Praktisi Hukum Dr Muhammad Anwar SH MH Sarankan Sebelum Seseorang Atau Korporasi Menjadi Tersangka, Harus Sudah Ada Audit Forensik yang Dikeluarkan BPK RI

Dr Muhammad Anwar SH MH

Jakarta, Madina Line.Com – Praktisi Hukum dan Direktur Law Institute 98 Dr. Muhammad Anwar SH MH memberikan analisa hukum tentang penetapan tersangka mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Mendikbud RI) Nadiem Makarim dan Direktur Utama (Dirut) PT Angkutan Sungai Danau dan Pelabuhan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspa Dewi.

“Jadi sekarang itu, rezim Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Nomor 31 tahun 1999 Pasal 2 Ayat 1 dan 3, pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25 tahun 2016, kerugian keuangan negara itu harus nyata dapat dihitung dan diketahui secara pasti berapa kerugiannya. yang berhak menghitung dan menyatakan (declare) hanya Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP RI),” ujar Dr Muhammad Anwar SH MH kepada wartawan Madina Line.Com lewat pesan WhatsApp (WA) di Jakarta, Senin (24/11/2025).

Menurutnya, pasca putusan MK tersebut banyak kekeliruan dalam praktik di lapangan hingga persidangan Tipikor, “Karena KPK dan Kejaksaan Agung (Kejagung) RI masih menggunakan norma potensi kerugian negara sebelum putusan MK tersebut, sehingga penghitungan dan menyatakan kerugian negara dalam praktik jarang memakai hasil audit BPK RI, melainkan audit internal KPK dan Kejaksaan, padahal audit internal tersebut hanya sebatas menghitung tidak memiliki kewenangan menyatakan adanya kerugian negara seperti BPK RI,” jelasnya.

“Nah, untuk saat ini karena norma Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor pasca putusan MK berubah menjadi delik materil, maka konsekuensinya kerugian negara harus sudah terjadi, nyata, dan dapat dihitung jumlahnya, sebelum menjadikan seseorang atau korporasi tersangka, norma ini sifatnya memaksa, sehingga harus dipatuhi oleh KPK dan Kejaksaan,” tegasnya.

Ke depan, sambungnya, penetapan tersangka sebaiknya sudah ada hasil audit forensik dari BPK RI atau BPKP RI atas izin Presiden RI yang diumumkan di publik dan diberikan kepada seseorang atau korporasi sebelum ditetapkan menjadi tersangka korupsi, sehingga ada kepastian hukum bagi tersangka dan tidak melanggar Hak Azazi Manusia (HAM). “Itu saran saya sebagai Direktur Law Institute 98 yang konsen terhadap kajian anti korupsi, pencucian uang dan perampasan aset,” ungkapnya.

“Kita juga harus belajar dari kasus Tom Lembong selaku mantan Menteri Perdagangan (Mendag) RI era Presiden RI Ir H Joko Widodo atau Jokowi, yang diberikan Abolisi karena tidak ada kerugian negara, saat ini ada kasus mantan Mendikbud RI Nadiem Makarim, Dirut PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspa Dewi disangkakan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor jangan sampai terjadi lagi Abolisi karena ke-2 (dua) pejabat negara tersebut menjalankan kebijakan berdasarkan jabatannya, itulah pentingnya ekspos BPK RI dan KPK hasil audit BPK RI yang menyatakan adanya kerugian negara secara nyata dan pasti, karena ini juga sesuai pengalaman perkara korupsi yang saya tangani kasus DP O Rupiah di era Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Anis Baswedan, ekspos KPK kerugian negara Rp300 miliar ternyata yang terbukti hanya Rp50 miliiar menurut hakim Tipikor,” urainya.

Lalu, ia mempertanyakan apa tujuan ekspos BPK RI terhadap kerugian negara tersebut berdasarkan putusan MK? “Untuk memberikan kepastian keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi masyarakat agar tidak menjadi pro dan kontra atau kontra produktif dalam proses penegakan hukum. itu yang disampaikan oleh Gustav Redbruf dalam teorinya, jadi clear (jelas) ya pasca putusan MK itu,” katanya.

Sebagai pemerhati sekaligus pendiri dan Direktur Law Institute 98 dan juga Praktisi Hukum Tipikor, ia menyarankan kepada penegak hukum dan KPK serta Kejagung RI agar sebelum mentersangkakan seseorang perlu audit forensik BPK RI lalu dipublikasi kerugian keuangan negara itu ke publik dan kemudian diberikan kepada tersangka, agar terang buktinya dan tidak menjadi polemik di publik atas putusan MK 25 tersebut. (Murgap)

Tags: