Erwan Suryadi SH
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan perkara dugaan Tipikor pada pengadaan 1,1 juta set lebih alat pelindung diri (APD) Corona Virus Disease-19 (Covid-19) dengan terdakwa eks Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) Budi Sylvana dan sejumlah pengusaha yang merugikan negara Rp319.691.374.183,06 (Rp319,6 miliar) di ruang Wirjono Projodikoro 3, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Senin (26/05/2025).
Adapun sejumlah pengusaha yang terlibat itu adalah Direktur Utama (Dirut) PT Energi Kita Indonesia (EKI) dan Dirut PT Permana Putra Mandiri (PT PPM) Ahmad Taufik dan Satrio Wibowo. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dakwaannya menyebut kerugian negara itu merujuk pada hasil perhitungan kerugian negara yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia (BPKP RI).
“Mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp319.691.374.183,06,” kata Jaksa KPK di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, beberapa waktu lalu.
Dalam dakwaannya, jaksa menyebut perbuatan ini dilakukan Budi, Satrio, dan Taufik bersama-sama Komisaris Utama (Komut) PT PPM Siti Fatimah Az Zahra, Legal atau Konsultan Hukum PT EKI Isdar Yusuf SH, dan Sekretaris Utama (Sestama) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Harmensyah pada kurun 2019 hingga Mei 2020. Dalam pengadaan itu, Budi duduk sebagai PPK Kemenkes RI, sementara Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dijabat Harmensyah.
Adapun sumber dana pengadaan APD ini berasal dari Dana Siap Pakai (DSP) BNPB Tahun 2020. Perkara ini berawal dari kondisi pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia pada 2020.
Pada 29 Februari 2020, Kepala BNPB yang saat itu dijabat Almarhum (Alm) Doni Monardo menandatangani Keputusan Kepala BNPB tentang Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia. Saat itu, terdapat sejumlah perusahaan di Kawasan Berikat Bogor dan Bandung, Jawa Barat (Jabar), yang memproduksi APD merek BOHO.
Agenda sidang hari ini, tim Kuasa Hukum terdakwa PPK Kemenkes RI Budi Sylvana melakukan Duplik (Jawaban) secara lisan atas Replik (Tanggapan) jaksa yang dibacakan atas pembacaan Nota Pledoi (Pembelaan) tim Kuasa Hukum terdakwa PPK Kemenkes RI Budi Sylvana yang dibacakan pada Jum’at (23/05/2025) di hadapan majelis hakim, jaksa dan tim Kuasa Hukum dari ketiga terdakwa. Kuasa Hukum terdakwa PPK Kemenkes RI Budi Sylvana, Erwan Suryadi SH mengatakan, Nota Pledoinya membantah semua dahlil-dahlil dakwaan dan tuntutan dari JPU.
“Seperti yang kita sampaikan juga dalam pembacaan Nota Pledoi di muka persidangan, bahwa kondisi Covid-19 ini adalah kondisi yang penanganannya dan peraturannya yang mengatur sifatnya khusus untuk Covid-19. Jadi peraturan-peraturan yang didahlilkan oleh jaksa itu peraturan secara umum tidak bisa diterapkan untuk pengadaan barang dan jasa untuk alat kesehatan (alkes) pada saat Covid-19,” ujar Erwan Suryadi SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Makanya, sambungnya, oleh Pemerintah RI mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres). “Kemudian, turunan dari Inpres tersebut, masing-masing dari kementerian atau badan itu mengambil kebijakan-kebijakan yang sesuai untuk mendukung percepatan penanganan keadaan darurat pada saat Covid-19. Jadi kami semua membantah itu,” ungkap Erwan Suryadi SH dari kantor law firm Lex Luminis ini.
“Jadi baik dari pihak penyedia juga memiliki dasar-dasar yang cukup jelas juga. Misalnya, keharusan adanya izin edar. Keharusan bencana-bencana yang dimiliki oleh penyedia khususnya pada saat Covid-19 dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang ada pada waktu itu tidak ada dan tidak diharuskan seperti yang didahlilkan oleh JPU,” terangnya.
Dikatakannya, khusus untuk terdakwa PPK Kemenkes RI Budi Sylvana itu menuntut karena tidak ada bukti-bukti yang cukup kuat mengenai penyitaan aset kliennya dan pihaknya meminta untuk semua aset kliennya dikembalikan kepada kliennya. “Karena aset milik klien kami itu tidak terkait dengan tuntutan jaksa,” katanya.
“Hari ini kita langsung ajukan Duplik secara lisan menjawab Replik dari jaksa. Tadi kita sudah menyampaikan, bahwa jawaban kita sesuai dengan Nota Pledoi yang sudah kita sampaikan,” terangnya.
Replik dari jaksa menegaskan, bahwa kondisi keadaan darurat Covid-19 tidak berarti berupa cek kosong. Intinya, tetap ada kewajiban-kewajiban ataupun kewenangan dari PPK dalam hal ini terdakwa PPK Kemenkes RI Budi Sylvana yang tetap harus dilaksanakan.
“Tapi sejatinya itu sudah kita bantah di dalam Nota Pledoi yang dibacakan pada Jum’at lalu,” paparnya.
Ia mengharapkan majelis hakim dapat bersikap cukup bijaksana dalam penanganan perkara ini berdasarkan fakta-fakta di persidangan. “Harapan kita menyerahkan kepada majelis hakim sepenuhnya kebijakan mengenai pengadaan barang dan jasa pada saat Covid-19,” ucapnya.
Agenda sidang selanjutnya akan digelar pada Kamis (05/06/2025) dengan pembacaan putusan majelis hakim kepada ketiga terdakwa. “Kami semua menunggu putusan majelis hakim. Jadi kami berharap majelis hakim bisa bijaksana dan obyektif dalam mengambil keputusan berdasarkan fakta-fakta di persidangan dan fakta-fakta pada saat penanganan Covid-19 pada waktu itu karena kondisinya emergency (darurat),” tandasnya.
Perlu diketahui, terdakwa Budi Sylvana dituntut oleh jaksa, pidana penjara selama 4 tahun dalam kasus dugaan korupsi pengadaan APD Covid-19 Kemenkes RI pada 2020. Tak hanya pidana penjara, terdakwa Budi Sylvana juga dituntut agar dikenakan pidana denda sebesar Rp200 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 3 bulan.
Selain terdakwa Budi Sylvana, terdakwa Satrio Wibowo dituntut agar dijatuhi pidana penjara selama 14 tahun dan 10 bulan penjara, sedangkan Ahmad Taufik selama 14 tahun dan 4 bulan. Terdakwa Satrio Wibowo dan Ahmad Taufik juga dituntut agar dikenakan pidana denda masing-masing sebesar Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan penjara.
Tak hanya itu, baik terdakwa Satrio Wibowo maupun Ahmad Taufik, turut dituntut agar dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti masing-masing sebesar Rp59,98 miliar subsider 4 tahun penjara serta senilai Rp224,18 miliar subsider 6 tahun penjara. Dengan demikian, JPU meyakini perbuatan ketiga terdakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) Juncto (Jo) Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). (Murgap)