Kuasa Hukum Terdakwa Komisaris PT IAE Iswan Ibrahim, Layung Purnomo SH MH Jelaskan Kliennya Nilai Advance Payment Itu Bukan Suatu Perbuatan Melawan Hukum (PMH)

Layung Purnomo SH MH

Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan perkara dugaan Tipikor dengan terdakwa Direktur Komersial PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Persero periode 2016-2019, Danny Praditya dan terdakwa Komisaris PT Inti Alasindo Energy atau PT IAE periode 2006 hingga 2024 Iswan Ibrahim, yang didakwa menerima aliran uang kasus korupsi jual beli gas PT PGN (Persero) periode 2017 hingga 2021, di ruang Prof Dr HM Hatta Ali SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Senin (22/12/2025).

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, Iswan Ibrahim bersama dengan Danny Praditya, selaku Direktur Komersial PT PGN (Persero) periode 2016-2019, telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Keduanya melakukan kegiatan untuk memperoleh dana dari PT PGN (Persero) dalam rangka menyelesaikan utang PT Isargas Group. “Dengan cara memberikan advance payment (pembayaran di muka adalah pembayaran yang dilakukan oleh pembeli kepada penjual sebelum barang atau jasa diterima). Metode ini bisa dilakukan untuk seluruh nilai transaksi (full payment) atau sebagian (partial payment) dalam kegiatan jual-beli gas,” kata jaksa saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Senin (01/09/2025).

Padahal, sambung jaksa, PT PGN (Persero) bukan perusahaan financing atau pembiayaan. Selain itu, terdapat larangan jual-beli gas secara berjenjang.

Keduanya juga dituding mendukung rencana akuisisi PT PGN (Persero) dengan PT Isargas Group. Jaksa menyebut, tidak ada due diligence (uji tuntas) atas rencana akuisisi tersebut.

Jaksa menilai, perbuatan tersebut telah memperkaya sejumlah pihak. “Memperkaya Iswan Ibrahim sebesar US$3.581.348,75,” ujarnya.

Selain itu, memperkaya Arso Sadewo selaku Komisaris Utama (Komut) PT IAE sebesar US$11.036.401,25, mantan Direktur Utama (Dirut) PT PGN (Persero) Hendi Prio Santoso (HPS) sejumlah US$500.000, dan Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Waketum Kadin) Yugi Prayanto sebanyak US$20.000. “Yang merugikan keuangan negara sebesar US$15 juta dolar Singapore atau dalam jumlah tersebut,” kata jaksa.

Ini sebagaimana laporan hasil pemeriksaan investigatif Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Nomor 56/LHP/XXI/10/2024 berwarkat 15 Oktober 2024. Apabila dikonversi, US$15 juta dolar setara dengan Rp247.050.000.000 atau Rp247 miliar.

Ini berdasarkan asumsi Rp16.470 per dolar Amerika Serikat (AS). Atas perbuatannya, Iswan Ibrahim didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Juncto (Jo) Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Agenda sidang kali ini, jaksa KPK membacakan amar tuntutan kepada kedua terdakwa di hadapan majelis hakim, jaksa dan tim Kuasa Hukum terdakwa. Direktur Komersial PT PGN (Persero) Tbk atau PGN periode 2016–2019 Danny Praditya dituntut pidana selama 7 tahun dan 6 bulan penjara pada kasus dugaan korupsi jual beli gas antara PT PGN (Persero) dan PT IAE pada kurun waktu 2017–2021.

JPU dari KPK Ni Nengah Gina Saraswati meyakini terdakwa Danny Praditya bersalah melakukan Tipikor secara bersama-sama, sebagaimana diancam pidana dalam dakwaan kesatu. “Seperti dalam Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dan ditambah dalam UU Nomor 20 Tahun 2021 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” ujar JPU dalam sidang pembacaan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Senin (22/12/2025).

Selain terdakwa Danny Praditya, terdapat pula terdakwa Komisaris PT IAE periode 2006–2024 Iswan Ibrahim yang dituntut pada sidang yang sama agar dinyatakan bersama-sama dengan terdakwa Danny Praditya melakukan korupsi, sehingga diminta agar dikenakan pidana penjara selama 7 tahun. Tak hanya pidana badan, terdakwa Danny Praditya dan terdakwa Iswan Ibrahim juga dituntut agar dijatuhi hukuman denda masing-masing senilai Rp250 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.

Khusus terdakwa Iswan Ibrahim, JPU juga menuntut agar dihukum pula dengan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti senilai 3,33 juta Dolar Amerika Serikat (AS) subsider pidana penjara selama 3 tahun. Adapun JPU menilai perbuatan kedua terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan Tipikor.

Khusus terdakwa Danny Praditya, sambung JPU, dinilai tidak mengakui perbuatannya, sedangkan terdakwa Iswan Ibrahim telah menikmati hasil Tipikor. Namun, JPU menyatakan keduanya memiliki tanggungan keluarga.

Sementara, terdakwa Iswan Ibrahim dinilai telah mengakui perbuatannya, sehingga tuntutan hukuman pidana penjara yang dilayangkan lebih ringan dari terdakwa Danny Praditya. Kuasa Hukum terdakwa Komisaris PT IAE Iswan Ibrahim, Layung Purnomo SH MH mengatakan, berkaitan dengan advance payment, terdakwa Iswan Ibrahim menilai bukan suatu Perbuatan Melawan Hukum (PMH).

“Jadi advance payment itu suatu bentuk kesepakatan di dalam jual beli gas,” ujar Layung Purnomo SH MH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.

Terkait pertimbangan jaksa dalam tuntutannya terkait Justice Collaborator (JC), sambungnya, JC satu kewenangan dari jaksa. “Harapan kami, karena kami juga mengajukan JC kepada majelis hakim, sehingga harapan kami majelis hakim bisa melihat fakta persidangan dari awal hingga akhir, sehingga dapat mempertimbangkan JC yang kami sampaikan,” terang Layung Purnomo SH MH dari kantor Law Firm Layung dan Rekan beralamat di Apartemen Oasis, Jalan Senen Raya, Jakpus ini.

“Harapan kami, dengan JC ini bisa diterima oleh majelis hakim dan itu akan mendorong para terdakwa agar lebih kooperatif. Bukan hanya di kasus ini saja tapi di kasus lainnya karena akan menjadi satu bentuk preseden,” terangnya.

Menurutnya, kalau JC ini tidak dipertimbangkan, maka terdakwa akan berpikir berulang kali untuk mengajukan JC tersebut. Agenda sidang selanjutnya akan digelar pada Senin (29/12/2025), tim Kuasa Hukum terdakwa akan membacakan Nota Pledoi (Pembelaan).

“Pledoi kami ada 2 (dua) hal dari tuntutan jaksa yang perlu kami bantah yaitu berkaitan dengan jual beli bertingkat itu dilarang dan advance payment itu tidak ada aturannya atau itu juga hanya merupakan suatu bentuk pembenaran dan suatu utang piutang,” tegasnya.

Dikatakannya, hal itu yang akan ia bantah di dalam Pledoi yang akan dibacakannya. (Murgap)

Tags: