Kuasa Hukum terdakwa Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh, Dasril Affandi SH MH (pertama dari kanan) foto bersama anggota tim Kuasa Hukumnya Wira SH di teras Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jakpus, Rabu siang (22/02/2023). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Tok! Akhirnya, terdakwa Direktur PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh atau John Irfan Kenway dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Rabu siang (22/02/2023), divonis oleh Majelis Hakim dengan kurungan 10 (sepuluh) tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter angkut Agusta Westland (AW) 101 di lingkungan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) tahun 2015 hingga 2017 di ruang Prof Dr H Muhammad Hatta Ali SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Rabu siang (22/02/2023).
“Menyatakan terdakwa John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tipikor secara bersama-sama,” ujar Ketua Majelis Hakim Djuyamto dalam persidangan di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Rabu siang (22/02/2023).
“Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh selama 10 tahun,” ujar Hakim Djuyamto.
Kuasa Hukum terdakwa Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh, Dasril Affandi SH MH mengatakan, hari ini adalah agendanya mendengarkan putusan final Majelis Hakim terkait perkara pembelian helikopter angkut jenis AW 101. “Sudah diputus perkara ini oleh Majelis Hakim dan putusannya 2/3 dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU),” ujar Dasril Affandi SH MH yang didampingi anggota tim Kuasa Hukumnya Wira SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Dikatakannya, tuntutan JPU untuk kliennya adalah 15 (lima belas) tahun dan diputus final oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus selama 10 tahun hukuman penjara. “Paling meyakinkan kami adalah bahwa telah diakuinya helikopter angkut AW 101 itu telah diterima oleh negara secara adanya rekomendasi dari Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI),” tegasnya.
“Dihitung nilainya yakni sebanyak Rp555 miliar dan sudah terdaftar di dalam barang milik negara (BMN). Artinya, helikopter AW 101 diterima oleh negara dan tentu ada nilainya,” ungkapnya.
Namun demikian, sambungnya, tidak total loss atau adanya total kerugian negara seperti apa yang didakwakan oleh JPU dan apa yang dituntut oleh JPU, itu yang pertama. “Kedua, perhitungan yang dibuat dalam pertimbangan Majelis Hakim yang menyatakan, ada uang pengganti sebesar Rp17 miliar, menurut hemat kami, uang pengganti Rp17 miliar yang dibebankan kepada klien kamii itu juga tidak tepat,” terangnya.
“Karena Majelis Hakim tidak mempertimbangkan jumlah Pajak Penghasilan (PPh) yang dipotong dan disetor oleh negara pada saat dilakukan pembayaran pada pembayaran termin 1 dan termin 2,” jelasnya.
Dikatakannya, jika Majelis Hakim memperhatikan adanya bukti potong dan bukti setor pajak tersebut, maka seharusnya kliennya tidak dibebankan lagi dengan adanya uang pengganti Rp17 miliar dan kerugian keuangan negara pun seharusnya nol rupiah. “Kalau kerugian keuangan negara menjadi nol rupiah, tentu perkara klien saya ini akan berbeda hasil putusannya, dan hasil putusan klien saya ini akan menjadi bebas murni pada putusan hakimnya,” ungkapnya.
“Selanjutnya, klien kami tadi menyatakan, dalam.kurun waktu hingga 7 (tujuh) hari ke depan akan mengambil sikap pikir-pikir, dan JPU juga mengambil sikap pikir-pikir. Kalau nanti ada pihak yang mengajukan memory banding, semoga Hakim di tingkat banding dan di tingkat kasasi bisa mengkoreksi putusan final Majelis Hakim ini,” imbaunya.
Atau setidaknya, imbuhnya, nanti akan ada Peninjauan Kembali (PK) yang bisa mengkoreksi putusan final Majelis Hakim ini. (Murgap)