Kuasa Hukum terdakwa Dirut PT Nafasa Insan Creas Mira Sartika, Mintarno SH (pertama dari kiri) foto bersama anggota tim Kuasa Hukumnya Johny Bakar SH di luar ruang sidang Wirjono Projodikoro 1, PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis siang (22/07/2021). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) kembali menggelar sidang lanjutan perkara Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam kasus pengadaan 16 (enam belas) mesin genset antara PT Dan Pratama Indonesia (DPI) dan PT Telekomunikasi Indonesia (PT Telkom Indonesia) dengan total nilai Rp32 miliar dengan terdakwa Direktur Utama (Dirut) PT Nafasa Insan Creas Mira Sartika, di ruang Wirjono Projodikoro 1, PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis siang (22/07/2021).
Pada sidang kali ini, dihadirkan Ahli atas permintaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya (PMJ) Ardian sebagai pihak yang menyelidiki dan mengaudit uang kerugian negara kasus perkara terdakwa Dirut PT Navasa Insan Creas Mira Sartika dalam proyek pengadaan mesin genset fiktif untuk memberikan keterangan di hadapan Majelis Hakim PN Jakpus. Kuasa Hukum terdakwa Dirut Nafasa Insan Creas Mira Sartika, Mintarno SH menjelaskan, keterangan Ahli Ardian menyatakan, bahwa kerugian keuangan negara itu adalah Rp32,4 miliar.
“Padahal, sudah ada barang bukti (BB) yang sudah disita dan sudah ada uang yang disita dan sudah ada uang yang diserahkan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Saya tidak tahu bagaimana pola perhitungannya kerugian keuangan negara itu seperti apa?” ujar Mintarno SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Nah, sambungnya, pihaknya menanyakan lebih jauh, bahwa uang yang sudah masuk ke rekening PMJ senilai RpRp300 juta dan masuk ke kas pajak negara, BB yang disita itu bentuknya sudah seperti apa? “Tadi barang yang disita itu kan berupa aset. Asetnya itu berupa apa? Kenapa tidak dikurangi oleh kerugian negara yang disangkakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah Republik Indonesia (BPKP RI)? Bahwa kerugian negara tetap Rp32,4 miliar,” ungkapnya.
“Padahal, sudah ada bentuk penyitaan BB, penyitaan uang, dan ada juga penyerahan ke Kantor Ditjen Pajak Kemenkeu. Ini bagaimana? Karena uang ini tertulis di dalam keuangan negara sebagai apa statusnya?” tanyanya.
Dikatakannya, apakah nanti BB yang disita ini, mohon maaf ya, sebagai rampasan perang atau apa? “Barang sitaan atau uang sitaan? Ini menjadi perlu dilihat. Jangan sampai nanti uang yang disita ataupun barang ataupun aset yang disita, jadi uang yang tak bertuan,” tegasnya.
“Karena apa? Negara mencatat kerugiannya tetap Rp32 miliar. Sedangkan, uang-uang yang sudah disita dan sudah ada yang disetorkan ke Ditjen Pajak Kemenkeu. Kenapa dicatat masih negara merugi Rp32 miliar?” paparnya.
Menurutnya, kerugian negara harusnya dikurangi. “Ahli yang disidangkan hari ini di persidangan tidak melakukan audit secara menyeluruh dari semua pihak. Karena apa? Karena sudah ada pihak-pihak yang sudah membayarkan pajaknya termasuk klien kami. Itu sudah dihitung membayar pajak sebesar Rp900 juta,” terangnya.
“Tapi pembayaran pajak klien kami tidak dihitung. Alasan Ahli penyidik Ditreskrimsus PMJ Ardian ini, bahwa pihaknya mendapatkan data dari penyidik PMJ seperti itu. Artinya, tidak melakukan audit secara menyeluruh,” katanya.
Dijelaskannya, harusnya ketika melakukan audit, seorang auditor itu, apalagi ini menyangkut perkara pidana, perkara pidana adalah mencari kebenaran materil harus teliti. “Bukan hanya kebenaran formil saja. Kebenaran materil yang cakupannya ke mana sih?” urainya.
“Jadi harus tahu uangnya berada di mana dan sisanya berapa serta kerugian negara berapa? Itu yang menurut kami selaku Kuasa Hukum terdakwa Mira Sartika, auditor yang bisa dipertangungjawabkan hasil auditnya,” paparnya.
Dikatakannya, rekannya sesama anggota tim Kuasa Hukum bernama Johny Bakar SH mengatakan, bahwa sesuai dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), lembaga yang berhak menyusun kerugian negara itu siapa? “Apakah BPKP RI tidak menyampaikan kepada penyidik dari Ditreskrimsus PMJ, bahwa kewenangan kami tidak ada untuk menghitung kerugian negara. Kecuali lembaga yang meminta untuk menghitung kerugian uang negara langsung dari KPK. KPK diberikan kewenangan seluas-luasnya. Bahkan, KPK untuk menghitung sendiri kerugian uang negara diperbolehkan, menurut UU KPK,” tegasnya.
“Jadi Ahli penyidik dari Ditreskrimsus PMJ ini harusnya ada koordinasi kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Penyidik harusnya menanyakan berapa kerugian uang negara?” jelasnya.
Agenda sidang selanjutnya, sambungnya, pihaknya akan menghadirkan saksi Ad-Charge (saksi yang meringankan) untuk kliennya. “Rencananya, kami akan menghadirkan 2 (dua) orang saksi Ad-Charge dan kalau tidak ada halangan, Ahli juga akan kami hadirkan di persidangan. Ahli Hukum Pidana dan Ahli Hukum Tata Negara, karena kami ingin melihat posisi klien kami yang melapor perkara ini ke PMJ karena merasa dirugikan seperti apa? Biar nanti Ahli yang membedah kasus perkara ini. Terus klien kami pernah dituntut untuk kasus perkara yang sama dan nilainya sama Rp32,4 miliar dan putusan hakimnya adalah Onslag (lepas dari tuntutan hukuman). Apakah dengan adanya bukti tersebut seseorang itu bisa dihukum dua kali dalam persoalan yang sama?” ungkapnya.
“Apalagi, sudah afa kekuatan hukum tetap atau inchrat. Harapan saya adalah kami ingin proses penegakan hukum itu bisa terpenuhi semua. Jangan hanya copy paste (copas). Orang sebagai terdakwa ada praduga tak bersalah dan harus tetap diterapkan dan harus berkekuatan putusan hukum tetap atau inchrat. Dalam sidang, semua fakta-fakta persidangan harus menjadi pertimbangan bagi Majelis Hakim PN Jakpus untuk memutus perkara ini dengan seadil-adilnya,” tandasnya. (Murgap)