Suasana sidang dugaan Tipikor PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dengan terdakwa mantan Dirut PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Emirsyah Satar dan terdakwa Direktur PT Mugi Reksa Abadi, Soetikno Soedarjo di ruang Prof Dr HM Hatta Ali SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Rabu (22/05/2024). (Foto: Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) kembali menggelar acara sidang lanjutan dugaan Tipikor dengan terdakwa mantan Direktur Utama (Dirut) PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Emirsyah Satar terkait kasus korupsi pengadaan pesawat Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600 serta terdakwa Direktur PT Mugi Reksa Abadi, Soetikno Soedarjo (SS) di ruang Prof Dr HM Hatta Ali SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jakpus, Rabu (22/05/2024).
Pada sidang kali ini, jaksa menghadirkan saksi mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (Menparekraf RI) Mari Ella Pangestu untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, JPU dan masing-masing tim Kuasa Hukum dari kedua terdakwa. Selain itu, tim Kuasa Hukum terdakwa mantan Dirut PT Garuda Indonesia Tbk, Emirsyah Satar menghadirkan Ahli Hukum Pidana dari Universitas Hasanudin (Unhas) Prof Dr Juajir Sumardi SH MH dan tim Kuasa Hukum terdakwa Direktur PT Mugi Reksa Abadi, Soetikno Soedarjo menghadirkan 2 Ahli yakni Ahli Keuangan Negara dari Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Hendri Darmawan dan Ahli Hukum Pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Henri untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, JPU dan masing-masing tim Kuasa Hukum dari kedua terdakwa. Perlu diketahui, Emirsyah Satar sebelumnya sudah divonis bersalah terkait kasus suap pengadaan mesin Rolls-Royce untuk pesawat Airbus milik PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Boeing, Bombardier CJ-1000 dan ATR 72-600.
Dalam perkara itu, Emirsyah Satar dihukum 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 3 bulan kurungan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, pada 8 Mei 2020. Kini, Emirsyah Satar juga tengah diadili di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus dalam kasus yang sama yakni terkait pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600.
Jaksa menyebut total kerugian negara melalui PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk akibat perbuatan Emirsyah Satar sebesar 609 juta dolar Amerika Serikat (AS). “Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu memperkaya diri terdakwa Emirsyah Satar atau memperkaya orang lain yakni Agus Wahjudo Hadinoto Soedigno, Soetikno Soedarjo (SS) atau memperkaya korporasi yaitu Bombardier, ATR, EDC/Alberta sas dan Nordic Aviation Capital Pte, Ltd (NAC), yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yaitu merugikan keuangan negara Cq PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, seluruhnya sebesar USD609.814.504,” kata jaksa saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jakpus, Senin (25/03/2024).
Total kerugian negara senilai 609 juta dolar, jika dirupiahkan senilai Rp9,37 triliun dengan kurs rupiah saat ini. Jaksa menyebut Emirsyah Satar tanpa hak menyerahkan rencana pengadaan armada (Fleet Plan) PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk ke Soetikno Soedarjo (SS).
Padahal, rencana pengadaan itu merupakan rahasia perusahaan. “Terdakwa Emirsyah Satar secara tanpa hak menyerahkan rencana pengadaan armada (Fleet Plan) PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang merupakan rahasia perusahaan kepada Soetikno Soedarjo (SS) untuk selanjutnya diteruskan kepada Bernard Duc yang merupakan Commercial Advisor dari Bombardier,” ujar jaksa.
Ahli Hukum Pidana dari Unhas Prof Dr Juajir Sumardi SH MH mengatakan, pertanyaan JPU dan semuanya, ia ingin menempatkan dari sisi yang sebenarnya dari segi hukum. “Jadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu kan terpisah dari Badan Hukum Negara. Nah pertanggungjawaban negara kepada BUMN itu sebatas saham yang diserahkan,” ujar Prof Dr Juajir Sumardi SH MH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
“Kemudian, kerugian BUMN tidak otomatis menjadi kerugian negara karena badan hukumnya terpisah kan. Nah, tetapi kalau ada Perbuatan Melawan Hukum (PMH) itu misalnya, bisa dipertanggungjawabkan. Begitu saja,” katanya.
Menurutnya, harusnya ada proaes pembaruan supaya ada kepastian hukum dan jangan sampai ada kekaburan dalam rangka legal standing (izin) dari perkara ini. “Kalau menurut saya, perkara ini sudah pernah disidangkan dan tidak bisa lagi disidangkan kembali atau Nebish In Idem karena perbuatannya sama. Semisal ada perbuatan yang baru, bolehlah perkara ini disidangkan kembali,” ungkapnya.
“Perkara ini perbuatannya sama di pengadilan, masa diuji lagi?” tanyanya.
Ia melihat adanya kesalahan JPU menghadirkan dugaan kerugian pada urusan operasional. “Padahal, itu bisa dilihat dari direksi baru bukan dari direksi yang lama untuk perkara ini. Karena direksi yang lama itu sudah selesai dari jabatannya dengan pengadaan barang dan jasa itu hingga tahun 2014. Selebihnya itu hingga tahun 2021 tanggungjawabnya direksi yang baru,” tandasnya. (Murgap)