Guru Besar UIA Jakarta Prof Dr Suparji SH MH Paparkan 4 Unsur Hukum Pidana yang Terpenuhi

Prof Dr Suparji SH MH

Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar sidang lanjutan perkara dugaan korupsi dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dengan terdakwa Isa Rachmatarwata selaku mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Anggaran Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI) di ruang Wirjono Projodikoro 2, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Selasa (11/11/2025).

Agenda sidang kali ini, jaksa menghadirkan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Islam Al-Azhar (UIA) Jakarta yang juga sebagai Ahli Hukum Pidana Prof Dr Suparji SH MH untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, jaksa dan tim Kuasa Hukum terdakwa. Kasus Jiwasraya sendiri merupakan salah satu skandal keuangan terbesar di Indonesia, dengan nilai kerugian negara mencapai triliunan rupiah akibat praktik investasi beresiko tinggi dan pengelolaan dana yang tidak transparan.

Kasus ini telah menyeret sejumlah pejabat dan mantan direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ke meja hijau, termasuk mantan pejabat Kemenkeu RI, seiring dengan upaya Pemerintah RI melakukan restrukturisasi total terhadap industri asuransi. Pada sidang kali ini, Ahli Hukum Pidana Prof Dr Suparji SH MH memaparkan tentang 4 (empat) unsur hukum pidana yang terpenuhi.

Ahli Hukum Pidana Prof Dr Suparji SH M mengatakan, dirinya dimintai keterangan untuk hadir di persidangan oleh jaksa atas sebuah perkara yang sedang disidangkan, rentetan dari Jiwasraya, perusahaan asuransi yang luar biasa pada beberapa tahun yang lalu, yang hari ini menyidangkan dan dulu Kepala Biro (Karo) Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK), bahwa Karo Bapepam LK didakwa oleh jaksa karena mengeluarkan kebijakan yang kaitannya dengan soal memberikan semacam perlakuan yang tidak sama dengan perusahaan-perusahaan asuransi yang insolven yang seharusnya ditutup lah itu tapi Jiwasraya pada saat itu masih diberi kesempatan antara lain untuk melakukan reasuransi. “Tindakan seperti itu, bagaimana dalam perspektif hukum pidana? Maka jawaban dari saya, pertama, bahwa tindakan itu dilakukan dengan sadar, bahwa dia bisa mempertanggungjawabkan. Maka, unsur subyektifnya terpenuhi karena dia pihak yang dimintai pertanggungjawaban. Tidak ada alasan untuk menghapus pidananya kan, tidak ada alasan pemaaf dan kebenaran,” ujar Prof Dr Suparji SH MH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.

Kedua, sambungnya, ada unsur perbuatan melawan hukum (PMH). “Karena apa? Karena melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 424 tahun 2003 yang intinya ketika perusahaan insolven yaitu dilakukan tindakan untuk melakukan semacam restrukturisasi atau setor modal dan itu tidak disetujui oleh Menteri Keuangan (Menkeu). Tapi justru mengeluarkan Surat Edaran (SE) Pencatatan Perubahan Produk dan melakukan reasuransi, sehingga itu unsur melawan hukumnya jelas. Karena apa? Karena tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” paparnya.

“Kemudian, unsur yang ketiga, memperkaya karena dengan adanya reasuransi itu ada perusahaan yang mendapat premi. Berarti perusahaan tersebut memperkaya. Ada yang memperkaya korporasi tadi yang mendapatkan premi. Jadi unsur ketiga masuk yaitu memperkaya,” terangnya.

Unsur keempat, imbuhnya, merugikan keuangan negara. “Premi tadi dibayar dari mana? Dibayar dari nasabah atau dari polis-polis peserta-peserta asuransi Jiwasraya, sehingga itu adalah uang polis, uang nasabah masuk ke Jiwasraya dibayarkan untuk membayar premi. Berarti kan uang BUMN. Berarti uang negara, sehingga terpenuhi lah unsur kerugian keuangan negara,” ucapnya.

“Jadi secara kumulatif, ada unsur subyektif dan ada unsur obyektifnya terpenuhi. Unsur PMH-nya terpenuhi, unsur memperkaya terpenuhi, kemudian merugikan keuangan negara juga terpenuhi. Cuma yang jadi perdebatan tadi, bahwa perusahaan Jiwasraya insolven atau tidak? Nah itu nanti tinggal faktanya, pembuktian kan. Pembuktiannya bagaimana? Perusahaan Jiwasraya insolven atau tidak, itu soal lain. Tapi kalau perusahaan Jiwasraya insolven harus tindakannya bukan seperti itu,” tegasnya.

Kemudian, sambungnya, diskresi atau bukan. “Diskresi itu kebijakan kan. Kalau kebijakan yang diambil dalam situasi yang darurat dan mendesak, tidak ada aturan hukum yang jelas. Ibaratnya kalau disekresi itu kalau polisi melihat jalan macet, jalur bus dibuka saja untuk kendaraan umum untuk mengatasi kemacetan, itu baru diskresi karena diambil sisi darurat. Tapi ini tidak bisa diskresi. Karena apa? Karena sudah ada aturan yang jelas ketika perusahaan itu insolven tindakannya begini dan begitu, jadi kembali kepada aturan. Kecuali tidak ada aturan, maka itu diskresi. Maka, tidak bisa dikatagori diskresi,” ucapnya.

Ia menilai investasi tidak berjalan. “Dana yang masuk ke Jiwasraya digunakan untuk investasi-investasi ke perusahaan Benny Tjokro (BenTjok) dan segala macam. Akhirnya, mandeg kan. Akhirnya, Jiwasraya mengalami kerugian yang banyak. Kemudian, dampaknya seperti itu,” terangnya.

“Jadi yang saya terangkan tadi di muka persidangan tentang diskresi, PMH, dan memperkaya korporasi,” ungkapnya.

Dijelaskannya, tadi hakim mengatakan, bahwa Ahli tidak bicara fakta, Ahli hanya bicara teori. “Jadi Ahli tidak mengadili terdakwa. Tapi Ahli hanya memberikan keterangan. Keterangannya kalau perusahaan insolven tindakannya begini, nah ini perusahaan insolven kok dibeginikan, berarti kan ada tindakan penyalahgunaan wewenang atau diskriminasi. Kami tidak bicara faktanya,” tuturnya.

“Karo Bapepam LK itu sebagai pengawas atau regulator yang mengawasi,” tandasnya. (Murgap)

Tags: