Oleh :
Dahlan Pido SH MH
Terobosan mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (KemenESDM RI) Ridwan Djamaludin dan kawan kawan (dkk) menyepakati memangkas mata rantai birokrasi tata cara evaluasi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) pada 14 Desember 2021 yang dianggap Jaksa PenuntutUmum (JPU) menyalahi Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor 1806/K/30/MEM/2018 tidaklah benar sesuai fakta-fakta persidangan. Latar belakang rapat, motif dan tujuan tidak mengaburkan penerbitan RKAB itu sendiri.
Bahwa ada permasalahan dalam mengevaluasi RKAB pada tahun 2022 disebabkan karena adanya peralihan perijinan dari daerah ke pusat pasca berlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2022, adanya pandemi Corona Virus Disease-19 atau Covid-19, adanya perintah Presiden RI yang tidak menghambat investasi, adanya Sumber Daya Manusia (SDM) yang terbatas atau tidak memadai, adanya aplikasi e-RKAB (elektronik-RKAB) untuk mineral tidak berfungsi dan adanya permohonan RKAB meningkat dari 200 menjadi sekitar 4.000-an.
Permasalahan ini disampaikan secara berjenjang dari evaluator sampai ke Dirjen (terdakwa I Ridwan Djamaludin). Jelas bahwa
tujuan rapat pada 14 Desember 2021 untuk mencari solusi akibat permasalahan yang ditimbulkan pasca pemberlakuan UU Nomor 3 Tahun 2022. Bahwa tindakan terdakwa I dkk di atas sesuai dengan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan JPU dalam persidangan, mencapai 54 saksi (47 saksi fakta dan 7 ahli), pada intinya, semua saksi mengatakan, bahwa Kepmen 1806/K/30/MEM/2018 tidak dapat diterapkan secara utuh untuk melakukan evaluasi RKAB Tahun 2022 karena membutuhkan waktu lebih dari setahun jika diterapkan, dan ada keterbatasan waktu untuk menanggapi usulan RKAB dalam tempo 14 hari (sesuai Permen Nomor 7 tahun 2020), tata cara dan evaluasi diberlakukan oleh terdakwa I Dirjen Minerba sama untuk semua perusahaan.
Berdasarkan asas “Tiada Pidana tanpa Kesalahan”, ada 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mempidanakan seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang (Actus Reus) dan ada sikap bathin yang jahat atau tercela (Mensrea). Bahwa sampai dengan penyampaian Replik oleh JPU, tidak ada satupun alat bukti yang meyakinkan adanya keterkaitan yang menunjukkan sikap bathin jahat (Mensrea) antara perbuatan terdakwa I mantan Dirjen Minerba Ridwan Djamaludin dkk memberikan paraf persetujuan RKAB PT Kabaena Kromit Pratama (KPP) dan PT Tambang Mineral Maju (TMM) tahun 2022 dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri maupun orang lain (terdakwa dari perusahaan atau PT Lawu Agung Mining (LAM) dan para pembuat dokumen terbang atau dokter).
Dahlan Pido SH MH
Bahwa konstruksi hukum yang dibangun oleh JPU keliru karena memperluas Pertanggungjawaban Pidana (ajaran Conditio Sine Qua Non) dengan cara menganggap, bahwa perbuatan mantan Dirjen Minerba sebagai terdakwa I dkk memberikan paraf persetujuan RKAB PT KKP dan PT TMM tahun 2022 sebagai penyebab timbulnya kerugian keuangan negara sebesar Rp2,3 trilun lebih.
Ajaran ini tidak membedakan mana syarat dan mana penyebab, syarat dan penyebab dianggap sama. Oleh karena itu, ajaran ini sudah lama ditinggalkan karena menimbulkan ketidakadilan yang akhirnya bertentangan dengan asas Tiada Pidana tanpa Kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld), karena semua syarat terjadinya akibat dianggap sebagai penyebab dengan mengabaikan sikap bathin, motif maupun tujuan dilakukannya suatu perbuatan.
Bahwa tanggapan JPU atas Pledoi yang disampaikan oleh Penasehat Hukum tidak dapat membuktikan secara nyata berapa tongkang yang dijual oleh PT KKP dan PT TMM bersumber dari Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT Aneka Tambang (Antam) Tbk dan koordinatnya secara rinci, semuanya menggunakan asumsi, sehingga dapat disimpulkan perhitungan kerugian keuangan negara tidak nyata dan pasti.
Dahlan Pido SH MH
Bahwa tidak adanya satupun alat bukti yang meyakinkan adanya keterkaitan yang menunjukan sikap bathin jahat (Mensrea) antara perbuatan terdakwa I dkk memberikan paraf persetujuan RKAB PT KKP dan PT TMM tahun 2022 dengan tujuan memperkaya diri sendiri, orang lain maupun korporasi, maka perbuatan tersebut seharusnya tunduk pada Hukum Administrasi Pemerintahan UU Nomor 30 Tahun 2014 bukan Hukum Pidana.
Sekian dan salam.**** (Penulis adalah Tim Kuasa Hukum mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaludin)