Kuasa Hukum Terdakwa Dirut PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspa Dewi dkk, Gunadi SH CN : Tidak Ada Modal Dikeluarkan Serupiahpun Oleh PT ASDP Tapi PT ASDP Malah Dapat Keuntungan Rp11 M

Gunadi SH CN

Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan perkara dugaan Tipikor dengan 3 (tiga) terdakwa petinggi PT Angkutan Sungai Darat dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero) yang didakwa merugikan negara Rp1,25 triliun dalam kasus dugaan korupsi akuisisi saham PT Jembatan Nusantara (PT JN) pada 2019 hingga 2022, di ruang Wirjono Projodikoro 2, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis (23/10/2025).

Dalam dakwaannya, Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, kapal yang diakuisisi para terdakwa sudah tua dan tidak layak karena dalam kondisi karam. Sidang dakwaan digelar di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, beberapa waktu lalu.

Para terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Utama (Dirut) PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspa Dewi, mantan Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Yusuf Hadi, serta mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Harry Muhammad Adhi Caksono. “Yang merugikan keuangan negara sebesar Rp1.253.431.651.169 berdasarkan laporan penghitungan kerugian keuangan negara LHA-AF-08-DNA-05-2025 tanggal 28 Mei 2025,” ujar jaksa KPK Wahyu Dwi Oktavianto saat membacakan surat dakwaan.

Jaksa mengatakan, perbuatan ini dilakukan Ira Puspa Dewi dan kawan-kawan (dkk) bersama Adjie selaku Beneficial Owner PT JN. Para terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto (Jo) Pasal 18 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Jaksa mengatakan, perkara ini bermula dari skema kerja sama usaha (KSU) antara PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) dan PT JN pada 2019. Skema KSU itu berubah dalam proses akuisisi pembelian saham PT JN.

Para terdakwa melakukan 2 (dua) keputusan direksi yang bertujuan untuk mempermudah pelaksanaan KSU dengan PT JN. Jaksa mengatakan, para terdakwa juga menambahkan ketentuan pengecualian persyaratan KSU serta melakukan perjanjian KSU pengoperasian kapal antara PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) dan PT JN sebelum adanya persetujuan Dewan Komisaris.

“Juga tidak mempertimbangkan resiko pelaksanaan KSU dengan PT JN yang disusun Vice President (VP), Manajemen Resiko dan Quality Assurance (QA),” ujar jaksa.

Jaksa mengatakan, para terdakwa menyampaikan substansi izin pelaksanaan KSU dengan PT JN ke Dewan Komisaris PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) tapi ternyata substansi izin berbeda dengan yang disampaikan ke Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saat itu. Para terdakwa juga disebut tidak mempertimbangkan usia kapal milik PT JN dalam menentukan opsi skema transaksi jual beli.

Jaksa menyebut, para terdakwa melakukan pengondisian penilaian sebanyak 53 (lima puluh tiga) unit kapal PT JN oleh Kantor Jasa Penilai Publik Mutaqin Bambang Purwanto Rozak Uswatun dan rekan (KJPP MBPRU). Para terdakwa juga disebut telah mengabaikan hasil uji tuntas teknik engineering (due diligence) PT Biro Klasifikasi Indonesia (PT BKI) dalam proses akuisisi terkait untuk tidak mengakuisisi 9 (sembilan) kapal PT JN yang kondisinya tidak layak.

“Bahwa berdasarkan laporan uji tuntas engineering (due diligence) PT BKI menyebut, terdapat 2 (dua) unit kapal yang belum siap beroperasi yaitu Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Marisan Nusantara karena dari status, kelas, dan sertifikat perhubungan lainnya telah tidak berlaku dan KMP Jembatan Musi II karena kapal saat inspeksi dalam kondisi karam,” ujar jaksa.

Jaksa mengatakan, para terdakwa melakukan penundaan docking rutin tahunan 12 (dua belas) kapal milik PT JN dengan tujuan untuk mengalihkan beban pemeliharaan rutin terjadwal tahun 2021 kepada PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) sebagai pemilik baru PT JN. Jaksa menambahkan, para terdakwa mengondisikan valuasi perusahaan PT JN oleh KJPP Suwendho Rinaldy dan Rekan (KJPP SRR) berdasarkan penilaian KJPP MBPRU tanpa verifikasi dan review ulang serta memilih menggunakan Discount of Lack Marketability (DLOM) yang lebih rendah 20% kepada opsi DLOM 30% yang diusulkan KJPP SRR.

Jaksa mengatakan, perbuatan para terdakwa telah memperkaya Adjie selaku Beneficial Owner PT JN sebesar Rp1,25 triliun. Jaksa menerangkan, nilai ini menjadi kerugian keuangan negara yang terdiri dari 3 (tiga) komponen yaitu dari nilai pembayaran atas akuisisi saham PT JN sebesar Rp892 miliar; pembayaran 11 (sebelas) kapal afiliasi PT JN sebesar Rp380 miliar; serta dari nilai bersih yang dibayar PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) kepada Adjie, PT JN, dan perusahaan afiliasi sebesar Rp1,272 triliun.

“Perbuatan terdakwa Ira Puspa Dewi, terdakwa Muhammad Yusuf Hadi, terdakwa Harry Muhammad Adhi Caksono telah memperkaya Adjie selaku pemilik atau penerima manfaat PT JN Group sebesar Rp1.253.431.651.169,” ujar jaksa

Agenda sidang hari ini, pemeriksaan ketiga terdakwa sebagai saksi untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, jaksa dan tim Kuasa Hukum terdakwa. Kuasa Hukum terdakwa Dirut PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspa Dewi, mantan Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Yusuf Hadi, serta mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Harry Muhammad Adhi Caksono, Gunadi SH CN mengatakan, meningkatkan profit (keuntungan) serra meningkatkan pelayanan kepada masyarakat itu semua dilakukan berdasarkan landasan Rancangan Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) dan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) setiap tahun itu dibuat.

“Dua aksi korporasi itu telah dilakukan sesuai dengan semua aturan yang berlaku. Khusus untuk akuisisi telah menghasilkan dan tidak ada modal yang dikeluarkan serupiah pun oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) tapi PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) malah mendapat keuntungan kurang lebih Rp11 miliar, itu untuk KSU,” ujar Gunadi SH CN kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.

Kemudian, sambungnya, untuk akuisisi, akuisisi itu dilakukan karena wujudnya investasi, maka hasilnya tidak seketika. “Beda dengan pengadaan barang dan jasa. Akuisisi itu adalah sebuah investasi yang hasilnya akan diperoleh sesuai dengan proyeksi waktu. Dalam kasus ini, proyeksi waktunya adalah 2027, sehingga belum saatnya akuisisi itu dinilai saat ini. Itu dari hasilnya,” terang Gunadi SH CN dari Kantor Hukum Soesilo Aribowo (KHSA) yang beralamat di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan (Jaksel) ini.

“Dari sisi prosesnya, semua ketentuan tentang akuisisi baik yang diatur di dalam Anggaran Dasar (AD) diatur di dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) maupun di dalam UU, semua telah diikuti dan dipenuhi. Pertama, ada RJPP dan kedua, ada RKAP, menggunakan konsultan-konsultan yang memang punya izin tertentu untuk melakukan itu,” ungkapnya.

Dikatakannya, ada konsultan penilai kapal. “Dari sisi teknis, ada konsultan penilai kapal. Ada konsultan penilai saham. Ada konsultan yang menilai keuangan. Semua dipadukan jadi satu dan memberikan rekomendasi kepada PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) sebuah angka yang dijadikan dasar untuk negosiasi dengan PT JN,” katanya.

Menurutnya, hal itu tidak bisa ditenderkan. “Tadi majelis hakim ngomong ini bukan pembelian barang dan jasa. Kita beli komputer, banyak orang yang jual komputer. Kita mau beli motor, banyak orang yang jual motor. Akuisisi ini hanya satu-satunya PT JN yang mau melepaskan karena kondisi pribadi, bahwa dia sudah umur dan anaknya yang diharapkan bisa meneruskan usahanya untuk meninggal, sehingga dia ingin melepaskan itu untuk PT ASDP Indonesia Ferry (Persero),” ucapnya.

“Peningkatan dari sisi subsidi, bahwa PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) selain punya tugas untuk memajukan usaha, untuk mendapatkan profit, juga harus melayani masyarakat melalui perlintasan perintis. Lintasan perintis yang dilakukan PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) itu ada subsidi dari Pemerintah Republik Indonesia (RI), dan jumlahnya minim. Tiap tahun selalu defisit. Defisitnya harus ditutup dengan hasil komersial,” tuturnya.

Dengan akuisisi, imbuhnya, dari PT JN, maka kapal PT JN itu semua lintasannya komersial. “Begitu diakuisisi langsung menghasilkan pendapatan meningkat. Pendapatan ini bisa untuk menambah kekurangan dana yang lintasan perintis,” ucapnya.

“Jadi semua diperoleh. Profit diperoleh, peningkatan layanan kepada masyarakat juga diperoleh, sehingga apa yang salah dengan apa yang mereka lakukan?” tanyanya.

Tentu dengan kondisi ini, ia berharap, bahwa majelis hakim bisa mempertimbangkan hal yang faktual. (Murgap)

Tags: