Kuasa Hukum Terdakwa Direktur Komersial PT PGN (Persero) Danny Praditya, FX L Michael Shah SH Tegaskan Kliennya Tidak Tahu dan Tidak Menerima Voucher 500.000 Dolar Singapura

FX L Michael Shah SH
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan perkara dugaan Tipikor dengan terdakwa Direktur Komersial PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Persero periode 2016-2019, Danny Praditya dan terdakwa Komisaris PT Inti Alasindo Energy atau PT IAE periode 2006 hingga 2024 Iswan Ibrahim, yang didakwa menerima aliran uang kasus korupsi jual beli gas PT PGN (Persero) periode 2017 hingga 2021, di ruang Prof Dr Kusumah Atmadja SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jum’at (31/10/2025).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, Iswan Ibrahim bersama dengan Danny Praditya, selaku Direktur Komersial PT PGN (Persero) periode 2016-2019, telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Keduanya melakukan kegiatan untuk memperoleh dana dari PT PGN (Persero) dalam rangka menyelesaikan utang PT Isargas Group.
“Dengan cara memberikan advance payment (pembayaran di muka adalah pembayaran yang dilakukan oleh pembeli kepada penjual sebelum barang atau jasa diterima). Metode ini bisa dilakukan untuk seluruh nilai transaksi (full payment) atau sebagian (partial payment) dalam kegiatan jual-beli gas,” kata jaksa saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Senin (01/09/2025).
Padahal, sambung jaksa, PT PGN (Persero) bukan perusahaan financing atau pembiayaan. Selain itu, terdapat larangan jual-beli gas secara berjenjang.
Keduanya juga dituding mendukung rencana akuisisi PT PGN (Persero) dengan PT Isargas Group. Jaksa menyebut, tidak ada due diligence (uji tuntas) atas rencana akuisisi tersebut.
Jaksa menilai, perbuatan tersebut telah memperkaya sejumlah pihak. “Memperkaya Iswan Ibrahim sebesar US$3.581.348,75,” ujarnya.
Selain itu, memperkaya Arso Sadewo selaku Komisaris Utama (Komut) PT IAE sebesar US$11.036.401,25, mantan Direktur Utama (Dirut) PT PGN (Persero) Hendi Prio Santoso (HPS) sejumlah US$500.000, dan Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Waketum Kadin) Yugi Prayanto sebanyak US$20.000. “Yang merugikan keuangan negara sebesar US$15 juta dolar Singapore atau dalam jumlah tersebut,” kata jaksa.
Ini sebagaimana laporan hasil pemeriksaan investigatif Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) nomor 56/LHP/XXI/10/2024 berwarkat 15 Oktober 2024. Apabila dikonversi, US$15 juta dolar setara dengan Rp247.050.000.000 atau Rp247 miliar.
Ini berdasarkan asumsi Rp16.470 per dolar Amerika Serikat (AS). Atas perbuatannya, Iswan Ibrahim didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Juncto (Jo) Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Agenda sidang kali ini, jaksa KPK menghadirkan 3 (tiga) saksi yakni Ridwan selaku Bagian Keuangan PT Isargas Group, Ahmad Zakaria selaku Konsultan Hukum Umbra, Amiwati selaku mantan bagian treasury PT PGN (Persero) untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, jaksa dan tim Kuasa Hukum terdakwa. Pada sidang kali ini, jaksa KPK menanyakan kepada saksi Ridwan terkait voucher senilai 500.000 dolar Singapura, dan saksi Ridwan menjawab voucher tersebut dikeluarkan oleh PT Isargas Group untuk diberkan kepada terdakwa Iswan Ibrahim.
Kuasa Hukum terdakwa Direktur Komersial PT PGN (Persero) periode 2016-2019 Danny Praditya, FX L Michael Shah SH mengatakan, dirinya senang sekali dengan keterangan saksi. “Dari keterangan saksi pada hari ini, terkumpul point penting, menurut saya. Contoh, pertama, bahwa advance payment itu sudah jelas-jelas buat pembelian gas. Kan selama ini kalau kita melihat jaksa selalu mencoba menarik ini, uang itu menjadi utang piutang. Kami tahu tujuannya mereka. Karena kalau utang piutang kan secara logika sederhana, PT PGN (Persero) bukan bank,” ujar FX L Michael Shah SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
“Makanya tadi di situ ditegaskan oleh saksi Ahmad Zakaria selaku konsultan hukum luar atau dari eksternal. Jadi bukan dari PT PGN (Persero) sendiri. Berarti mereka independen. Mereka bilang, bahwa sesuai dengan perjanjian disebutkan advance payment itu adalah untuk pembelian gas. Artinya, pihak lain tidak ada yang boleh mengartikan lain dong,” terang FX L Michael Shah SH dari kantor Abi Satya Law Firm yang beralamat di daerah Blok M, Jakarta Selatan (Jaksel) ini.
Menurutnya, kalau sudah di perjanjian spesifik disebut itu pembelian gas tidak boleh diartikan lain. “Kedua, tadi disebutkan, bahwa Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk pembayaran advance payment tidak membutuhkan persetujuan Direktur Komersial PT PGN (Persero). Jadi seperti yang kemarin kita bilang, terdakwa Danny Praditya tidak ada cawe-cawe terkait pembayaran. Dia tidak dalam kapasitasnya dan memang terbukti tadi saksi Ratnawati memang bilang seperti itu,” katanya.
“Saksi dari PT Isargas tadi menyampaikan PT Isargas punya gas. Mereka siap untuk mengirim. Management PT PGN (Persero) yang baru lah yang tidak minta gas ke klien kami. Tadi disebutkan terdakwa Danny Praditya cuma menjabat sampai Agustus 2019. Zamannya terdakwa Danny Praditya gas mengalir. Pada 5 April 2019, gas mengalir. Terdakwa Danny Praditya pada Agustus 2019, sudah ditugaskan ke tempat lain,” ucapnya.
Dikatakannya, pada saat terdakwa Danny Praditya bertugas, gas mengalir. “Setelah itu, ada gas tidak mengalir dengan segala kendalanya itu di luar tanggung jawab Danny Praditya karena sudah tidak berkerja di PT PGN (Persero),” ungkapnya.
Ketika ditanya tentang voucher 500.000 dolar Singapura yang terungkap di muka persidangan, FX L Michael Shah SH menjawab tadi disebutkan untuk diserahkan ke terdakwa Iswan Ibrahim. “Tapi tadi kita sudah pastikan, bahwa terdakwa Danny Praditya tidak mengetahui tentang hal itu. Tadi kan juga saksi Ridwan bilang, bahwa itu permintaan di internal mereka dan setelahnya diberikan kepada Arso Sadewo dan dari Arso Sadewo, mungkin diberikan kepada HPS, itu terdakwa Danny Praditya tidak mengetahui,” ucapnya.
“Karena itu bisa dicek di kesaksian Arso Sadewo di persidangan menyatakan, bahwa uang sama sekali terdakwa Danny Praditya tidak mengetahui,” ungkapnya.
Ia tidak bisa berkomentar tentang voucher 500.000 dolar Singapura itu untuk digunakan apa karena itu di internal PT IAE. “Keterangan saksi meringankan bagi terdakwa Danny Praditya. Jadi point-pointnya yaitu pertama, gas benar ada. Jadi ketika PT PGN (Persero) jual beli gas, obyek jual belinya gas dan itu ada,” terangnya.
“Ketika PT PGN (Persero) management baru tidak meminta harus ditanya ke management baru dong. Padahal, perjanjiannya ada,” ucapnya.
Kedua, sambungnya, terkait tadi dibilang, bahwa advance payment itu untuk pembelian gas. “Tidak boleh diartikan lain karena sesuai dengan pasal soal penafsiran 1342 KUHPerdata, : jika kata-kata suatu persetujuan jelas, tidak diperkenankan menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran, seingat saya menyatakan, bahwa kalau perjanjian sudah jelas kata-katanya tidak boleh diartikan lain,” paparnya.
“Ketiga, mengenai voucher 500.000 dolar Singapura, terdakwa Danny Praditya tidak mengetahui dan tidak menerima,” tegasnya.
Ia mengharapkan seperti yang sudah-sudah, kalau semua fakta di persidangan diungkap apa adanya, dan hakim bisa menilai secara obyektif sesuai fakta di persidangan, ia berkeyakinan terdakwa Danny Praditya tidak bersalah. (Murgap)
