Prof Dr Eggi Sudjana SH MSi
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan untuk keenam kalinya dengan Nomor Pokok Perkara 39 Tindak Pidana Khusus atau Tipidsus tahun 2023 terkait perkara Ali Sofyan yang merupakan salah satu ahli waris tanah dari RS Hadi Sopandi pemilik tanah yang sebelumnya dikuasai oleh pihak PT Pertamina dan kejadiannya pada tahun 2016 hingga 2017 dengan terdakwa ahli waris tanah Ali Sofyan, di ruang Wirjono Projodikoro 2, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Selasa (06/06/2023).
Pada sidang kali ini, dihadirkan saksi untuk memberikan keterangan dan penjelasan di hadapan Jaksa Penuntut Umum (JPU), majelis hakim, dan Kuasa Hukum dari terdakwa ahli waris tanah Ali Sofyan. Kuasa Hukum terdakwa salah satu ahli waris tanah dari RS Hadi Sopandi, Ali Sofyan, Prof Dr Eggi Sudjana SH MSi mengatakan, permintaan penangguhan penahanan untuk kliennya kepada majelis hakim tidak diterima oleh majelis hakim atau belum dikabulkan.
“Tapi tidak ada alasan. Alasannya ya subyektif lah. Padahal, kita punya azaz praduga tidak bersalah atau presumption of innocent dan sudah dibuktikan oleh 15 saksi di persidangan, tidak ada keterangan para saksi yang memberatkan klien kita,” ujar Prof Dr Eggi Sudjana SH MSi kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Dijelaskannya, juga tidak ada connecting atau hubungan hukum antara saksi yang dihadirkan di muka persidangan dengan terdakwa Ali Sofyan. “Hubungan hukum yang dimaksud adalah peristiwanya itu kan ketika saya tanya kepada saksi, saksi menjawab tidak tahu. Maksud saya, apakah ketika di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh penyidik JPU tidak diberitahu terkait kasus perkara ini? Saya terangkan ya, bahwa perkara ini terkait gratifikasi dengan kata lain suap dari seseorang kepada penyelenggara negara atau pejabat negara atau definisinya menurut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Nomor 31 tahun 1999 pasal 13,” terang Prof Dr Eggi Sudjana SH MSi dari Kantor Law Firm Eggi Sudjana and Partner yang berlokasi di Jakarta ini.
“Contohnya begini, saya mencoba menyuap Anda, ngapain saya menyuap Anda, kalau Anda bukan penyelenggara negara atau pejabat yang berkaitan dengan satu situasi instansi yang dipimpin oleh Anda. Kan gak ada pengaruhnya saya memberikan uang ke Anda. Makanya, UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor pasal 13 melimitasi atau membatasi, baru dipidana kalau saya sebagai terdakwa ngasih langsung uang ke Anda selaku penyelenggara negara atau pejabat negara, langsung ada kaitannya,” katanya.
Oleh karena itu, sambungnya, harus dipahami kalau pasal 5 UU Pemberantasan Tipikor Nomor 31 tahun 1999 soal memberikan janji. “Saya buktikan secara detail di muka persidangan, tidak ada satu pun saksi yang mempunyai hubungan hukum itu,” tegasnya.
“Itu persoalan serius. Oleh karena itu, di dalam konteks hukum yang kita lakukan adalah meminta penangguhan penahanan untuk klien kami karena tidak ada satu pun saksi yang punya hubungan hukum itu,” jelasnya.
Dikatakannya, perkara ini harus mengacu kepada azaz praduga tidak bersalah. “Jadi keterangan semua saksi yang hadir di persidangan ini tidak berkualitas. Sudah 15 saksi yang dihadirkan di muka persidangan. Artinya, tidak ada hubungan hukum dan tidak mengerti masalah,” paparnya.
“Selanjutnya, di dalam konteks saksi yang dihadirkan di muka persidangan, tidak berkualitas dan pokok masalah perkara tidak tahu. Perkara klien saya ini soal gratifikasi, ditanya terkait soal tanah .Jadi tidak jelas,” ungkapnya.
Apalagi, imbuhnya, dikaitkan dengan dana PT Pertamina Rp244,6 miliar. “Padahal, dakwaan JPU adalah Rp1 miliar. Menurut saya, dakwaan jaksa diduga telah sesat menyimpang dari pasal 143 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),” ucapnya.
Menurutnya, dakwaan JPU ada tiga kesesatan, yakni pertama, dakwaan JPU tidak lengkap, kedua, dakwaan JPU tidak jelas dan ketiga, dakwaan JPU tidak cermat. “Harusnya, dengan ketentuan tersebut majelis hakim membatalkan demi hukum,” tuturnya.
“Saya sudah mengajukan hingga 3 (tiga) kali surat penangguhan penahanan terhadap klien kami. Kemudian, pada sidang hari ini, saya ajukan lagi surat penangguhan penahanan juga tidak dikasih oleh majelis hakim. Makanya, sekarang saya mengajukan pergantian majelis hakim karena diduga hakim sudah melakukan pelanggaran Peraturan dan Kode Etik Hakim yang di dalamnya disebutkan Hakim Harus Adil, Hakim Harus Mandiri, Hakim Harus Profesional, Hakim Harus Arif Bijaksana, dan Hakim Harus Transparan,” urainya.
Dikatakannya, di dalam konteks Hakim tidak Adil dan Hakim tidak Mandiri, Hakim tidak Profesional, Hakim tidak Transparan, dan Hakim tidak Arif Bijaksana, semua dilanggar, itu ada pada Peraturan dan Kode Etik Hakim sesuai Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) dan Komisi Yudisial (KY,). “Pada sidang selanjutnya, majelis hakim sudah diganti,” harapnya.
“Saya mengharapkan masih bisa menemui keadilan di Indonesia. Khususnya di PN Jakpus. Menariknya, uang yang keluar Rp244,6 miliar itu putusan PN Jakpus. Kalau mau dipersoalkan, putusan PN Jakpus itu dong,” tandasnya. (Murgap)