Kuasa Hukum Terdakwa Direktur Komersial PT PGN (Persero) Danny Praditya, FX L Michael Shah SH : Keputusan untuk Melakukan Transaksi dengan PT IAE Merupakan Keputusan Kolektif Kolegial Dewan Direksi

Kuasa Hukum terdakwa Direktur Komersial PT PGN (Persero) periode 2016-2019 Danny Praditya, FX L Michael Shah SH ketika diwawancarai awak media usai sidang di luar ruang Wirjono Projodikoro 2, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Senin (10/11/2025). (Foto : Murgap Harahap)

Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan perkara dugaan Tipikor dengan terdakwa Direktur Komersial PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Persero periode 2016-2019, Danny Praditya dan terdakwa Komisaris PT Inti Alasindo Energy atau PT IAE periode 2006 hingga 2024 Iswan Ibrahim, yang didakwa menerima aliran uang kasus korupsi jual beli gas PT PGN (Persero) periode 2017 hingga 2021, di ruang Wirjono Projodikoro 2, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Senin (10/11/2025).

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, Iswan Ibrahim bersama dengan Danny Praditya, selaku Direktur Komersial PT PGN (Persero) periode 2016-2019, telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Keduanya melakukan kegiatan untuk memperoleh dana dari PT PGN (Persero) dalam rangka menyelesaikan utang PT Isargas Group.

“Dengan cara memberikan advance payment (pembayaran di muka adalah pembayaran yang dilakukan oleh pembeli kepada penjual sebelum barang atau jasa diterima). Metode ini bisa dilakukan untuk seluruh nilai transaksi (full payment) atau sebagian (partial payment) dalam kegiatan jual-beli gas,” kata jaksa saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Senin (01/09/2025).

Padahal, sambung jaksa, PT PGN (Persero) bukan perusahaan financing atau pembiayaan. Selain itu, terdapat larangan jual-beli gas secara berjenjang.

Keduanya juga dituding mendukung rencana akuisisi PT PGN (Persero) dengan PT Isargas Group. Jaksa menyebut, tidak ada due diligence (uji tuntas) atas rencana akuisisi tersebut.

Jaksa menilai, perbuatan tersebut telah memperkaya sejumlah pihak. “Memperkaya Iswan Ibrahim sebesar US$3.581.348,75,” ujarnya.

Selain itu, memperkaya Arso Sadewo selaku Komisaris Utama (Komut) PT IAE sebesar US$11.036.401,25, mantan Direktur Utama (Dirut) PT PGN (Persero) Hendi Prio Santoso (HPS) sejumlah US$500.000, dan Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Waketum Kadin) Yugi Prayanto sebanyak US$20.000. “Yang merugikan keuangan negara sebesar US$15 juta dolar Singapore atau dalam jumlah tersebut,” kata jaksa.

Ini sebagaimana laporan hasil pemeriksaan investigatif Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) nomor 56/LHP/XXI/10/2024 berwarkat 15 Oktober 2024. Apabila dikonversi, US$15 juta dolar setara dengan Rp247.050.000.000 atau Rp247 miliar.

Ini berdasarkan asumsi Rp16.470 per dolar Amerika Serikat (AS). Atas perbuatannya, Iswan Ibrahim didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Juncto (Jo) Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Agenda sidang kali ini, jaksa KPK menghadirkan 1 (satu) saksi yakni Nusantara Suyono selaku Direktur Keuangan PT PGN (Persero) yang dihadirkan secara datang saat berdering (daring) untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, jaksa dan tim Kuasa Hukum terdakwa. Kuasa Hukum terdakwa Direktur Komersial PT PGN (Persero) periode 2016-2019 Danny Praditya, FX L Michael Shah SH mengatakan, keterangan saksi Nusantara Suyono membantah anggapan jaksa, bahwa transaksi antara PT PGN dan PT IAE merupakan bentuk pinjaman terselubung.

“Keterangan saksi Nusantara Suyono sejalan dengan fakta yang terjadi di lapangan. Tadi dijelaskan dengan lugas oleh saksi Nusantara Suyono, bahwa ini murni Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG), bukan pinjaman,” ujar FX L Michael Shah SH saat jumpa pers usai acara sidang ini.

Dikatakannya, pengembalian yang disebut-sebut itu berasal dari alokasi pasokan gas yang akan diambil oleh PT PGN (Persero). “Jadi bukan pembayaran utang,” terang FX L Michael Shah SH dari kantor Abi Satya Law Firm yang beralamat di daerah Blok M, Jakarta Selatan (Jaksel) ini.

“Saksi Nusantara Suyono menjelaskan, bahwa mekanisme advance payment atau pembayaran di muka yang dilakukan PT PGN (Persero) adalah praktik umum dalam industri gas, dan telah diterapkan dengan prinsip kehati-hatian,” ungkapnya.

Dijelaskannya, advance payment ini bukan pelunasan utang, melainkan bagian dari sistem jual beli gas yang sudah lazim dilakukan. Dalam persidangan ini juga terungkap soal Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) yang sempat dijadikan sorotan oleh penyidik KPK.

Menurut keterangan saksi Nusantara Suyono, tidak semua kegiatan jual beli gas dicantumkan secara rinci dalam RKAP karena sifatnya bersifat agregat. “Selama pagu anggaran tersedia, maka transaksi dapat dilakukan. Tidak perlu disebutkan secara spesifik pihak penjualnya dalam RKAP,” tuturnya.

Sementara itu, terkait laporan keuangan, saksi Nusantara Suyono menyebut, bahwa pencatatan advance payment dilakukan dengan prinsip akuntansi yang sama seperti Term of Payment (TOP) yakni pengakuan pembayaran sebelum gas mengalir. Hal ini, menurut FX L Michael Shah SH, menjadi bukti, bahwa tindakan direksi PT PGN dilakukan secara profesional dan sesuai prosedur.

“Justru direksi saat itu sangat berhati-hati. Mereka meminta adanya jaminan untuk transaksi ini. Kalau dibandingkan dengan transaksi lain yang jumlahnya lebih besar malah tidak disertai jaminan,” katanya.

Ia menegaskan, bahwa keputusan untuk melakukan transaksi dengan PT IAE merupakan keputusan kolektif kolegial dewan direksi, bukan keputusan pribadi terdakwa Danny Praditya. “Semua resiko, baik dari aspek hukum maupun bisnis, telah dibahas secara matang dalam rapat direksi PT PGN (Persero),” jelasnya.

“Semua keputusan itu hasil rapat direksi. Jadi tidak ada keputusan sepihak dari terdakwa Danny Praditya. Kalau satu direksi saja tidak setuju, transaksi ini tidak bisa dilanjutkan,” paparnya.

Ia mengatakan, bahwa jaksa terlalu jauh menilai aspek komersial transaksi gas tersebut. Menurutnya, pengadilan seharusnya fokus pada unsur hukum, bukan menilai apakah transaksi tersebut menguntungkan atau tidak secara bisnis.

“Jaksa, majelis, maupun pengacara tidak dalam kapasitas menilai untung-rugi bisnis. Direksi PT PGN (Persero) saat itu punya pertimbangan komersial dan kebutuhan pasokan yang mendesak,” ujarnya.

Ia menyoroti konteks saat transaksi dilakukan pada tahun 2017, PT PGN (Persero) tengah menghadapi ancaman kekurangan pasokan gas di Jawa Timur (Jatim). “PT IAE kala itu menawarkan pasokan dengan harga USD7,04 per MMBTU, lebih rendah dari harga pasar sekitar USD8,2 per MMBTU, sehingga secara bisnis dinilai menguntungkan PT PGN (Persero),” urainya.

Menurutnya, kegagalan implementasi pasokan gas bukan disebabkan oleh kesalahan direksi, melainkan perubahan kebijakan dan dinamika internal pasca 2019. “Gas yang dijanjikan sebenarnya tersedia, namun tidak dapat tersalurkan karena adanya hambatan administratif dan perubahan keputusan pasca pergantian direksi,” ujarnya.

“Saat keputusan transaksi dibuat, semua parameter bisnis dan pasokan sudah terpenuhi. Tidak ada yang bisa memprediksi, bahwa kemudian akan terjadi hambatan di 2021. Direksi yang saat itu mengambil keputusan sudah tidak lagi menjabat,” katanya.

Ia berharap majelis hakim dapat melihat kasus ini secara obyektif dengan mempertimbangkan konteks dan niat baik para pengambil keputusan pada waktu itu. “Kami berharap majelis hakim bisa memahami suasana batin direksi PT PGN (Persero) waktu itu. Ada ancaman kekurangan pasokan dan kebutuhan konsumen yang besar. Jadi keputusan mereka bukan tindakan melanggar hukum, tapi keputusan bisnis yang logis,” tuturnya.

Sidang dijadwalkan akan dilanjutkan pada Kamis (13/11/2025) dengan agenda pemeriksaan saksi tambahan. Menurut rencana, persidangan kasus ini akan digelar 2 (dua) kali dalam seminggu hingga akhir Desember atau awal Januari, sesuai masa penanganan perkara yang ditetapkan pengadilan. (Murgap)

Tags: