Kuasa Hukum Terdakwa Direktur Komersial PT PGN (Persero) Danny Praditya, FX L Michael Shah SH Terangkan Pihak yang Berhak Bilang Perjanjian PT PGN (Persero) Melanggar Atau Tidak Itu Otoritas

FX L Michael Shah SH

Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan perkara dugaan Tipikor dengan terdakwa Direktur Komersial PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Persero periode 2016-2019, Danny Praditya dan terdakwa Komisaris PT Inti Alasindo Energy atau PT IAE periode 2006 hingga 2024 Iswan Ibrahim, yang didakwa menerima aliran uang kasus korupsi jual beli gas PT PGN (Persero) periode 2017 hingga 2021, di ruang Prof Dr HM Hatta Ali SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Senin (08/12/2025).

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, Iswan Ibrahim bersama dengan Danny Praditya, selaku Direktur Komersial PT PGN (Persero) periode 2016-2019, telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Keduanya melakukan kegiatan untuk memperoleh dana dari PT PGN (Persero) dalam rangka menyelesaikan utang PT Isargas Group.

“Dengan cara memberikan advance payment (pembayaran di muka adalah pembayaran yang dilakukan oleh pembeli kepada penjual sebelum barang atau jasa diterima). Metode ini bisa dilakukan untuk seluruh nilai transaksi (full payment) atau sebagian (partial payment) dalam kegiatan jual-beli gas,” kata jaksa saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Senin (01/09/2025).

Padahal, sambung jaksa, PT PGN (Persero) bukan perusahaan financing atau pembiayaan. Selain itu, terdapat larangan jual-beli gas secara berjenjang.

Keduanya juga dituding mendukung rencana akuisisi PT PGN (Persero) dengan PT Isargas Group. Jaksa menyebut, tidak ada due diligence (uji tuntas) atas rencana akuisisi tersebut.

Jaksa menilai, perbuatan tersebut telah memperkaya sejumlah pihak. “Memperkaya Iswan Ibrahim sebesar US$3.581.348,75,” ujarnya.

Selain itu, memperkaya Arso Sadewo selaku Komisaris Utama (Komut) PT IAE sebesar US$11.036.401,25, mantan Direktur Utama (Dirut) PT PGN (Persero) Hendi Prio Santoso (HPS) sejumlah US$500.000, dan Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Waketum Kadin) Yugi Prayanto sebanyak US$20.000. “Yang merugikan keuangan negara sebesar US$15 juta dolar Singapore atau dalam jumlah tersebut,” kata jaksa.

Ini sebagaimana laporan hasil pemeriksaan investigatif Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) nomor 56/LHP/XXI/10/2024 berwarkat 15 Oktober 2024. Apabila dikonversi, US$15 juta dolar setara dengan Rp247.050.000.000 atau Rp247 miliar.

Ini berdasarkan asumsi Rp16.470 per dolar Amerika Serikat (AS). Atas perbuatannya, Iswan Ibrahim didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Juncto (Jo) Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Agenda sidang kali ini, Kuasa Hukum terdakwa Direktur Komersial PT PGN (Persero) periode 2016-2019, Danny Praditya, menghadirkan 3 Ahli yakni Dr Chaerul Huda selaku Ahli Hukum Pidana, Dr Dian Puji Nugraha Simatupang SH MH selaku Ahli Hukum Administrasi Negara dan Ahli Hukum Bisnis Prof Nindyo untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, jaksa dan tim Kuasa Hukum terdakwa. Kuasa Hukum terdakwa Direktur Komersial PT PGN (Persero) periode 2016-2019 Danny Praditya, FX L Michael Shah SH mengatakan, Ahli Hukum Administrasi Negara Dr Dian Puji Nugraha Simatupang SH MH menerangkan kerugian negara itu harus bersifat nyata dan pasti.

“Jadi tidak boleh bersifat masih imajinasi dan imajiner. Dugaan itu tidak boleh. Untuk melihat nyata dan pasti, kerugian negara itu harus dilihat dari laporan keuangan. Jadi tadi kita tampilkan laporan keuangan PT PGN (Persero) itu masih menyatakan, bahwa nilai tagihan ini masih dimungkinkan untuk ditagih,” ujar FX L Michael Shah SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.

Dikatakannya, kalau masih ada kemungkinan untuk ditagih, dan dari PT PGN (Persero) mengakui seperti itu berarti belum nyata dan pasti seperti apa yang didakwakan oleh jaksa dan seperti apa yang dipersyarat dalam UU. “Intinya, belum ada kerugian negara. Pihak yang berhak untuk menentukan terjadi pelanggaran terhadap aturan, kan dari kemarin itu jaksa selalu bilang, bahwa perjanjian PT PGN (Persero) melanggar Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (PermenESDM) RI Nomor 06 tahun 2015 tentang Pasokan Gas. Nah, tadi sudah dipastikan, pihak yang berhak bilang perjanjian PT PGN (Persero) ini melanggar atau tidak melanggar itu otoritas. Jadi ketika otoritasnya sudah menyatakan tidak ada pelanggaran harusnya sudah berhenti diskusinya. Tidak boleh pihak lain yang menyatakan begitu. Apalagi, terlebih Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang menyatakan adanya pelanggaran karena otoritasnya sudah menyatakan tidak, maka tidak bisa,” ungkap FX L Michael Shah SH dari kantor Abi Satya Law Firm yang beralamat di daerah Blok M, Jakarta Selatan (Jaksel) ini.

Dijelaskannya, untuk keterangan Ahli Hukum Bisnis Prof Nindyo menerangkan direksi yang sudah melaksanakan fiduciary duty dilindungi atas resiko yang terjadi atas transaksi yang dilakukan. “Jadi kalau selama mengambil tindakan hukum itu sudah melakukan fiduciary duty, maka direksi sudah tidak bisa dimintai pertanggung jawaban lagi. Direksi dilindungi oleh Business Judgment Rule (BJR) atau Aturan Bisnis yang Berkeadilan. Fiduciary duty itu adalah itikad baik, kehati-hatian (prudent), penuh tanggung jawab dan demi kepentingan perseroan,” ucapnya.

“Selama fakta persidangan kan terungkap, bahwa terdakwa Danny Praditya tidak pernah menikmati keuntungan pribadi. Jadi semua yang dia lakukan adalah demi kepentingan perusahaan,” tegasnya.

Nah, sambungnya, unsur hati-hatinya apa seperti yang diungkap Prof Nindyo, dengan terdakwa Danny Praditya membentuk tim koordinasi, adanya bahan-bahan paparan direksi dan semua resiko diungkapkan. “Direksi mengetahui atas resiko-resiko yang ada. Maka, itu semua adalah sudah merupakan bentuk kehati-hatian dari direksi dalam mengambil keputusan,” ungkapnya.

“Terakhir, soal adanya jaminan fidusia dan Good Corporate Governance (GCG) itu juga bentuk kehati-hatian. Tadi untuk nilainya fidusia yang selama ini dipermasalahkan oleh jaksa, Ahli Prof Nindyo bilang senilai atau setara itu di UU Perbankan. Kalau di UU Perbankan kalau orang mau ambil pinjaman atau apa, bank berhak minta jaminannya senilai 125% tapi kalau di perjanjian gas ini kan kesepakatan para pihak dan itu jaminan bukan perjanjian pokok tapi perjanjian tambahan,” terangnya.

Mengenai putusan kolektif kolegeal, imbuhnya, kalau satu putusan sudah diputuskan secara kolektif kolegeal dewan direksi, maka pertanggungjawabannya tidak bisa hanya satu direktur tapi harus tanggung renteng. “Nah, siapa yang bisa menilai direksi sudah melakukan fiduciary duty? Jawabnya adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Jadi ketika pertanggungjawaban sudah diterima RUPS dan direksi sudah diberikan aquit ad charge, pembebasan rilis and discharge, pembebasan dan pelunasan, maka sudah diakui, bahwa transaksinya itu adalah transaksi yang sah dan legal, memenuhi fiduciary duty, sehingga direksi sudah tidak bisa dimintai pertanggungjawaban direksi lama,” paparnya.

Ia mengatakan, Ahli Hukum Pidana Dr Chaerul Huda SH MH ditanya soal syarat-syarat dakwaan, unsur-unsur dakwaan apakah terpenuhi. “Harapan kami dari pendapat-pendapat Ahli ini bisa dilihat dari konteks suatu transaksi ini adalah transaksi sah dan tidak melanggar hukum dan tidak memenuhi unsur-unsur korupsinya,” tandasnya. (Murgap)

Tags: