Kuasa Hukum Terdakwa Direktur Komersial PT PGN (Persero) Danny Praditya, FX L Michael Shah SH Nilai Ahli BPK RI Tidak Berani Menjawab Pertanyaan Soal Tanggungjawab Direksi Dalam Situasi Pasar Kritis

FX L Michael Shah SH

Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan perkara dugaan Tipikor dengan terdakwa Direktur Komersial PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Persero periode 2016-2019, Danny Praditya dan terdakwa Komisaris PT Inti Alasindo Energy atau PT IAE periode 2006 hingga 2024 Iswan Ibrahim, yang didakwa menerima aliran uang kasus korupsi jual beli gas PT PGN (Persero) periode 2017 hingga 2021, di ruang Prof Dr HM Hatta Ali SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Senin (24/11/2025).

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, Iswan Ibrahim bersama dengan Danny Praditya, selaku Direktur Komersial PT PGN (Persero) periode 2016-2019, telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Keduanya melakukan kegiatan untuk memperoleh dana dari PT PGN (Persero) dalam rangka menyelesaikan utang PT Isargas Group.

“Dengan cara memberikan advance payment (pembayaran di muka adalah pembayaran yang dilakukan oleh pembeli kepada penjual sebelum barang atau jasa diterima). Metode ini bisa dilakukan untuk seluruh nilai transaksi (full payment) atau sebagian (partial payment) dalam kegiatan jual-beli gas,” kata jaksa saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Senin (01/09/2025).

Padahal, sambung jaksa, PT PGN (Persero) bukan perusahaan financing atau pembiayaan. Selain itu, terdapat larangan jual-beli gas secara berjenjang.

Keduanya juga dituding mendukung rencana akuisisi PT PGN (Persero) dengan PT Isargas Group. Jaksa menyebut, tidak ada due diligence (uji tuntas) atas rencana akuisisi tersebut.

Jaksa menilai, perbuatan tersebut telah memperkaya sejumlah pihak. “Memperkaya Iswan Ibrahim sebesar US$3.581.348,75,” ujarnya.

Selain itu, memperkaya Arso Sadewo selaku Komisaris Utama (Komut) PT IAE sebesar US$11.036.401,25, mantan Direktur Utama (Dirut) PT PGN (Persero) Hendi Prio Santoso (HPS) sejumlah US$500.000, dan Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Waketum Kadin) Yugi Prayanto sebanyak US$20.000. “Yang merugikan keuangan negara sebesar US$15 juta dolar Singapore atau dalam jumlah tersebut,” kata jaksa.

Ini sebagaimana laporan hasil pemeriksaan investigatif Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) nomor 56/LHP/XXI/10/2024 berwarkat 15 Oktober 2024. Apabila dikonversi, US$15 juta dolar setara dengan Rp247.050.000.000 atau Rp247 miliar.

Ini berdasarkan asumsi Rp16.470 per dolar Amerika Serikat (AS). Atas perbuatannya, Iswan Ibrahim didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Juncto (Jo) Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Agenda sidang kali ini, jaksa KPK menghadirkan saksi Adi Munandir yang terlibat dalam penyusunan dokumen kerja sama, memaparkan proses internal PT PGN (Persero) dan Ahli dari BPK RI Inge Anggraini dan Aurora Magdalena untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, jaksa dan tim Kuasa Hukum terdakwa. Kuasa Hukum terdakwa Direktur Komersial PT PGN (Persero) periode 2016-2019 Danny Praditya, FX L Michael Shah SH mengatakan, keputusan direksi PT PGN (Persero) saat itu berorientasi pada penyelamatan perusahaan dari ancaman kehilangan pasar akibat penetrasi kompetitor.

Ia menjelaskan, bahwa pada periode tersebut pasokan gas di Jawa Timur (Jatim) mengalami kekurangan, sementara pesaing, termasuk Pertagas, mulai memasuki wilayah pasar PT PGN (Persero). “Memang ada penetrasi oleh rival PT PGN (Persero). Itu bisa siapa saja, tidak penting siapa pelakunya. Tapi ketika ada pihak yang bisa mengambil konsumen PGN, direksi itu wajib melindungi dan mencegah kerugian lebih besar.” ujar FX L Michael Shah SH kepada wartawan saat jumpa pers usai acara sidang ini.

Ia menegaskan, bahwa kebijakan advance payment harus dilihat sebagai tindakan bisnis untuk mencegah kerugian jangka panjang, bukan sebagai tindakan koruptif. Ia juga menyoroti, bahwa Ahli BPK RI pun tidak berani menjawab pertanyaan soal tanggung jawab direksi dalam situasi pasar kritis:

“Pak Danny Praditya tadi bertanya ke Ahli BPK RI, apakah direksi wajib mengambil tindakan ketika ada ancaman kerugian lebih besar. Ahli tidak berani jawab karena itu di luar pemeriksaannya.” ungkap FX L Michael Shah SH dari kantor Abi Satya Law Firm yang beralamat di daerah Blok M, Jakarta Selatan (Jaksel) ini.

Ia menilai fakta ini justru menguatkan argumentasi, bahwa keputusan direksi harus dinilai dalam konteks bisnis, bukan semata dari dokumen administratif. (Murgap)

Tags: