Praktisi Hukum dan Pendiri Law Institute 98 Dr Muhammad Anwar SH MH Soroti OTT yang Dilakukan Oleh KPK kepada Gubernur Riau Abdul Wahid

Dr Muhammad Anwar SH MH

Jakarta, Madina Line.Com – Praktisi hukum dan pendiri Law Institute 98 Dr Muhammad Anwar SH MH menyoroti tentang Tertangkap Tangan dan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh lembaga antirasuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Gubernur Riau Abdul Wahid yang ramai dan viral di publik akhir-akhir ini tentang tertangkap tangan menjadi trend di media sosial (medsos).

“Kemarin ada OTT yang dilakukan beberapa bulan terakhir terhadap saudara Wakil Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Wamenaker RI) Emanuel Ebenezer. Kemudian, kemarin ada lagi OTT yang dilakukan oleh lembaga KPK terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid. Kemudian, OTT yang dilakukan oleh KPK di Kabupaten Ponorogo dan salah satu Kepala Bagian (Kabag) di perusahaan kalau tidak salah juga terjaring OTT,” ujar Dr Muhammad Anwar SH MH kepada wartawan Madina Line.Com lewat pesan WhatsApp (WA), di Jakarta, Jum’at (21/11/2025).

Dikatakannya, OTT dan tertangkap tangan merupakan 2 (dua) hal yang seharusnya dicermati. “Kalau kita misalnya melihat kalau tertangkap tangan itu dasar hukumnya ada di Pasal 1 Ayat 19 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang syarat mutlaknya tertangkap tangannya seseorang atau dalam istilah umum adalah tertangkap basah pada saat peristiwa itu dilakukan dan ditemukan alat bukti ada pada dirinya. Tertangkap tangan atau tertangkap basah,” ungkap Dr Muhammad Anwar SH MH yang juga advokat dan pernah menangani perkara kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) DP 0 Rupiah di era Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Anies Baswedan.

“Lalu kemudian, bagaimana dengan KPK? KPK di Pasal 12 Undang-Undang (UU) KPK mengatakan, istilah OTT itu syaratnya harus ada proses penyadapan dan penjebakan dengan syarat harus ada dua alat bukti, baru kemudian dilakukan target siapa yang akan dilakukan penangkapan atau OTT. Namun, ada syarat internal yang harus dilakukan itu melalui Dewan Pengawas (Dewas),” kata Dr Muhammad Anwar SH MH selaku Founder Kantor Hukum Mind MAP Law Firm dan Law Institute 98 ini.

Menurutnya, Standar Operasional Prosedur (SOP) ini tidak boleh dilanggar karena apabila SOP ini dilanggar, maka proses OTT itu bisa dikatakan cacat hukum. “Kenapa demikian? Karena ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengatakan, bahwa dua alat bukti mutlak harus dilakukan kepada seseorang yang mau ditarget untuk dilakukan OTT yang diberikan kepada lembaga KPK,” jelasnya.

“Apabila syarat mutlak ini tidak dilakukan, maka dipastikan dan diduga sangat kuat OTT itu bisa bermasalah dan akan berdampak fatal kepada proses hukum,” tegasnya.

Ia mengatakan, sekarang coba dilihat misalnya, OTT dilakukan kepada Gubernur Riau Abdul Wahid sudah pasti tidak bisa dipakai dengan KUHAP Pasal 1 Ayat 19. “Kenapa? Karena pada saat tertangkapnya Gubernur Riau Abdul Wahid tidak ada barang bukti yang ada pada saudara Gubernur Riau Abdul Wahid. Berarti memakai Pasal 12 UU KPK. Apakah dilakukan proses penyadapan dan penjebakan?” tanyanya.

“Nah, ini yang kita tidak tahu. Apakah dilakukan satu gelar atau satu penyampaian kepada Dewas? Itu juga kita tidak tahu. Tapi yang jelas, keterangan yang ada pada KPK, kita lihat selama ini, KPK hanya mengatakan, ada dugaan pemerasan, dugaan barang bukti dan penemuan barang bukti dilakukan di tempat tertentu tidak ada uang yang uang dalam OTT ditemukan secara mutlak karena ini merupakan bukti langsung atau istilahnya itu direct evidence (bukti langsung). Jadi bukan bukti indirect,” paparnya.

Dijelaskannya, dia harus bukti yang konkret. “Nah, ini lah yang harus diperhatikan. Apakah hal ini berjalan? Apakah hal ini sesuai prosedur atau tidak? Maka, hal ini yang menjadi perhatian bagi kita semua. Jika tidak, maka tidak menutup kemungkinan karena tidak ada barang bukti (evidence) tersebut yang ada padanya seperti misalnya, OTT kepada Emanuel Ebenezer selaku Wamenaker RI, OTT kepada Bupati Ponorogo, semua ada barang bukti pada dirinya. Tapi pada Gubernur Riau Abdul Wahid tidak ada barang bukti,” terangnya.

“Ini yang menjadi perdebatan dan diskursus hukum terkait dengan OTT yang dilakukan oleh KPK. Ingat, KPK sekarang juga sudah punya hak kewenangan bisa meng-SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) sesuatu proses hukum yang ada di KPK, apabila diduga ada mal administrasi proses hukum acara yang dilanggar dan memang tidak ada cukup bukti dan memang bisa dikeluarkan SP3 dan ini hal yang biasa menurut hukum,” katanya.

Oleh karena itu, ia mengajak agar hal ini didiskursuskan dan diperdebatkan di ruang publik untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum dan kemanfaatan, khususnya bagi masyarakat Riau. (Murgap)

Tags: