) telah menetapkan 5 (lima) orang tersangka terkait dengan kasus korupsi ekspor minyak kelapa sawit atau Cruide Palm Oil (CPO) beserta turunannya, termasuk minyak goreng (Majalah Tempo, 29 Agustus-4 September 2022). Para tersangka terdiri dari kalangan pejabat Eselon I Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI dan kalangan eksekutif perusahaam swasta industri persawitan.
Kasus tersebut menarik perhatian publik karena minyak goreng (migor) merupakan kebutuhan pokok masyarakat luas termasuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) seperti rumah makan, pedagang tempe goreng, tahu goreng, dan pisang goreng. Terganggunya pasokan minyak goreng di dalam negeri membawa berbagai konsekuensi antara lain kenaikan harga.
Di sisi lain, terbatasnya pelaku usaha di sektor perkebunan kelapa sawit dan minyak goreng juga berimbas terhadap penyediaan supply (pasokan) di pasaran. Hal ini harus menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi pemerintah dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menata dan mengkaji ulang industri kelapa sawit yang ada beserta produk turunannya, sehingga ke depan, kasus ini diharapkan tidak terjadi lagi.
Strategi jangka pendek, menengah dan panjang perlu disiapkan termasuk industri sektor lainnya yang vital dalam sistem perekonomian nasional dan kebutuhan pokok masyarakat.
Kerugian Negara
Salah satu unsur penting dalam tindak pidana korupsi (Tipikor) adalah terdapatnya kerugian negara yang tertuang dalam angka nominal rupiah yang pasti. Tanpa adanya unsur kerugian negara, maka tindak pidana tersebut belum memenuhi unsur untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Dalam kasus minyak goreng ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyebutkan kerugian dengan memisahkan 2 (dua) jenis hitungan yaitu kerugian keuangan negara sebesar Rp6.07 triliun, merugikan perekonomian negara Rp12.312 triliun serta menimbulkan keuntungan ekspor tidak sah (Illegal Profit) pada perusahaan kelapa sawit yang juga diberlakukan sebagai kerugian negara oleh JPU. Penulis membatasi kajian dari sisi sudut pandang akademik agar unsur kerugian khususnya kerugian perekonomian negara dan Illegal Profit dapat dipahami dengan baik.
Penilaian kerugian umumnya mengacu kepada konsep Ekonomi dan Akuntansi. Kerugian menurut konsep Ilmu Ekonomi juga tidak sama dengan konsep Ilmu Akuntansi.
Sedangkan, dari kacamata hukum pidana, penilaian kerugian tersebut harus jelas, pasti (bukan estimasi, bukan potensi). Itulah sebabnya dalam Hukum Pajak tidak mengakui perhitungan laba rugi secara akuntansi begitu saja, meskipun perhitungan penghasilan kena pajak sudah berbasiskan pembukuan (Akuntansi) sesuai dengan peraturan Perundang-undangan Perpajakan, khususnya bagi Wajib Pajak (WP) Badan, tetapi harus dilakukan rekonsiliasi atau penyesuaian fiskal di sana sini atas pos-pos tertentu.
Hal ini disebabkan adanya perbedaan yang bersifat permanen dan temporer antara norma Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan dan Standar Akuntansi Keuangan. Penilaian yang diatur pada Standar Akuntansi Keuangan (SAK) sarat dengan estimasi, asumsi dan penggunaan fair value accounting, sehingga secara Hukum Pajak mengandung unsur tidak pasti, sehingga kerugian yang dialami korporasi yang berdasarkan laporan keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik tidak sama dengan rugi secara fiskal berdasarkan Hukum Pajak.
Padahal, UU Perpajakan sangat erat berkaitan dengan Akuntansi Keuangan. Kerugian dalam pengertian Ilmu Ekonomi dijelaskan dengan konsep well offness atau better offness.
Kekayaan seseorang, negara, perusahaan pada suatu titik waktu dibandingkan dengan kekayaan atau miliknya pada titik waktu sebelumnya atau sesudahnya (Theodorus M. Tuanakotta, 2018). Dakwaan kejaksaan memisahkan 2 (dua) jenis hitungan dengan menyatakan ada kerugian negara Rp6,07 triliun dan kerugian perekonomian negara sampai Rp12,312 triliun dan Illegal Profit yang merupakan kerugian keuangan negara Rp2.4 triliun.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kejaksaan menghitung kerugian perekonomian negara dan kerugian negara dari Illegal Profit tersebut? Dalam pemahaman penulis, hitungan kerugian perekonomian negara tidak bisa dihitung pasti berdasarkan satu komoditas.
Hitungan perekonomian negara merupakan Ilmu Ekonomi makro yang dalam literatur menjelaskan, indikator kemajuan atau kemunduran perekonomian nasional (pertumbuhan ekonomi) secara menyeluruh melalui pendekatan pendapatan nasional. Dikatakan Prof Simon Kuznets (Penerima Nobel Ekonomi 1971), A country’s economic growth may be defined as a long term rise in capacity to supply increasingly diverse economic goods to its population.
Jadi ekonomi bertumbuh, jika pendapatan nasional per kapita meningkat. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara, yaitu faktor Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber Daya Alam (SDA), teknologi, modal dan hukum.
Berdasarkan konsep pertumbuhan ekonomi dan indikator makro ekonomi, muncul keraguan dari hitungan kejaksaan yang menyatakan kerugian perekonomian negara sebesar Rp12,312 triliun.
Tinjauan Sisi Hukum
Perundang-undangan yang memberi kejelasan hukum akan unsur kerugian perekonomian negara pun, tidak pernah ada, termasuk dalam UU Tipikor. Karenanya sangat sulit dipahami, jika kejaksaan melakukan hitungan kerugian perekonomian negara tanpa dasar yuridis yang pasti (benar).
Bahkan, sejak penulis duduk di bangku kuliah, pendekatan perekonomian negara dalam makna menghitung pendapatan nasional, tidak lepas dari cara menghitung melalui 3 (tiga) pendekatan, pertama, pendekatan pengeluaran (expenditure approach); Kedua, pendekatan pendapatan (income approach), dan ketiga, pendekatan produksi (production approach). Secara spesifik, pendekatan pengeluaran dipahami dengan menganalisis pada 4 (empat) pelaku kegiatan ekonomi negara, yakni sektor rumah tangga, pemerintah, investasi dan perdagangan internasional, yang diformulasikan sebagai model pendapatan nasional yang merupakan jumlah konsumsi ditambah investasi, government expenditure, ekspor dan dikurangi dengan impor.
Jadi model ekonomi makro menjelaskan, semakin besar ekspor akan berdampak positif terhadap pendapatan nasional. Karena ekspor merupakan komponen penting dalam peningkatan perekonomian negara, yang berarti menguntungkan perekonomian negara.
Lebih lanjut, Prof Soemitro Djojohadikoesoemo dalam kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI) tahun 1980 penulis ikuti mengatakan, komponen ekspor merupakan faktor ekspansif terhadap pertumbuhan pendapatan nasional yang relatif sulit dibandingkan dengan komponen ekspansif lainnya. Untuk itu, Pemerintah RI berupaya mendorong kegiatan ekspor melalui berbagai kebijakan yang kondusif dengan dunia usaha.
Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Krugman, 2012 “As an open economy, Indonesia participates in international trade. International trade is an activity that focuses primarily on the real transactions in the international economy, that is, on those transactions that involve a physical movement of goods or a tangible commitment of economic resources”. Setidaknya, 2 (dua) hal dikatakan Fuller dan Peczenik (Yovita & Bernard, 2014) dapat menjadi penilaian hukum terhadap kasus minyak goreng, pertama, teks hukum harus jelas dan tepat (lex certa), supaya rakyat percaya dan menghargai UU.
Kedua, predictable, aturan dijamin kontinuitasnya dan harus bisa diterima atau dijalankan. Bahkan berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) neraca perdagangan Indonesia 2021 dan 2022 (sampai dengan Juli) mengalami surplus yang justru andalannya berasal ekspor komoditi sawit dan turunannya, batubara, sehingga ditinjau dari sisi indikator makro ekonomi menguntungkan perekonomian negara.
Bagaimana dengan Illegal Profit? Dari sisi Akuntansi semua penjualan korporasi baik penjualan di dalam negeri maupun ekspor semua dibukukan dalam laporan laba rugi sesuai SAK yang berlaku.
Selama penjualan tersebut sesuai dengan ruang lingkup bidang usaha yang tercantum pada Anggaran Dasar Perseroan, maka penjualan tersebut diakui dalam laporan keuangan. Otomatis laba tersebut termasuk dalam perhitungan laba kena pajak dan meningkatkan Setoran Pajak Penghasilan Badan ke kas negara pada tahun pajak yang bersangkutan, dengan kata lain menguntungkan pendapatan negara.
Dengan demikian, perhitungan kerugian perekonomian negara dan Illegal Profit perlu pengkajian yang mendalam untuk kepentingan hukum, khususnya pidana korupsi.
Simpulan
Unsur kerugian negara dalam Tipikor harus bersifat pasti, baik jumlah rupiahnya, maupun metode perhitungannya dan lembaga yang berwenang menghitungnya. Menurut hemat penulis, konsep perhitungan kerugian perekonomian negara belum mempunyai metode, dan konsep teori yang jelas. Untuk itu, diperlukan pengkajian ulang, sehingga penerapan hukum dapat dipertanggungjawabkan demi kepastian dan keadilan. ***(Penulis adalah Akuntan Forensik, Akademisi dan Praktisi Hukum)
Curriculum Vitae Singkat
Dr Wirawan B Ilyas Ak SH MSi MH CPA CPI
Lulusan S-1 FE UI Tahun 1984 melanjutkan S-2 Bidang Administrasi Pajak UI lulus tahun 1998 dan Doktor (S-3) Akuntansi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. Selain itu, mengikuti Pendidikan S-1 pada Fakultas Hukum (FH) UI (Program Ekstensi) dan memperoleh Magister Hukum (Hukum Bisnis) dari FH Unpad Bandung.
Bekerja sebagai praktisi yaitu Akuntan Publik, Konsultan Pajak dan Advokat. Selain itu, aktif sebagai Dosen pada Program Pasca Sarjana Program Studi (Prodi) Magister Akuntansi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dan Dosen Tamu pada FH Unpad Bandung. Aktif menulis artikel di berbagai Koran, Jurnal, dan buku text di bidang Akuntansi, Hukum Pajak dan Hukum Bisnis.