Kuasa Hukum terdakwa mantan Atase Ketenagakerjaan KBRI Singapura Agus Rhamdani, Oki Prasetyo SH MH (pertama dari kiri) foto bersama anggota tim Kuasa Hukumnya Bias Prisma Wahyu Pradipta SH MH di PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jakpus, Kamis (20/06/2024). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan dengan Nomor perkara 25/Pidsus dugaan suap dan gratifikasi senilai 33.000 dollar Singapura (SGD) dikali 1 dollar Singapura adalah Rp12.000 pada 2019, maka kurang lebih totalnya Rp396 juta, terkait asuransi perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Singapura yang terjadi pada 2018 dengan terdakwa mantan Atase Ketenagakerjaan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Singapura Agus Ramdhany Machjumi (ARM), di ruang Prof Dr Kusumah Atmadja SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jakpus, Kamis (20/06/2024).
Agenda sidang pada hari ini adalah pembacaan Replik (Tanggapan) yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas pembacaan Nota Pembelaan (Pledoi) tim Kuasa Hukum terdakwa mantan Atase Ketenagakerjaan KBRI Singapura ARM dan Duplik (Sanggahan) oleh tim Kuasa Hukum terdakwa ARM secara lisan atas pembacaan Replik oleh JPU di hadapan majelis hakim dan JPU. Terkait kasus tersebut, JPU dalam dakwaannya menjerat terdakwa ARM dengan Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11, 12 a, dan 12 b Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor, dan Pasal 3 UU Nomor 8/2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TTPU) Juncto (Jo) Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kasus suap terkait jaminan pekerja bagi pembantu rumah tangga (PRT) Indonesia di Singapura ini sudah diadili di Negara Singapura. Penerjemah paruh waktu, Abdul Aziz Mohamed Hanib (63 tahun), dituduh mengumpulkan suap lebih dari 92 ribu dollar Singapura untuk dirinya dan terdakwa ARM.
Kasus ini melibatkan 2 (dua) Warga Negara Singapura lain, termasuk agen asuransi. Kuasa Hukum terdakwa mantan Atase Ketenagakerjaan KBRI Singapura Agus Ramdhany Machjumi (ARM), Oki Prasetyo SH MH mengatakanj hari ini agenda sidangnya pembacaan Replik dan Duplik.
“Duplik kami tetap pada pembacaan Nota Pembelaan (Pledoi) saja. Pledoi kami isinya, bahwa terkait pinjam meminjam. Uang yang diterima adalah pinjam,” ujar Oki Prasetyo SH MH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
“Uang yang diterima oleh Abdul Aziz Mohamed Hanib sudah dipergunakan oleh terdakwa ARM untuk kegiatan Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemnaker RI) yakni Giat Naker,” ungkap Oki Prasetyo SH MH dari kantor Alamgir Advocate Law Firm yang beralamat di Jalan Warung Jati, Jakarta Selatan (Jaksel) ini.
Dijelaskannya, dengan bukti sudah dirembes ke Kemnaker RI, namun belum ada pencairan. “Karena saat itu diduga terdakwa ARM ada kasus. Makanya, tidak dicairkan,” ungkapnya.
“Duplik kami sampaikan di muka persidangan secara lisan saja dan isi Duplik kami sama dengan Nota Pledoi,” katanya.
Ia meminta agar terdakwa ARM bisa bebas dari segala dakwaan dan tuntutan JPU dikarenakan perkara kliennya ini pinjam meminjam tidak ada pasal yang didakwakan oleh JPU. “Kecuali ada pasal gratifikasi yang dikatakan pinjaman tanpa bunga. Ini kan tidak dijelaskan pinjaman tanpa bunga atau pinjaman dengan bunga,” ucapnya.
Agenda sidang selanjutnya akan digelar pada Selasa (02/07/2024) dengan pembacaan putusan Majelis Hakim terkait perkara ini. “Saksi yang dihadirkan di muka persidangan, hampir semua tidak ada yang tahu terkait Performance Bones (PB). Kemudian, seluruhnya juga tidak ada yang tahu tentang penerimaan uang terdakwa ARM. Saksi yang dihadirkan oleh JPU ke muka persidangan, tidak ada yang tahu kejadian yang sebenarnya, dan peristiwa yang sebenarnya yaitu tentang uang, tidak ada saksi yang tahu sama sekali,” terangnya.
Kemudian, sambungnya, saksi yang mengalami yaitu Abdul Aziz Mohamed Hanib, Derek, dan Manik Buncah akan tetapi tidak dihadirkan langsung secara fisik ke muka persidangan dengan alasan jarak, pihaknya memaklumi hal itu. “Tapi keterangan 3 saksi itu hanya dibacakan saja oleh pihak JPU di hadapan majelis hakim dan tim Kuasa Hukum terdakwa ARM. Sedangkan, sekarang ini zaman teknologi sudah canggih. Kenapa tidak memakai video teleconference atau virtual?” tanyanya.
Menurutnya, dengan cara virtual atau video teleconference agar semua pihak bisa menyaksikan. “Karena di sini sangat penting sekali, bahwa Majelis Hakim harus melihat ekspresi saksi itu. Orang itu bohong atau tidak? Hakim juga akan kehilangan haknya untuk bertanya kepada saksi,” ungkapnya.
Kemudian, sambungnya, pihaknya sebagai Penasihat Hukum (PH) terdakwa ARM juga tidak ada kesempatan untuk bertanya kepada ketiga saksi tersebut. “Selanjutnya, terdakwa ARM sendiri merasa keberatan karena 3 orang saksi yakni Derek, Abdul Aziz Mohamed Hanib dan Manik Buncah tidak dihadirkan langsung ke muka persidangan,” katanya.
“Karena terdakwa ARM ingin bertanya kepada ketiga saksi tersebut supaya perkara ini bisa terang benderang,” tuturnya.
Dengan adanya perkara ini, imbuhnya, menjadi kurang terang benderang. “Saksi yang hadir di muka persidangan ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI Nomor 65 tahun 2010 menyebutkan, saksi yang tidak mengalami bisa menjadikan alat bukti. Akan tetapi saksi ini harus mengetahui dan membuat terang benderang perkara ini. Sedangkan saksi yang dihadirkan oleh JPU di muka persidangan adalah saksi yang tidak mengalami, namun saksi itu tidak tahu menahu tentang perkara yang sebenarnya. Tentang penerimaan uang juga tidak tahu sama sekali,” paparnya.
“Buat kami perkara ini belum terang benderang masih abu-abu,” tuturnya.
Dijelaskannya, tujuan menjalankan program PB untuk melindungi kontrak kerja antara Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan majikan singapura yang dikeluarkan KBRI. “Yang membayar premi pengguna dan yang menerima manfaat adalah PMI, contohnya jika gaji tidak dibayar, maka akan dibayarkan oleh perusahaan asuransi lalu pihak asuransi akan menagihkan ke pengguna,” ungkapnya.
“Terdakwa ARM sebagai Robin Hoodnya para PMI,” tandasnya. (Murgap)