Lokasi tambang yang disegel polisi baru-baru ini. (Istimewa)
Jakarta, Madina Line.Com – Usai tambang batubara milik PT Damai Mitra Cendana (DMC) yang diduga bodong, disegel oleh Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Bareskrim Polri), Sabtu siang (26/05/2021).
Kabar terbaru, izin beraktivitas dan beroperasi PT DMC diketahui sudah didrop (dihapus) dari dashboard Minerba One Data Indonesia (MODI) milik Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (KemenESDM). MODI adalah aplikasi untuk menampilkan informasi umum kegiatan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.
Didropnya nama PT DMC ini bisa dicek langsung di laman atau situs link https://modi.minerba.esdm.go.id/portal/dataPerusahaan dengan mengetik nama perusahaan bersangkutan. Saat form nama perusahaan diketik, PT DMC dan di search atau cari, hasilnya no results found (tidak ada hasil).
Dari penelusuran tersebut dan saat dikonfirmasi ke bagian Direktorat Jenderal (Ditjen) Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, bila ada fakta semacam itu, maka besar kemungkinan izin yang bersangkutan dalam hal ini, PT DMC sudah didrop atau dihapus dari MODI Minerba.
Lenyapnya nama PT tersebut di MODI Minerba tentu saja menjadi buah bibir di kalangan penambang Tanah Air.
Sikap tegas ini menunjukkan, bahwa aparat penegak hukum dan tentunya institusi di Kementerian ESDM tidak pandang bulu dalam mengganyang pengusaha nakal yang bekerja tanpa izin resmi.
“Top, ketegasan aparat ini yang kita tunggu. Masak pemilik tambang resmi tidak bisa bekerja (eksplorasi), sementara penambang nakal dan liar ugal-ugalan menggunakan izin terbang untuk menambang tanah orang lain. Jelas ini tidak adil,” ungkap salah satu penambang di Kalimantan Selatan (Kalsel) kepada media ini.
Seperti dikutip dari tambang.co.id, tambang milik PT DMC berlokasi di Kabupaten Banjar, Kalsel. Informasi tersebut dikonfirmasi oleh sumber di Kepolisian Resor Kabupaten Banjar.
“Ya benar, tim kami ada yang ikut turun membantu memasang plang segel dari Bareskrim Polri,” ujarnya, saat dihubungi tambang.co.id, Sabtu (26/06/2021).
Berdasarkan pantauan di lapangan, plang tersebut menyebutkan tambang milik Damai Mitra sedang dalam penyelidikan Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri. Sebelumnya, masalah tambang bodong ini awalnya muncul dalam Rapat Kerja (Raker) di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dengan Kepala Polisi RI (Kapolri).
Wakil Ketua (Waket) Komisi III dari Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN), Pangeran Khairul Saleh mencurigai ada sindikat di lingkaran Kementerian ESDM yang menerbitkan 20 (dua puluh) izin palsu di Kalsel, salah satunya PT DMC.
“Ada indikasi sindikat, karena tiba-tiba ada 20 izin di Kalsel yang diterbitkan oleh Kementerian ESDM,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyanggupi akan mengecek asal-usul permasalahan tersebut. Ia bakal menelusuri pihak-pihak terkait di balik penerbitan izin yang diduga bodong itu.
“Kami akan proses dan cek bagaimana asal-usulnya, sehingga (izin) bisa keluar,” tegasnya.
Direktur Tipiter Bareskrim Polri mengatakan, permasalahan pertambangan yang kian kompleks akhir-akhir ini ternyata pemicunya bukan berasal dari pusat melainkan dari daerah. “Akibat hal itu, marak terjadi pertambangan ilegal (illegal minning) atau keluarnya perizinan yang ilegal, dan lain-lain,” ungkapnya.
Hal itu terungkap dalam acara Webinar Nasional yang diselenggarakan oleh Kaukus Muda Indonesia (KMI) bertema “Evaluasi Sektor Pertambangan di tengah Maraknya Illegal Mining”, Kamis (24/06/2021). Pihak yang membeberkan hal ini adalah Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Polisi (Brigjenpol) Pipit Rismanto. Pipit menegaskan, sektor pertambangan di Indonesia memiliki banyak masalah kompleks, yang seharusnya pada masa pandemi Corona Virus Disease (Covid)-19, sektor ini memberikan kontribusi bagi perekonomian.
“Dari permasalahan pertambangan yang berhasil diinventarisir oleh kepolisian, permasalahan lebih banyak pada soal tata kelola yaitu penerbitan izin di awal,” tegas Jenderal bintang satu ini.
Menurut dia, dalam menentukan tata ruang juga sering terjadi permasalahan, yang seharusnya diperlukan kompetensi-kompetensi tertentu agar tidak terjadi pelanggaran. Inilah sebagian permasalahan-permasalahan yang ditemukan kepolisian setelah dilakukan pemeriksaan dan penyidikan.
Lebih lanjut, dikatakannya, akibat kondisi tersebut, penegakan hukum yang ada dikatakan lembek, dan lemah. Padahal, apa yang wajib ditanyakan adalah proses penerbitan izin itu sendiri.
“Kita tidak bisa menyalahkan proses penegakan hukum yang lemah saja, namun yang perlu dipertanyakan juga soal proses penerbitan izin pertambangan. Di daerah misalnya, seharusnya praktek penambangan diawali adanya rekomendasi teknis dari pemerintah setempat, namun hal ini tidak dilakukan. Endingnya (akhirnya) yang disalahkan adalah penegak hukum,” tegasnya.
Pipit menambahkan, terkait penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri mengalami transformasi yang awalnya mengejar keadilan retributif juga harus mengejar keadilan yang restoratif. Polri menganggap penegakan hukum sebagai alternatif terakhir.
Sementara itu, dari penelusuran di lapangan dan informasi yang diterima menyebutkan, aktivitas penambangan ilegal di Kalimantan Timur (Kaltim), ternyata melibatkan sejumlah pihak yang diduga kuat menjadi mata rantai mafia Illegal minning. Perputaran uangnya pun terbilang besar, termasuk di dalamnya perputaran uang untuk biaya koordinasi.
Sebagai informasi praktik penambangan lapangan di Kaltim saja, di sana selama sebulan mampu mengangkut batubara setidaknya 94 (sembilan puluh empat) tongkang. Jika diperinci perhitungannya, sebagai berikut, 1 (satu) tongkang batubara itu volumenya mencapai 7.500 ton.
Produksi selama sebulan mencapai 94 (sembilan puluh empat) tongkang, sehingga jika dikalikan 7.500 ton dikalikan 94 tongkang, totalnya 705.000 ton per bulan.
Lalu, perhitungan biaya koordinasi, biaya ini dikeluarkan untuk membiayai pengeluaran selama proses produksi sampai pengiriman. Berapa ongkos yang dikeluarkan untuk membiayai koordinasi 705.000 ton batubara ini?
Jawabnya demikian, aturan yang berlaku di lapangan terungkap, biaya koordinasi yang dikeluarkan untuk mengeluarkan batubara pertonnya Rp80.000. Jika jumlah produksi totalnya 705.000 ton, maka total biaya koordinasi untuk mengeluarkan 705.000 ton mencapai sekitar Rp56 miliar.
Informasi lain yang dihimpun menyebutkan, mereka mampu menguasai penambangan di Kaltim mulai dari koridor Kutai Kartanegara, Samarinda, Bontang hingga Paser. Bahkan, para mafia ini tak tanggung-tanggung royalnya dalam mengeluarkan uang untuk biaya pengurusan perizinan, hingga biaya keamanan bernilai sampai puluhan miliar rupiah per bulan untuk biaya koordinasi, sehingga dampak yang ditimbulkan tidak hanya kerusakan lingkungan akibat penambangan liar.
Tapi kerugian yang dialami negara yakni nihilnya penerimaan pendapatan negara dari royalti, serta pajak yang tidak disetorkan yang nilainya fantastis. Nah, berikut nama yang diduga kuat terlibat dalam mafia tambang ilegal di Kaltim, di antaranya, Welly Thomas dari PT Sumber Global Energy (PT SGE), Petrus dari PT Limas Tunggal, Alif (anak Tony Kasogi).
Perempuan dari Surabaya, Jatim, bernama Tan Paulin (ratu koridor), istri Irwantono Sentosa, pasangan suami dan istri pemilik dari PT Sentosa Laju Energy.
Lalu Ismail Bolong (anggota polisi aktif), dan kelompok Peter.
Nama lainnya diduga terlibat adalah Regina dan Mathew. Keduanya merupakan pasangan suami istri, pengusaha tambang batubara asal Surabaya. Wilayah operasi pertambangan di Kalsel dan Kaltim yang biasa memakai dokumen terbang juga tidak lepas diback-up (didukung) oleh oknum aparat. (red)
Editor : RB Syafrudin Budiman SIP