Dirjen PHI dan Jamsostek Kemenaker Haiyani Rumondang memberikan keterangan pers pada acara Media Gathering di Kantor Kemenaker, Jakarta, Selasa sore (06/06/2017). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Sesuai dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan Bagi Pekerja dan Buruh di Perusahaan, THR Keagamaan merupakan pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja dan buruh atau keluarganya menjelang Hari raya Keagamaan.
“Pembayaran THR bagi pekerja dan buruh ini wajib diberikan sekali dalam setahun oleh perusahaan dan pembayarannya sesuai dengan Hari Raya Keagamaan masing-masing serta dibayarkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan,” kata Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Dirjen PHI dan Jamsostek) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Haiyani Rumondang kepada wartawan pada acara Media Gathering di Kantor Kemenaker, Jakarta, Selasa sore (06/06/2017).
Dikatakannya, berdasarkan Permenaker Nomor 6/2016 pekerja dan buruh yang memunyai masa kerja 1 (satu) bulan berhak mendapatkan THR Keagamaan dari perusahaan. Sedangkan, terkait besarnya jumlah THR berdasarkan peraturan THR Keagamaan tersebut, bagi pekerja dan buruh yang bermasa kerja 12 (dua belas) bulan secara proporsional, dengan menghitung jumlah masa kerja dibagi 12 bulan dikali satu bulan penuh.
“Pemberian THR Keagamaan bagi pekerja dan buruh sudah merupakan tradisi sebagai satu upaya untuk memenuhi kebutuhan pekerja dan buruh dan keluarganya dalam merayakan Hari Raya Keagamaan. Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan aspek kesejahteraan dan perlindungan bagi para pekerja dan buruh,” katanya.
Namun, imbuhnya, bagi perusahaan yang telah mengatur pembayaran THR Keagamaan dalam Perjanjian Kerja (PK), Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan ternyata lebih baik dan lebih besar dari ketentuan di atas, maka THR yang dibayarkan kepada pekerja dan buruh harus dilakukan berdasarkan pada PP atau PKB tersebut. “Untuk mengawal pembayaran THR dari pengusaha kepada pekerja dan buruh, Kemenaker membuka Posko Peduli Lebaran 2017 yang berada di Pusat Pelayanan Terpadu Satu Atap (PTSA) Kemenaker, Gedung B Kantor Kemenaker Jalan Jenderal Gatot Subroto Kavling 51, Jakarta,” katanya.
“Tidak hanya menjadi sarana bagi pekerja dan buruh untuk mengadukan permasalahan THR, posko tersebut juga dapat menjadi rujukan perusahaan untuk mencari informasi dan berkonsultasi terkait pembayaran THR berdasarkan Permenaker Nomor 6 Tahun 2016,” ungkapnya.
Posko THR ini akan mulai melayani masyarakat pada tanggal 8 Juni 2017 hingga 5 Juli 2017. Masyarakat yang ingin mengadu bisa menghubungi telpon 021 525 5859, WhatsApp (WA) 081280879888, 081282407919 dan Email poskothrkemnaker@gmail.com.
“Kita juga telah meminta kepada Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi dan Kabupaten dan Kota agar membentuk Posko Satuan Tugas (Satgas) Ketenagakerjaan Peduli Lebaran untuk mendukung suksesnya pelaksanaan pembayaran THR Keagamaan tahun ini,” terangnya.
Direktur Pengawasan Norma Kerja dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PNK dan Jamsostek) Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Ditjen PPK dan K3) Kemenaker Bernawan mengatakan, Pemerintah Indonesia terus melakukan pengawasan ketat terhadap pelaksanaan THR tahun 2017. “Hal ini sesuai dengan Permenaker Nomor 20 tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian Sanksi Administratif, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang didalamnya mengatur sanksi tegas bagi perusahaan yang lalai membayar THR,” katanya.
“Pengusaha yang terlambat membayarkan THR akan dikenakan denda sebesar 5% dari total THR yang harus dibayarkan kepada pekerja dan buruhnya untuk peningkatan kesejahteraan pekerja,” katanya.
Selain itu, sambungnya, pengusaha juga akan dikenakan sanksi administratif. “Sanksi akan diberikan kepada pengusaha yang terbukti melanggar, meliputi sanksi berupa teguran tertulis dan sanksi pembatasan kegiatan usaha,” katanya.
“Pengenaan sanksi pembatasan kegiatan usaha memertimbangkan beberapa hal, yakni sebab-sebab teguran tertulis tidak dilaksanakan oleh pengusaha dan memertimbangkan kondisi finansial perusahaan yang terlihat dari laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir serta diaudit oleh akuntan publik. Sanksi pembatasan kegiatan usaha diberlakukan hingga pengusaha memenuhi kewajiban untuk membayar THR Keagamaan,” tandasnya. (Murgap)