Ahli Administrasi Negara dan Keuangan Negara Dr Dian Puji Simatupang SH MH dan Ahli Hukum Pidana Prof Dr Topo Santoso SH MH Jelaskan Kalau Tidak Ada Mensrea Maka Tidak Bisa Masuk ke Ranah Pidana

Ahli Administrasi Negara dan Keuangan Negara Dr Dian Puji Simatupang SH MH dan Ahli Hukum Pidana Prof Dr Topo Santoso SH MH saat memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, jaksa dan tim Kuasa Hukum terdakwa Isa Rachmatarwata selaku mantan Dirjen Anggaran Kemenkeu RI Isa Rachmatarwata di ruang Wirjono Projodikoro 2, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Selasa (09/12/2025). (Foto : Murgap Harahap)

Jakarta, Madia Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan perkara dugaan Tipikor perkara kasus pengelolaan keuangan dan investasi PT Asuransi Jiwasraya Securitas (PT AJS) Persero dengan terdakwa Isa Rachmatarwata selaku mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Anggaran Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI), di ruang Wirjono Projodikoro 2, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Selasa (09/12/2025).

Sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Sunoto ini, Kuasa Hukum terdakwa Dirjen Anggaran Kemenkeu RI Isa Rachmatarwata menghadirkan 3 (tiga) Ahli yakni Kocu Andre Hutagalung selaku Ahli Reasuransi, Dr Dian Puji Simatupang SH MH selaku Ahli Administrasi Negara dan Keuangan Negara dan Prof Dr Topo Santoso SH MH selaku Ahli Hukum Pidana untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, jaksa dan tim Kuasa Hukum terdakwa Dirjen Anggaran Kemenkeu RI Isa Rachmatarwata. Dr Dian Puji Simatupang SH MH selaku Ahli Administrasi Negara dan Keuangan Negara dan Prof Dr Topo Santoso SH MH selaku Ahli Hukum Pidana menjelaskan, kalau tidak ada Mensrea (Niat Jahat), maka tidak bisa masuk ke ranah pidana.

Ahli Hukum Pidana Prof Dr Topo Santoso SH MH akui dirinya lah sebagai inisiator terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor. “Kenapa harus ada Pasal 2 dan Pasal 3 di UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor? Karena munculnya kata dapat itu sengaja bukan tidak sengaja. Itu sejarahnya,” ujar Prof Dr Topo Santoso SH MH di hadapan majelis hakim, jaksa dan tim Kuasa Hukum terdakwa Dirjen Anggaran Kemenkeu RI Isa Rachmatarwata.

Kemudian, sambungnya, UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor tersebut 70% sama dengan Pasal 371 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). “Maknanya seperti apa? Saya yang merumuskan itu ikut bertanggung jawab, itu yang pertama. Kedua, bagaimana memaknai pasal tersebut? Memaknai pasal tersebut kalau ada orang mau korupsi harus ada Mensrea atau Niat Jahat,” ungkapnya.

Kuasa Hukum terdakwa Dirjen Anggaran Kemenkeu RI Isa Rachmatarwata menanyakan kepada Ahli Prof Dr Topo Santoso SH MH tentang Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor apakah masuk sebagai delik materil, Ahli Prof Dr Topo Santoso SH MH menjawab betul. Kuasa Hukum terdakwa Dirjen Anggaran Kemenkeu RI Isa Rachmatarwata kembali bertanya soal kausalitas Ahli, Ahli Prof Dr Topo Santoso SH MH menjawab kausalitas bukan mutlak.

“Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor hukumnya spesifik yakni apakah memperkaya diri sendiri atau orang lain dan merugikan negara. Siapakah orang lain yang diperkaya itu? Apakah anaknya dari terdakwa, keluarganya atau saudaranya. Tapi kalau orang lain itu tidak ada ikatan saudara, keluarga ataupun anak dari terdakwa kenapa harus diperkaya?” tanyanya.

Dijelaskannya, semua sebab dan syarat yang menyebabkan sebab akibat itu lah sebab. “Tapi itu tidak bisa digunakan dalam hukum pidana.  Kalau ada rangkaian sebab harus dicari penyebabnya,” ungkapnya.

Ahli Hukum Pidana Prof Dr Topo Santoso SH MH ketika ditanya Hakim Ketua tentang apakah alasan menyelamatkan itu masih bisa menjadi Mensrea, walaupun kebenarannya menambah kehancuran, niat baik saja tidak cukup harus dilihat hasilnya, Ahli Prof Dr Topo Santoso SH MH menjawab pejabat yang harus mengambil keputusan tapi ada akibat. “Pejabat yang mengeluarkan diskresi (keputusan) harus mengikuti peraturan Administrasi Negara. Kecuali ada kesengajaan untuk melakukan itu baru masuk ke pidana,” jelasnya.

Terpenting, kata Ahli Prof Dr Topo Santoso SH MH, kalau  Actus Reus (Perbuatan Melawan Hukum atau PMH) sudah terpenuhi, maka seseorang hanya bisa dipidana kalau Mensreanya sudah terpenuhi pula,” tegasnya.

Hakim ketua kembali bertanya kepada Dr Dian Puji Simatupang SH MH selaku Ahli Administrasi Negara dan Keuangan Negara tentang ada perusahaan reasuransi dan perusahaan asuransi, apa perbedaannya, Ahli Dr Dian Puji Simatupang SH MH menjawab jika sekarang pengawas mencegah pelanggar tapi malah membuat kesusahan dalam perusahaan asuransi, maka sesuai azas hukum dan kehati-hatian (prudent) bisa dilakukan. “Identifikasi penyimpangan terkait kesalahan Administrasi Negara menyangkut prosedur dan salah wewenang, salah prosedur sesuai Pasal 20 UU Nomor 314 Ayat 5 tentang Administrasi Negara yang menyebutkan, kalau kesalahan tersebut menimbulkan kerugian negara, apabila ada unsur suap dan pidana karena ada paksaan tetap menjadi unsur pidana,” urainya.

Sementara itu, Kocu Andre Hutagalung selaku Ahli Reasuransi menjelaskan, reasuransi finansial merupakan praktik yang biasa dilakukan oleh perusahaan asuransi.

Ahli Reasuransi Kocu Andre Hutagalung saat memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, jaksa dan tim Kuasa Hukum Isa Rachmatarwata selaku mantan Dirjen Anggaran Kemenkeu RI di ruang Wirjono Projodikoro 2, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Selasa (09/12/2025). (Foto : Murgap Harahap

Ahli Reasuransi Kocu Andre Hutagalung mengatakan, reasuransi adalah perusahaan yang mengasuransi. “Secara aturan reasuransi harus memiliki modal yang besar. Reasuransi mempunyai resiko yang tinggi,” ujar Kocu Andre Hutagalung di hadapan majelis hakim, jaksa dan tim Kuasa Hukum terdakwa mantan Dirjen Anggaran Kemenkeu RI Isa Rachmatarwata.

“Secara regulasi ada perbedaan antara perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi,” katanya.

Ketika jaksa menanyakan hal-hal apa saja agar perusahaan asuransi bisa menjadi perusahaan reasuransi, Ahli Reasuransi Kocu menjawab perusahaan harus punya produk asuransi yang dijual seperti polis asuransi. “Ada yang namanya vetting (penilai), maka menjadi perusahaan asuransi, itu yang pertama. Kedua, harus mempunyai minimum sesuai regulasi dan risk management (manajemen resiko). Kedua hal ini yang bisa diterima menjadi perusahaan reasuransi,” tegasnya.

“Kalau dilihat dari risk management, maka dilihat dari trading (perdagangan) dan risk kemampuan bayar,” ungkapnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, rating asuransi bukan dikeluarkan oleh regulator tapi melalui penilaian. “Regulator menetapkan minimum reasuransi,” urainya.

Menurutnya, hal yang perlu dihindari adalah resiko kredit. “Reasuransi menampung seluruh resiko. Maka, perusahaan asuransi bertangungjawab 80% trading risk adalah potensi kegagalan bayar,” terangnya.

Jaksa kembali bertanya kepada Ahli Reasuransi Kocu, kalau teknis perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi seperti apa, Ahli Reasuransi Kocu menjawab secara umum yang paling penting adalah potensi resiko. “Yang dilihat bukan dari number (nomor) dari psikisnya tapi limitnya (batasan). Tapi tidak fair (adil) juga kalau dilihat perusahaan itu dari skala perusahaan asuransi kecil dan besar, namun yang dilihat adalah nilai kumulatif dari nilai penanggungan,” ungkapnya.

Ahli Reasuransi Kocu mengilustrasikan kumulatif lost (kehilangan) terjadi pada saat klaim asuransi di Padang, Sumatera Barat (Sumbar) dan Itu tidak bisa dilunasi. “Dari dua pertimbangan itu menjadi struktur program reasuransi,” jelasnya.

“Rata-rata nilai penanggungan juga pernah terjadi di Palu terhadap klaim kredit. Jadi nilai total klaim premi perusahaan asuransi jadi besar,” tukasnya.

Jaksa bertanya lagi apakah terjadi penyimpangan dalam penandatanganan asuransi, Ahli Reasuransi Kocu menjawab praktek yang konon. Selanjutnya, jaksa kembali bertanya soal solvabilitas perusahaan asuransi, Ahli Reasuransi Kocu menjawab minimal yang menjadi komponen asuransi discharge dan premium charge adalah ada banyak hal-hal negosiasi kedua belah pihak asuransi dan perusahaan reasuransi dan hal-hal kerugian lainnya.

“Perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi harus mencatat secara akuntansi masing-masing,” ungkapnya.

Hakim bertanya soal toleransi asuransi apa maksudnya kepada Ahli Reasuransi Kocu, dan Ahli Reasuransi Kocu menjawab itu untuk risk management yang sudah matang. “Itu sebabnya risk appetite ada aktuarianya. Tapi dalam kenyataannya risk appetite memiliki kapital yang memadai. Jadi semakin matang dia belajar, nah itulah toleransi asuransi,” tuturnya.

“Itu terjadi setelah 5 (lima) tahun hingga 10 (sepuluh) tahun. Bisa saja dia reasuransi. Baru mulai high level dia meminta harus ada reasuransi,” paparnya.

Hakim bertanya lagi bagaimana regulasi dan apakah regulator mewajibkan harus ada reasuransi, Ahli Reasuransi Kocu menjawab harus ada regulator yang mengatur itu. “Terbitnya polis asuransi itu akan lama sekali. Maka harus ada proteksi secara kelompok perusahaan asuransi,” katanya

Hakim bertanya kepada Ahli Reasuransi Kocu, tentang ketika perusahaan asuransi dalam kondisi insolven (tidak baik-baik saja), kemudian mengadakan kerjasama dengan perusahaan asuransi yang solven (baik-baik saja), Ahli Reasuransi Kocu menjawab posisi perusahaan asuransi akan menjadi sulit kalau mendekati situasi tersebut. “Namun, kalau kita lihat, 100% non proporsional dan dinilai mahal oleh perusahaan asuransi. Tapi dalam kasus ini yang terjadi proporsional,” tegasnya.

“Proporsional Itu dibagi oleh PT Jiwasraya. Kok mau perusahaan reasuransinya? Apakah perusahaan asuransi mau? Tapi kalau itu ketentuan proporsional akan mencapai lebih mahal dengan pembagi 80%-20%,” katanya.

Hakim bertanya lagi kepada Ahli Reasuransi Kocu, apakah negara harus membayar lebih kepada perusahaan-perusahaan asuransi yang insolven, Ahli Reasuransi Kocu menjawab netral saja. “Ini program kuota share antara perusahaan PT Jiwasraya dan perusahaan reasuransinya,” terangnya.

Hakim ketua juga bertanya kepada Ahli Reasuransi Kocu, PT Jiwasraya membayar premi reasuransi tapi 75% dikembalikan lagi ke PT Jiwasraya dan 25% dikembalikan sebagai deposito kepada PT Jiwasraya sendiri seperti di dalam uraian dakwaan jaksa, Ahli Reasuransi Kocu menjawab kalau ada klaim tetap membayar 80% dari perusahaan asuransi. Menurutnya, pemberian komisi dari besarnya hasil negosiasi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi.

“Kalau terjadi klaim asuransi tetap perusahaan membayar 80% sesuai kontrak,” katanya.

Ketika hakim kembali bertanya kepada Ahli Reasuransi Kocu soal finansial reasurance apa maksudnya, Ahli Reasuransi Kocu menjawab harus ada risk transfer (resiko transfer). (Murgap)

Tags: