Tenaga Ahli Komisi III DPR RI Erlanda Juliansyah SH MH (pertama dari kiri berdiri) memberikan paparan pada acara Diskusi Publik Gerakan Mahasiswa Pemuda Bela Bangsa dan Rakyat yang mengambil tema “Peran Pemuda dan Mahasiswa Dalam Mengawal Ke-Utuhan NKRI yang digelar di Gedung Joeang ’45, Jakpus, Selasa siang (18/04/2017). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Tenaga Ahli Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Erlanda Juliansyah SH MH mengatakan, peran pemuda dan mahasiswa dilihat dari konteks sosial kultur yang terjadi hari ini, pemuda dan mahasiswa itu seharusnya bisa memanfaatkan era keterbukaan informasi seperti pada hari ini, teknologi informasi (TI) itu ada, menjaring soal informasi itu langsung utuh pada konteks permasalahan yang sesungguhnya.
“Saya melihat mahasiswa tidak melaksanakan apa yang diamanahkan oleh funding father (pendiri) bangsa kita, tidak mengamanatkan, bahwa konteks mencerdaskan kehidupan bangsa itu, sebetulnya melihat pada tataran permasalahan terlebih dahulu dan mengkaji permasalahan dan memberikan solusi kepada Pemerintah RI,” ujar Erlanda kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui di sela-sela acara Diskusi Publik Gerakan Mahasiswa Pemuda Bela Bangsa dan Rakyat yang mengambil tema “Peran Pemuda dan Mahasiswa Dalam Mengawal Ke-Utuhan NKRI” dengan narasumber Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Gatot Nurmantyo, Prof Dr Ir Abdul Basith MSc, Mulyadi P Tamsir (Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam atau PB HMI), Karman BM (Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Islam Indonesia atau GPII) yang diwakilkan oleh Neng Humairoh (Ketum GPII Putri), Erlanda Juliansyah SH MH (Tenaga Ahli Komisi III DPR RI), dan Putra Revolusi Kerommoth di Gedung Joeang ’45, Jakarta Pusat (Jakpus), Selasa siang (18/04/2017).
Dijelaskannya, saat ini peran mahasiswa dan pemuda Indonesia sudah berkurang dalam konteks investasi asing yang masuk ke Indonesia. “Oleh karena itu, sudah saatnya sekarang ini, mahasiswa dan pemuda Indonesia untuk mengkaji investasi asing yang masih punya persoalan dan bagaimana peran pemuda dan mahasiswa Indonesia bisa memberikan briefingnya (hasil kajian) kepada Pemerintah Indonesia. Saya kira hal itu belum pernah dilakukan oleh pemuda dan mahasiswa Indonesia,” paparnya.
“Saya melihat mahasiswa saat ini masih terdoktrin kepada konteks aksi turun ke jalan dan melakukan demonstrasi dan hal ini sebenarnya sudah ditinggalkan oleh mahasiswa dan pemuda di negara-negara modern. Negara-negara modern, mahasiswanya lebih mengkaji konteks kepada taraf kebijakan pemerintahnya,” katanya.
Menurutnya, ketika Presiden RI ke-7 (tujuh) Ir H Joko Widodo atau Jokowi meluncurkan program kerja Revolusi Mental menjadi jargon, mentalitas di sini harus dilihat, bahwa Pemerintah RI tidak boleh otokritik dan mahasiswa bisa memainkan perannya memberikan otokritik kepada Pemerintah RI. “Otokritik di sini, ketika mahasiswa ingin memberikan saran dan kritik serta solusi seharusnya Pemerintah RI bisa melihatnya sebagai peluang untuk memanfaatkan kondisinya di saat ada peran dari mahasiswa yang mulai ikut memerhatikan konsep kebijakan Pemerintah RI. Di sinilah harusnya Pemerintah RI bisa menaungi kepentingan dari kawan-kawan mahasiswa,” tukasnya.
“Mahasiswa juga bisa dijadikan partner Pemerintah RI. Partner dalam artian juga bukan mahasiswa selalu ikut dalam kepentingan Pemerintah RI. Selama kepentingan Pemerintah RI itu pro terhadap rakyat, maka seharusnya mahasiswa juga pro terhadap kepentingan rakyat tetapi sebaliknya, kebijakan Pemerintah RI itu bertentangan dengan kepentingan rakyat, terutama bertentangan dengan konstitusi kita saat ini dan mahasiswa boleh melawan kebijakan Pemerintah RI,” ungkapnya.
Dikatakannya, ketika mahasiswa melakukan kegiatan aksi tetapi terkadang dari Pemerintah RI sendiri tidak memberikan respon yang baik, sehingga menjadikan hal-hal yang tidak diinginkan menjadi anarkis aksi mahasiswa tersebut. “Win-win solutionnya untuk mahasiswa dan Pemerintah Indonesia, Pemerintah RI harus bisa mengikutsertakan mahasiswa dan mahasiswa juga harus bisa memberikan saran yang sifatnya tidak hanya kritik tetapi konstruktif atau membangun,” tegasnya.
Prof Dr Ir Abdul Basith MSc mengatakan, secara umum mahasiswa saat ini seperti kehilangan raw model (contoh), kehilangan jati diri dan semangat berjuang demi keutuhan NKRI karena saat ini zamannya serba modern dan enak. “Jadi kalau masih ada pemuda dan mahasiswa mau berkumpul seperti hari ini sudah luar biasa sekali. Sekarang ini, zamannya lebih terlihat lebih memanjakan dan meninabobokan mahasiswa dibanding tahun 1998 era Reformasi,” katanya kepada wartawan Media Nasional.Co ketika ditemui di tempat yang sama.
“Jadi saya melihat saat ini kinerja Pemerintah Indonesia dalam menjalankan roda pemerintahannya seperti orang yang amatiran dan itu sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tapi saat ini suasananya juga enak, beras ada dan bahan bakar minyak (BBM) tersedia. Jadi orang secara umum diajak mikir, bahwa kehidupan kita saat ini sedang genting, susah,” paparnya.
Menurutnya, mahasiswa tidak bisa berjalan sendirian, dan harus mengikuti unsur lain, seperti guru dan para ulama. “Meskipun mahasiswa ingin berjalan sendirian tetapi harus melihat orang lain apa yang juga sedang dilakukan, harus sinergi dengan unsur yang lain,” katanya.
“Kita sudah terlalu lama meninggalkan Pancasila. Sudah digodoknya lama dan memakan waktu yang lama pula terus pertengkarannya juga hebat, begitu jadi, demokrasi yang diambil dan Pancasila diabaikan. Hal itulah yang harus dikritisi oleh pemuda dan mahasiswa Indonesia saat ini terhadap kebijakan Pemerintah RI,” tandasnya. (Murgap)