Ahli Hukum Pidana Prof Dr Mudzakir SH MH (pertama dari kanan) foto bersama Kuasa Hukum terdakwa Dirut Bank Jateng cabang Jakarta, Bina Mardjani (BM), Dhani SH di lobby PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Rabu siang (27/07/2022). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) kembali menggelar acara sidang lanjutan perkara Tipikor dengan terdakwa Direktur Utama (Dirut) Bank Jateng cabang Jakarta, Bina Mardjani (BM) dan terdakwa Dirut PT Garuda Technology (GT) Bambang Supriyadi (BS) terkait perkara kasus pemberian kredit fiktif proyek di Bank Jateng cabang Jakarta dan BS diduga melakukan rekayasa kontrak kerja proyek dari 2017 hingga 2019 yang merugikan keuangan negara hingga miliaran rupiah di ruang Prof Dr Kusuma Admadja SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Rabu siang (27/07/2022).
Pada sidang kali ini, tim Kuasa Hukum terdakwa Dirut Bank Jateng cabang Jakarta, Bina Mardjani, Dhani SH menghadirkan 2 (dua) Ahli bidang Hukum yakni Ahli Hukum Pidana Prof Dr Mudzakir SH MH dan Ahli Hukum Perbankan dari Universitas Bandar Lampung, Dr Zulfi Diane Zaini SH MH untuk memberikan keterangan dan penjelasan di hadapan majelis hakim dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan masing-masing tim Kuasa Hukum dari kedua terdakwa. Terdakwa BS disangkakan Pasal 2 dan Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor dan Pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) juncto (jo) Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Perlu diketahui, terdakwa BM diduga menerima fee (uang muka) sebesar 1% dari nilai kredit yang dicairkan dari debitur. Terdakwa BM juga memerintahkan stafnya untuk memberikan kredit proyek yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku hingga membiarkan dana kredit proyek tersebut digunakan tak sesuai dengan peruntukannya.
Untuk Bank Jateng cabang Jakarta, terdakwa BM diduga telah menyalahgunakan kewenangannya dan diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) dalam memberikan fasilitas kredit kepada tersangka BS. Tidak hanya itu, terdakwa BS juga diduga memberikan uang imbal jasa kepada Bina Mardjani sebanyak 3 kali sebesar Rp1,6 miliar.
Uang itu diberikan sebagai imbal jasa atas persetujuan kredit PT GT. Pemberian itu terdiri atas Rp1 miliar, Rp300 juta, dan Rp300 juta.
Adapun barang bukti (bb) yang disita berupa penyitaan terhadap pembayaran pekerjaan yang dilakukan oleh PT MDSI di Perusahaan Listrik Negara (PLN) Teluk Sirih sebesar Rp3.883.870.000 (tiga miliar delapan ratus delapan puluh tiga juta delapan ratus tujuh puluh ribu rupiah), penyitaan pembayaran premi Asuransi Kredit Indonesia atau Askrindo terhadap 14 (empat belas) kredit proyek dengan total senilai Rp6.317.928.000 (enam miliar tiga ratus tujuh belas juta sembilan ratus dua puluh delapan ribu rupiah), pengembalian cash collateral PT GT sebesar Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah), penyitaan uang dari analis kredit sebesar Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah), penyitaan uang Hak Tagih Pembayaran dari PT INTI ke PT GT sebesar Rp110.000.000 (seratus sepuluh juta rupiah). Ahli Hukum Pidana Prof Dr Mudzakir SH MH mengatakan, melihat perkara Dirut Bank Jateng cabang Jakarta, Bina Mardjani, pada prinsipnya dalam satu tindak pidana dalam perbankan bisa menjadi Tipikor, apabila Undang-Undang (UU) Perbankan mengatur Pasal 14 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor.
“Isi Pasal 14 itu intinya adalah tindak pidana lain tertentu dalam UU lain sebagai Tipikor apabila UU lain itu mengatur, menyatakan, bahwa tindak pidana sebuah Tipikor,” ujar Prof Dr Mudzakir SH MH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Dikatakannya, secara Acountrary, kalau UU Perbankan itu tidak ada mengatur Pasal 14 itu sebagai Tipikor, mutlak tidak bisa dikorupsikan atau dimasukan dalam Tipikor. “Jika itu dimasukan ke dalam Tipikor, melahirkan penyidik dan JPU yang akan melawan hukum. Karena apa? lisensi Pasal 14 tidak masuk di dalamnya,” katanya.
Oleh sebab itu, sambungnya, mutlak UU Perbankan tidak bisa dimasukan ke dalam Pasal 14. “Begitu pula, perkara yang terkait dengan UU Asuransi, dan UU yang lain. Misalnya, UU yang bisa masuk ke dalam Pasal 14 yaitu UU Perpajakan,” terangnya.
Menurutnya, Perpajakan itu ada Hukum Administrasi Perpajakan, Ada Sanksi Administrasi Perpajakan, dan Sanksi Pidana Perpajakan dan ada Sanksi Tindak Pidana Finansial. “Kalau begitu, syarat Pasal 14 harus ada di dalam UU terkait,” ungkapnya.
Ia menilai, bahwa munculnya perkara kredit fiktif pada Bank Jateng cabang Jakarta ini karena adanya perjanjian pembayaran uang kredit atau ada perdatanya. “Selesaikanlah pembayaran hutang kreditnya. Kalau tidak mau dibayar, maka Bank Jateng cabang Jakarta ambilah harta kekayaannya dari pihak yang meminjam uang kredit karena jaminannya itu dalam bentuk asuransi,” paparnya.
“Kalau hal itu tidak bisa, maka kekayaan PT yang meminjam uang kredit dari Bank Jateng cabang Jakarta, bisa disita untuk melunasi hutang kreditnya oleh Bank Jateng cabang Jakarta,” katanya.
Dijelaskannya, Bank Jateng cabang Jakarta bisa melakukan gugatan perdata untuk menyita harta kekayaan pihak yang meminjam uang kredit. “Itu yang bisa dilakukan oleh Bank Jateng cabang Jakarta,” tuturnya.
Sementara, Ahli Hukum Perbankan dari Universitas Bandar Lampung, Dr Zufi Diane Zaini SH MH menilai Dirut Bank Jateng Cabang Jakarta, Bina Mardjani selaku Pimpinan Cabang (Pinca) Bank Jateng cabang Jakarta tidak bisa disalahkan sebagai pelanggar prinsip kehati-hatian (prudent) perbankan karena Bank Jateng cabang Jakarta memunyai Standar Operasional Prosedur (SOP), dan masing-masing punya Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi). “Jadi masing-masing pihak harus melihat Tupoksinya. Tapi itu semua sudah terkoordinasi dengan baik atas dasar arahan dari Dirut Bank Jateng cabang Jakarta, Bina Mardjani selaku Pinca,” kata Dr Zulfi Diane Zaini SH MH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Ahli Hukum Perbankan Universitas Bandar Lampung, Dr Zulfi Diane Zaini SH MH (pertama dari kiri) foto bersama anggota tim Kuasa Hukumnya di teras PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jakpus, Rabu siang (27/07/2022). (Foto : Murgap Harahap)
“Tadi juga di persidangan, terdakwa Pinca Bank Jateng cabang Jakarta Bina Mardjani menerangkan, bahwa ia ketika menjabat sebagai Pinca Bank Jateng cabang Jakarta tidak pernah terjadi kredit bermasalah. Karena apa? Tolok ukur dari suatu bank dan bank itu dianggap baik, tidak adanya kredit bermasalah atau Non Performance Loan (NPL),” terangnya.
Dikatakannya, kredit macet pun tidak pernah terjadi di Bank Jateng cabang Jakarta ketika Bina Mardjani menjabat sebagai Pinca Bank Jateng cabang Jakarta. “Maka dari itu, ada satu good kinerja atau kinerja baik dari Bina Mardjani selaku Pinca Bank Jateng cabang Jakarta,” ungkapnya.
“Saya melihat perkara ini lebih banyak kena ke UU Perbankan. Karena dakwaan JPU itu lebih mengarah ke prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian itu kan diatur dalam UU Perbankan yakni perbankan prinsipal,” katanya.
Dijelaskannya, di dalam fakta persidangan terungkap, bahwa pihak debitur (pihak yang meminjam uang ke bank) melakukan kecurangan pada masa Bina Mardjani selesai menjadi Pinca Bank Jateng cabang Jakarta.
Dr Zulfi Diane Zaini SH MH adalah Dosen Fakultas Ilmu Hukum dan Magister Ilmu Hukum serta Ketua Pusat Program Studi (Prodi) Hukum Perbankan dari Universitas Bandar Lampung. (Murgap)