Kuasa Hukum terdakwa mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI (Persero) Charles Sitorus, Dwi Laksono Setyowibowo SH MH CLA CPL (pertama dari kanan) foto bersama anggota tim Kuasa Hukumnya Afrisani Putra Phonna SH (tengah) dan Rosari Manik SH di luar ruang Wirjono Projodikoro 1, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jum’at (20/06/2025). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan dugaan Tipikor mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) atau PT PPI (Persero) Charles Sitorus yang didakwa turut serta dalam kasus dugaan importasi gula di Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag RI) pada tahun 2015 hingga 2016, di ruang Wirjono Projodikoro 1, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jum’at (20/06/2025).
Agenda sidang hari ini, tim Kuasa Hukum terdakwa Charles Sitorus menghadirkan Ahli Meringankan (Ad-Charge) yakni Ahli Hukum Pidana dari Universitas Indonesia (UI)
Prof Dr Eva Achjani Zulfa SH MH untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, jaksa dan tim Kuasa Hukum terdakwa Charles Sitorus. Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengungkapkan, Perbuatan Melawan Hukum (PMH) tersebut memperkaya beberapa pihak, sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp578,1 miliar.
“Perbuatan Charles telah memperkaya pihak lain senilai Rp295,15 miliar, yang merupakan bagian dari total kerugian negara,” kata JPU dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis (06/03/2025).
Perbuatan Charles Sitorus diancam pidana dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Juncto (Jo) Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jaksa juga menceritakan, bahwa Charles Sitorus diduga tidak melaksanakan penugasan pembentukan stok gula nasional dan pembentukan harga gula nasional sesuai dengan Harga Patokan Petani (HPP) dan tidak melakukan kerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) produsen gula sebagaimana dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) PT PPI tahun 2016.
Jaksa menyebut, Charles Sitorus telah melakukan kesepakatan, pengaturan harga jual Gula Kristal Putih (GKP) dari produsen gula rafinasi kepada PT PPI, termasuk pengaturan harga jual gula dan produsen kepada PT PPI dan pengaturan harga jual dari PT PPI kepada distributor di atas HPP bersama-sama dengan 8 (delapan) perusahaan. Kedelapan perusahaan tersebut yakni dengan Direktur Utama (Dirut) PT Angels Products Tony Wijaya, Direktur PT Makassar Tene Then Surianto Eka Prasetyo, Dirut PT Sentra Usahatama Jaya Hansen Setiawan, serta Dirut PT Medan Sugar Industry Indra Suryadiningrat.
Selanjutnya, juga bersama-sama dengan Dirut PT Permata Dunia Sukses Utama Eka Sapanca, Presiden Direktur (Presdir) PT Andalan Furnindo Wisnu Hendraningrat, Direktur PT Duta Sugar International Hendrogiarto Tiwow, serta Dirut PT Berkah Manis Makmur Hans Falita Hutama. “Padahal, delapan perusahaan tersebut merupakan produsen dalam negeri dengan izin industri pengelolaan Gula Kristal Mentah (GKM) impor menjadi Gula Kristal Rafinasi (GKR) untuk kepentingan industri makanan atas persetujuan mantan Menteri Perdagangan Republik Indonesia (Mendag RI) Thomas Trikasih Lembong atau Thom Lembong,” terang jaksa.
Jaksa mengatakan, dalam rangka penugasan pembentukan stok gula nasional dan pembentukan harga gula nasional, Charles Sitorus melakukan kerja sama pengadaan GKP dengan Tony, Then Surianto, Hansen, Indra, Eka Sapanca, Wisnu, Hendrogiarto, serta Hans Falita Hutama. Para pejabat perusahaan swasta tersebut dinilai oleh jaksa, tidak berhak mengelola GKM impor menjadi GKP karena hanya memiliki izin industri pengelolaan gula mentah menjadi GKR untuk kepentingan industri makanan.
Dalam dakwaan jaksa, terdakwa Charles Sitorus juga diduga tidak melakukan pengadaan dan distribusi GKP dalam rangka pembentukan stok gula nasional dan pembentukan harga gula nasional tahun 2016 melalui Operasi Pasar (OP) dan atau pasar murah. Dikatakan jaksa, Charles Sitorus melakukan distribusi GKP melalui distributor yang telah diatur berdasarkan kesepakatan antara Charles, Tony, Then Surianto, Hansen, Indra, Eka, Wisnu, Hendrogiarto, Hans, dan Dirut PT Kebun Tebu Mas Ali Sandjaja Boedidarmo.
Adapun Charles Sitorus disebutkan telah mengetahui Persetujuan Impor (PI) yang diterbitkan Thom Lembong kepada PT Angels Products, PT Makassar Tene, PT Sentra Usahatama Jaya, PT Medan Sugar Industry, PT Permata Dunia Sukses Utama, PT Andalan Furnindo, PT Duta Sugar International, PT Berkah Manis Makmur, dan PT Kebun Tebu Mas, tanpa didasarkan Rapat Koordinasi (Rakor) antar kementerian. “Charles Sitorus juga mengetahui persetujuan impor yang diterbitkan Thom Lembong kepada PT Makassar Tene, PT Sentra Usahatama Jaya, PT Medan Sugar Industry, PT Permata Dunia Sukses Utama, PT Andalan Furnindo, PT Duta Sugar International, PT Berkah Manis Makmur, dan PT Kebun Tebu Mas, tanpa rekomendasi Menteri Perindustrian (Menperin) RI,” kata jaksa.
Dengan demikian, jaksa memaparkan, bahwa perbuatan Charles Sitorus tersebut telah memperkaya Tony sebesar Rp29,16 miliar, Then Surianto Rp27,26 miliar, Hansen Rp30,99 miliar, Indra Rp30 miliar, Eka Rp18,26 miliar, Wisnu Rp22,46 miliar, Hendrogiarto Rp41,23 miliar, Hans Rp47,84 miliar, serta Ali Rp47,87 miliar. Kuasa Hukum terdakwa mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI (Persero) Charles Sitorus, Dwi Laksono Setyowibowo SH MH mengatakan, Ahli Ad-Charge yakni Ahli Hukum Pidana dari Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Eva Achjani Zulfa SH MH tentang perbedaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 terkait penyalahgunaan kewenangan.
“Ahli menyatakan, bahwa Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor Nomor 31 tahun 1999 adalah delik kesengajaan. Ahli menyatakan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor Nomor 31 tahun 1999 bersifat kumulatif bukan alternatif,” ujar Dwi Laksono Setyowibowo SH MH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Dikatakannya, Ahli menyatakan, bahwa untuk membuktikan delik kesengajaan adalah adanya mensrea yaitu adanya kehendak dan dilakukan dengan sengaja (ada permulaan pelaksanaan). “Ahli menyatakan, bahwa dalam suatu aturan terdapat pasal mengenai diskresi, maka harus dilihat apakah diskresi itu dibenarkan atau tidak oleh Peraturan UU atau PUU),” terang Dwi Laksono Setyowibowo SH MH dari kantor law firm JW and Partners yang beralamat di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan (Jaksel) ini.
“Bahwa sifat melawan hukum dalam materil tidak dipakai untuk menghukum orang meskipun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur mengenai asas legalitas, sehingga sifat melawan hukum dapat digunakan sebagai dasar penghapus pidana di luar UU,” katanya.
Dijelaskannya, Ahli menyatakan, bahwa alasan pemaaf merupakan dasar untuk menghapuskan pertanggungjawaban seseorang karena perbuatannya dimaafkan oleh PUU. “Sementara, alasan pembenar merupakan adanya perbuatan-perbuatan melawan hukum (PMH) yang dilakukan, namun karena keadaan tertentu berdasarkan UU, maka perbuatan tersebut dibenarkan, maka tidak dipidana,” jelasnya.
“Perbedaan Pasal 51 ayat (1) KUHP, bawahan melaksanakan perintah jabatan yang sah, implikasinya menjadi pembenar. Adapun pejabat yang dimaksud dapat dilihat pula berdasarkan struktur organisasi yang jelas, kemudian lihat konteks kewenangan dan siapa yang memberikan. Bahwa dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP, perintah tidak sah, namun dengan itikad baik bawahan (pelaksana) mengira, bahwa perintah itu sah, maka perbuatannya dimaafkan karena ketidaktahuan itu. Dalam artian tidak adanya kehendak,” tuturnya.
Dikatakannya, Ahli menyatakan, jika menteri yang memberikan perintah kepada BUMN dan BUMN merupakan pihak yang melaksanakan perintah itu. “Jika ada ketidaksesuaian dalam menjalankan perintah, maka ketidaksesuaian itu yang dilihat untuk melihat pidana. Namun kebalikannya, jika kesalahan ada pada orang yang memberikan perintah, maka berlaku Pasal 51 ayat (2) tentang menjalankan perintah jabatan tanpa wewenang, sehingga seharusnya perkara tersebut diputus onslag (putusan lepas), karena perbuatan tetap ada, namun dibebani pada pejabat yang memberikan perintah. Kalau dalam Pasal 55 KUHP merupakan doen pleger (penyuruh melakukan),” paparnya.
“Dulu unsur kerugian keuangan negara bersifat formil dan tidak membahas hitungan-hitungan. Namun, konstruksi tersebut berubah dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25 /PUU-XIV/2016, yang menghapus “dapat merugikan keuangan negara” , sehingga menjadi materil dan kerugian keuangan negara itu tidak boleh memakai asumsi, harus pasti,” ungkapnya.
Terkait dengan Pasal 48 UU Nomor 1 tahun 2025, sambungnya, harus dilihat apakah makna pasal tersebut mengacu pada UU Pembendaharaan Negara atau UU BUMN dan apakah menjadi menghapus unsur itu. “Bahwa Pasal 48 ini adalah yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, sehingga majelis hakim yang dapat memutuskan untuk bagaimana bentuk dan meringankan tersebut, bahkan bisa saja menghapus,” terangnya.
“Bahwa harus dibuktikan adanya pemufakatan jahat, tidak bisa bersifat kebetulan, harus ada intensi. Sesuatu yang sudah clear (jelas) tidak perlu diinterpretasikan melainkan jika tidak jelas, maka perlu interpretasi, interpretasi yang baik adalah interpretasi yang sempit, yaitu ketentuan UU yang bisa menjadi rujukan,” katanya.
Menurutnya, apabila tindak pidana dilakukan dengan ketidaktahuan, bahwa tindakan itu adalah tindak pidana, maka yang dapat diminta pertanggungjawaban adalah orang yang menyuruh melakukan, bukan yang disuruh. Agenda sidang selanjutnya akan digelar pada Senin (23/06/2025), jaksa akan menghadirkan saksi mahkota terdakwa mantan Mendag RI Thomas Trikasih Lembong dan pemeriksaan terdakwa Charles Sitorus di muka persidangan. (Murgap)