Suasana sidang terdakwa Komoditer Pasif di CV Venus Inti Perkasa (VIP), Tamron alias Aon dan 3 terdakwa lainnya dalam sidang Tipikor di PT Timah (Tbk) di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis (31/10/2024). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan dugaan Tipikor di PT Timah Tbk dengan terdakwa Tamron alias Aon selaku Komoditer Pasif atau Pemegang Saham dari CV Venus Inti Perkasa (VIP), Achmad Albani sebagai General Manager (GM), Hasan Tjhie selaku Direktur dan Kwan Yung alias Buyung sebagai Kolektor, yang didakwa mengakomodir kegiatan penambangan illegal di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015 hingga 2022 di ruang Prof Dr Kusumah Atmadja SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis (31/10/2024).
Agenda sidang kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan 8 orang saksi untuk dilakukan pemeriksaan dan di antaranya bernama Wiyono untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, JPU dan masing-masing tim Kuasa Hukum dari keempat terdakwa. Dalam sidang pembacaan dakwaan dugaan kasus korupsi timah yang digelar di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, beberapa waktu lalu, JPU mendakwa Aon Cs membentuk perusahaan cangkang atau boneka yaitu CV Sumber Energi Perkasa, CV Mega Belitung dan CV Mutiara Jaya Perkasa.
“Seolah-olah sebagai mitra jasa pemborongan yang akan diberikan Surat Perintah Kerja (SPK) Pengangkutan di wilayah IUP PT Timah Tbk,” kata JPU saat membacakan surat dakwaan, Selasa (27/08/2024).
Melalui perusahaan cangkang atau boneka tersebut, kata JPU, terdakwa Aon disebut membeli dan mengumpulkan bijih timah dari penambang illegal di wilayah IUP PT Timah Tbk. Bijih timah tersebut kemudian dibeli oleh PT Timah Tbk dan dikirim ke CV VIP sebagai pelaksanaan kerjasama sewa menyewa peralatan processing antara PT Timah Tbk dan CV VIP. “Terdakwa Tamron alias Aon baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan Achmad Albani, Hasan Tjhie, Kwan Yung alias Buyung telah menunjuk dan mengatur pihak-pihak yang akan dijadikan pengurus CV Sumber Energi Perkasa, CV Mega Belitung dan CV Mutiara Jaya Perkasa,” tutur jaksa.
Para pengurus tersebut, sambung JPU, digunakan dalam melakukan transaksi pembelian bijih timah dari penambang illegal di wilayah IUP PT Timah Tbk yang selanjutnya perusahaan cangkang atau boneka tersebut menerima pembayaran dari PT Timah Tbk dan bijih timahnya digunakan sebagai bahan baku penglogaman timah. Selain itu, Aon Cs juga didakwa ikut merugikan keuangan negara sebesar Rp300.003.263.938.131,14 atau Rp300 triliun.
Angka ini berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia (BPKP RI) pada 28 Mei 2024. Atas perbuatannya, Aon Cs didakwa melanggar dalam Pasal 2 ayat (1) Juncto (Jo) Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Mereka juga didakwa melanggar Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Kuasa Hukum terdakwa Komoditer Pasif atau Pemegang Saham dari CV VIP, Tamron alias Aon, Achmad Albani sebagai General Manager (GM), Hasan Tjhie selaku Direktur dan Kwan Yung alias Buyung sebagai Kolektor, Andy Nababan SH mengatakan, hadir dalam sidang hari ini ada 8 orang saksi atas permintaan JPU.
“Tapi tadi saksi yang diperiksa lebih dulu mereka boleh pulang dan 2 orang saksi yang diperiksa di persidangan, satu orang saksi tadi bernama Wiyono sebagai Kepala Unit Metalogi. Hanya kalau menurut saya, seharusnya ada di rombongan yang sebelumnya. Bisa lebih konsisten lah dalan menjelaskan karena ada Komdi, Eko Julianto dan Haswani. Mereka dulu diperiksa dalam klaster yang sama. Ini agak terpisah. Jadi keterangan saksi Wiyono tidak senada dengan saksi sebelumnya,” ujar Andy Nababan SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Dikatakannya, jadi lompat lagi. “Kita lompat balik lagi membicarakan hal-hal yang tadi dibicarakan menarik, menurut saya. Hal yang menarik contohnya, saksi Wiyono mengakui, bahwa dari Harga Pokok Penjualan (HPP) yang sebelumnya dibahas di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Komdi maupun dari Bagian Keuangan Dian Safitri, saksi Wiyono mengakui, bahwa pengelolaan backlock atau truck, itu dikelola oleh pihak ketiga. Jadi dari backlock atau truck PT Timah Tbk dikelola oleh pihak ketiga. Cost atau biaya untuk pengelolaan backlock atau truck kepada pihak ketiga belum diperhitungkan sebagai bagian dari HPP bijih timah, sehingga ini fakta, kalau dikatakan ini penting sekali saya katakan, tidak ada dasar JPU menghitung kemahalan bayar, menurut saya, kemahalan bayar itu dihitung berdasarkan HPP, diasumsi di harga terendah USD700 per ton,” tegasnya.
“Tapi faktanya, diakui oleh saksi Wiyono ada jasa pihak ketiga di dalam mengelola truck atau backlock tadi tidak diperhitungkan. Kalau diperhitungkan, pasti jauh lebih besar dari situ,” terangnya.
Menurutnya, tidak bisa digunakan asumsi USD700 itu sebagai dasar harga pokok produksi dari PT Timah Tbk. “Kalau dihitung kemahalan bayar berdasarkan HPP yang dibuat oleh Bagian Metalogi itu tidak tepat. Lalu sudah dijelaskan tadi, bahwa struktur harga itu dipengaruhi dari berbagai faktor. Satu sistem atau satu peleburan lainnya itu tidak bisa langsung apple to apple untuk dibandingkan,” ungkapnya.
Agenda sidang selanjutnya akan digelar Jum’at (01/11/2024) dengan masih menghadirkan 8 orang saksi atas permintaan dari JPU. “Saksi yang akan dihadirkan adalah saksi mahkota untuk terdakwa lain. Saksi siapa yang duluan dan siapa saksi yang akan dihadirkan, kita tidak tahu. Tadi hakim juga menyarankan agar saksi lainnya dihadirkan pada Senin (04/11/2024) saja karena pemeriksaan saksi mahkota pasti lama,” paparnya.
Dijelaskannya, dengan hadirnya saksi Wiyono ini membuktikan, bahwa dakwaan JPU tidak tepat diarahkan atau dialamatkan kepada kliennya. “Menurut saya, hal-hal yang diperbincangkan sampai di persidangan hari ini hanya bicara tentang UU Pertambangan Nomor 4 Tahun 2009. Kalaupun ada aspek pidananya, itu di dalam UU Pertambangan Nomor 4 Tahun 2009,” jelasnya.
“Klien kami akan menghadirkan saksi Ad-Charge (Saksi Meringankan) dan Ahli banyak yang akan dihadirkan oleh klien saya. Tapi saya tidak bisa sebut strategi kita,” tutur Andy Nababan SH dari Kantor Inarema Law Firm yang beralamat di Bandung, Jawa Barat (Jabar) ini. (Murgap)