Terdakwa Kadisbud DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana Akui Merasa Kecewa Terhadap Putusan Vonis Majelis Hakim Menjatuhi Hukuman 11 Tahun Kurungan Penjara

Terdakwa Kadisbud DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana (IHW) didampingi tim Kuasa Hukumnya ketika diwawancarai awak media di luar ruang Wirjono Projodikoro 2, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis (30/10/2025).(Foto : Murgap Harahap)

Jakarta, Madina Line Com – Tok! Akhirnya, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) memberi vonis hukuman keada Kepala Dinas Kebudayaan (Kadisbud) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tahun 2020–2024 Iwan Henry Wardhana (IHW) dengan pidana penjara selama 11 (sebelas) tahun, setelah terbukti menerima uang korupsi sebesar Rp13,53 miliar dalam kasus dugaan Tipikor berupa pembuatan surat pertanggungjawaban (SPJ) fiktif di ruang Wirjono Projodikoro 2, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis (30/10/2025).

Hakim Ketua Rios Rahmanto menyatakan, terdakwa Iwan Henry Wardhana, bersama-sama dengan Kepala Bidang (Kabid) Pemanfaatan Disbud DKI Jakarta tahun 2024 Mohamad Fairza Maulana (MFM) serta pemilik penyelenggara acara atau Event Organizer (EO) Gerai Production (GR PRO) Gatot Arif Rahmadi (GAR) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tipikor secara bersama-sama, sehingga merugikan keuangan negara Rp36,32 miliar. “Terdakwa juga dibebankan pidana denda sebesar Rp500 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti (subsider) pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan,” ujar Ketua Majelis Hakim dalam sidang pembacaan putusan majelis hakim di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis (30/10/2025).

Selain itu, Majelis Hakim turut menjatuhkan pidana tambahan kepada Iwan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp13,53 miliar subsider 5 (lima) tahun penjara. Dalam persidangan yang sama, terdapat pula terdakwa Fairza dan Gatot mendengarkan pembacaan putusan majelis hakim.

Terdakwa Fairza divonis pidana penjara selama 6 (enam) tahun; denda Rp500 juta subsider 3 bulan, serta membayar uang pengganti Rp841,5 juta subsider 3 tahun penjara, dengan memperhitungkan penyitaan uang pada penyidikan senilai Rp1,06 miliar. Sementara, terdakwa Gatot dihukum 8 (delapan) tahun penjara; denda Rp500 juta subsider 3 bulan; serta membayar uang pengganti Rp13,26 miliar subsider 3 tahun, dengan memperhitungkan aset yang telah disita.

Dengan demikian, terdakwa Iwan, Fairza, dan Gatot terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) Juncto (Jo) Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sebelum menjatuhkan putusan, Majelis Hakim mempertimbangkan beberapa hal memberatkan dan meringankan. Keadaan memberatkan yang dipertimbangkan yakni perbuatan para terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih, dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta telah menikmati hasil tindak pidana yang dilakukan.

Sementara, hal meringankan yang dipertimbangkan meliputi para terdakwa bersikap sopan, kooperatif, dan tidak mempersulit jalannya persidangan, belum pernah dihukum, serta memiliki tanggungan keluarga. “Dengan mempertimbangkan hal memberatkan dan meringankan, kiranya hukuman yang dijatuhkan sudah memenuhi rasa keadilan,” ungkap Hakim Ketua.

Adapun putusan tersebut sedikit lebih ringan dari tuntutan jaksa yakni terdakwa Iwan sebelumnya dituntut dengan pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun, Fairza 7 (tujuh) tahun, dan Gatot 9 (sembilan) tahun. Begitu pula untuk besaran denda, uang pengganti, dan subsider yang dijatuhkan sedikit lebih ringan, pada awalnya terdakwa Iwan, Fairza, dan Gatot dituntut membayar denda sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.

Lalu, ketiganya masing-masing dituntut untuk membayar uang pengganti yakni terdakwa Iwan sebesar Rp20,5 miliar subsider 6 tahun penjara; Fairza Rp1,44 miliar subsider 3 (tiga) tahun dan 6 bulan penjara; serta Gatot Rp13,26 miliar subsider 4 tahun dan 6 bulan penjara. Dalam kasus tersebut, ketiganya didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp36,32 miliar.

Terdakwa Iwan diduga mengarahkan agar seluruh kegiatan Pergelaran Seni Budaya Berbasis (PSBB) Komunitas diserahkan kepada terdakwa Gatot. Hal itu dilakukan dengan kesepakatan, bahwa terdakwa Gatot akan memberikan kontribusi berupa uang untuk diserahkan kepada terdakwa Iwan.

Selama periode 2022 hingga 2024, terdakwa Gatot, atas dasar penunjukan dari terdakwa Iwan dan arahan terdakwa Fairza telah mengelola sekitar 101 acara PSBB Komunitas, 746 Pergelaran Kesenian Terpilih (PKT), dan 3 (tiga) Jakarnaval, dengan realisasi pembayaran setelah dipotong pajak sebesar Rp38,66 miliar. Namun, jumlah pengeluaran sebenarnya hanya sebesar Rp8,19 miliar, sedangkan sisa lebih pembayaran yang disalahgunakan sebesar Rp30,46 miliar.

Selisih pembayaran tidak sah itu diduga digunakan untuk memberikan kontribusi uang kepada terdakwa Iwan, Fairza, Gatot, serta pihak-pihak lain. Terdakwa Kadisbud DKI Jakarta IHW mengatakan, dirinya secara batiniah merasa kecewa dengan keputusan Majelis Hakim saat ini karena berdasarkan bukti-bukti di muka persidangan yang sudah ia sampaikan tidak satu pun yang dijadikan bahan pertimbangan Majelis Hakim dan apa yang disampaikan oleh Penuntut Umum sampai dengan akhir masa persidangan tidak ada satu pun bukti yang bisa disajikan kepada proses persidangan itu.

“Saya merasa kecewa karena tidak ada satu pun dari sanggar atau pemilik organisasi seni budaya yang saya mintai uang. Tidak ada satu pun,” ujar terdakwa IHW kepada wartawan saat jumpa pers usai acara sidang ini.

Terdakwa Kadisbud DKI Jakarta IHW saat mendengarkan vonis Majelis Hakim kepadanya, di ruang Wirjono Projodikoro 2, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis (30/10/2025). (Foto : Murgap Harahap)

Kemudian, sambungnya, selaku Pengguna Anggaran (PA) berdasarkan proses pelaksanaan pengadaan barang dan jasa sudah diberikan kuasa kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). “Selaku KPA, pelimpahan wewenang itu sifatnya delegatif. Artinya delegatif itu adalah tanggung jawab dan tanggung gugat sudah diberikan sepenuhnya kepada KPA dan itu sudah disampaikan juga oleh saksi Ahli. Saksi Ahli juga sudah menyampaikan hal yang serupa tapi tenyata itu tidak dijadikan dasar pertimbangan, itu yang pertama,” paparnya.

“Kedua, bahwa saya sudah menampilkan atau menghadirkan saksi-saksi Ad-Charge (Meringankan) yang melihat. Bahkan ajudan saya juga melhat tapi tetap saja dijadikan sebagai satu kesalahan. Jadi dasar petimbangan Majelis Hakim ini saya merasa tertekan, sedih karena tidak ada satupun bukti yang diperlihatkan oleh JPU,” terangnya.

Ia menjelaskan, pada saat transfer uang itu pun Rp100 juta misalnya ke adiknya, itu pun sudah dikembalikan. “Kenapa tetap diperhitungkan uang transfer itu? Padahal, di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di situ tertulis dari terdakwa MFM, bahwa yang bersangkutan memang benar itu uang yang Rp500 juta, ajudan saya pun melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa saya tidak membawanya,” akunya.

Ia mempertanyakan kenapa itu dijadikan bahan. “Yang lain-lainnya saya tidak terima. Kenapa juga saya harus dijadikan alasan seperti ini?” tanyanya heran.

Ia merasa difitnah. “Proses pengadaan barang dan jasa tidak kewenangan dari PA. Tapi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan KPA dan dari semua pelaksanaan kegiatan pengadaan dokumen terhadap barang dan jasa ada tanda tangan saya dipalsukan. Itu saksi Ahli Grafonomi juga sudah melihat tapi tetap saja dijadikan bahan bukan alasan yang benar, ” ucapnya.

“Upaya hukum selanjutnya sesuai aturan dengan Kuasa Hukum saya, saya tetap mencoba berdiskusi. Tapi melihat apa yang divonis itu menjadikan bahan untuk saya berdiskusi dengan pihak Kuasa Hukum saya,” tegasnya.

Ia menyampaikan satu hal selama hayat masih di kandung badan, bilamana ada satu sandar saja pernah memberikan sesuatu kepadanya. “Apakah saya permah memaksa meminta uang kepada mereka atau bahkan apakah saya pernah meminta tolong kepada seseorang untuk mengambil uang? Selama masih ada hanyat di kandung badan, akan saya ganti. Tapi saya tidak pernah minta uang. Tapi kalau itu dijadikan satu hukuman buat saya, maka saya merasa sedih dengan hukuman yang dipertanyakan apa yang terjadi di Indonesia ini,” katanya.

Kuasa Hukum terdakwa Kadisbud DKI Jakarta IHW, Ezar Ibrahim SH menambahkan, pihaknya selama 7 (tujuh) hari ke depan setelah putusan vonis Majelis Hakim kepada kliennya (terdakwa IHW)  akan mengambil sikap pikir-pikir. “Kami ambil sikap pikir-pikir,” ujar Ezar Ibrahim SH dari kantor law firm Ibrahim and Partners yang beralamat di Jalan Tebet Barat Dalam Nomor 9, Jakarta Selatan (Jaksel) ini kepada wartawan saat jumpa pers usai acara sidang ini. (Murgap)

Tags: