Jakarta, Madina Line.Com – Academics TV bekerjasama Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (Unila) mrngadakan acara diskusi webinar dengan memgambil tema “Mendudukan TNI Dalam Upaya Penanggulangan Terorisme” yang dilakukan melalui Zoom Meeting dan Live Streaming YouTube Academics TV, Selasa (24/11/2020).
Peserta webinar terdiri dari kalangan umum. Ada dari mahasiswa, dosen, media massa dan masyarakat umum, terhitung 100 (seratus) peserta mengikuti webinar melalui Zoom Meeting dan lainnya mengikuti webinar melalui live streaming YouTube Academics TV.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta Presiden Republik Indonesia (RI) Ir H Joko Widodo (Jokowi) menarik Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari pembahasan dan penandatanganan sebelum ada kebijakan yang jelas berdasarkan prinsip negara hukum dan norma HAM.
Permintaan ini dituliskan dalam rekomendasi Surat Komnas HAM ke Presiden RI dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada 17 Juni 2020, sebagaimana disampaikan oleh Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara dalam Seminar Online Kerjasama Academic TV dengan FISIP Unila pada Selasa siang (24/11/2020).
Beka Ulung mengungkapkan, Komnas HAM menilai Rancangan Perpres ini bertentangan dengan pendekatan hukum yang menjadi paradigma Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu Criminal Justice System dan UU No 34 Tahun 2004 Tentang TNI yang menekankan pelibatan TNI dalam penanganan terorisme sebagai perbantuan, sehingga pelibatan TNI adalah bersifat Ad Hoc, didasarkan pada keputusan politik negara dan anggaran hanya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Secara prinsip menurut Beka, rancangan ini bertentangan dengan prinsip lex superior legi inferior.
Selanjutnya, alasan permintaan penarikan rancangan menurut Surat Komnas HAM, imbuhnya, karena Rancangan Perpres ini bercirikan pendekatan War Model dalam penanganan terorisme yang melahirkan status kondisi “perang” tanpa kejelasan hukum dan memicu pelanggaran HAM. “Komnas HAM juga menyoroti potensi tumpang tindih peran yang dilahirkan Peraturan Presifen (Perpres) dalam tata kelola penanganan terorisme, di dalam UU No 5 Tahun 2018 telah diatur tugas dan kewenangan sejumlah lembaga selain TNI.
Dalam Webinar tersebut, Dr Ahmad Irzal Fardiansyah SH MH, Pakar Hukum Pidana Unila dalam paparannya, menyatakan, bahwa dari sisi kebijakan, pemberantasan terorisme pada aspek preventif dan represif sudah dilakukan oleh 2 (dua) lembaga, yaitu Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). “Jadi, apa yang diamanatkan kepada TNI dalam Rancangan Perpres sudah dilakukan lembaga lain, sehingga berpotensi tumpang tindih dan menambah beban keuangan negara,” ujarnya.
Pasalnya, Ahmad menegaskan, bahwa jika pelibatan TNI diperlukan, maka itu terkait dengan ancaman yang melampaui kemampuan aparat penegak hukum untuk mengatasinya, dilakukan sebagai bentuk perbantuan dan kendali operasi tetap berada pada Polri, serta tunduk pada ketentuan dan norma hukum dan HAM.
Ahmad mengingatkan, bahwa TNI bukan aparat penegak hukum, sehingga jika dipaksakan masuk dalam ranah penegakan hukum akan melanggar kepentingan penegakan hukum pidana yang melindungi hak negara, masyarakat, pelaku dan korban berdasarkan hukum acara pidana. Dalam kesempatan yang sama, Dr Robi Cahyadi Kurniawan SIP MA, Pakar Politik Unils menyampaikan hasil pengamatannya, bahwa dalam dua tahun terakhir eskalasi ancaman terorisme menurun, yang berkaitan erat dengan keberhasil penanganan oleh aparat penegak hukum dan Pemerintah Indonesia. “Karenanya, menjadi tidak relevan membicarakan penanganan TNI terhadap terorisme,” ujar Robi
Di sisi lain, Robi juga menyoroti sumber anggaran TNI dalam Rancangan Perpres dari APBN, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan sumber lain-lain yang tidak mungkin dipenuhi Pemerintah Indonesia karena saat ini anggaran negara difokuskan untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease-19 atau Covid-19 dan pemulihan ekonomi. Sementara, Himawan Indrajat SIP. MSi, selaku Pakar Politik Pemerintahan Unila dalam kritiknya terhadap Rancangan Perpres menyatakan, perlunya produk hukum yang lebih jelas mengatur keterlibatan TNI karena Perpres ini tidak mengatur koordinasi dengan lembaga lain
Hal ini agar tidak tumpang tindih, serta perlu diperbaiki aturan-aturannya agar jelas dalam upaya tetap menghormati HAM. “Jangan sampai Perpres ini menjadi Boomerang di kemudian hari,” ungkap Himawan Indrajat. (Murgap)