Kuasa Hukum Terdakwa Dirut PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspa Dewi dkk, Gunadi SH CN Tegaskan KJPP Harus Independen dan Harus Melakukan Penilaian Tidak Mementingkan Siapapun

Gunadi SH CN

Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan perkara dugaan Tipikor dengan 3 (tiga) terdakwa petinggi PT Angkutan Sungai Darat dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero) yang didakwa merugikan negara Rp1,25 triliun dalam kasus dugaan korupsi akuisisi saham PT Jembatan Nusantara (PT JN) pada 2019 hingga 2022, di ruang Wirjono Projodikoro 3, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis (10/10/2025).

Dalam dakwaannya, Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, kapal yang diakuisisi para terdakwa sudah tua dan tidak layak karena dalam kondisi karam. Sidang dakwaan digelar di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, beberapa waktu lalu.

Para terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Utama (Dirut) PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspa Dewi, mantan Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Yusuf Hadi, serta mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Harry Muhammad Adhi Caksono. “Yang merugikan keuangan negara sebesar Rp1.253.431.651.169 berdasarkan laporan penghitungan kerugian keuangan negara LHA-AF-08-DNA-05-2025 tanggal 28 Mei 2025,” ujar jaksa KPK Wahyu Dwi Oktavianto saat membacakan surat dakwaan.

Jaksa mengatakan, perbuatan ini dilakukan Ira Puspa Dewi dan kawan-kawan (dkk) bersama Adjie selaku Beneficial Owner PT JN. Para terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto (Jo) Pasal 18 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Jaksa mengatakan, perkara ini bermula dari skema kerja sama usaha (KSU) antara PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) dan PT JN pada 2019. Skema KSU itu berubah dalam proses akuisisi pembelian saham PT JN.

Para terdakwa melakukan 2 (dua) keputusan direksi yang bertujuan untuk mempermudah pelaksanaan KSU dengan PT JN. Jaksa mengatakan, para terdakwa juga menambahkan ketentuan pengecualian persyaratan KSU serta melakukan perjanjian KSU pengoperasian kapal antara PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) dan PT JN sebelum adanya persetujuan Dewan Komisaris.

“Juga tidak mempertimbangkan resiko pelaksanaan KSU dengan PT JN yang disusun Vice President (VP), Manajemen Resiko dan Quality Assurance (QA),” ujar jaksa.

Jaksa mengatakan, para terdakwa menyampaikan substansi izin pelaksanaan KSU dengan PT JN ke Dewan Komisaris PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) tapi ternyata substansi izin berbeda dengan yang disampaikan ke Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saat itu. Para terdakwa juga disebut tidak mempertimbangkan usia kapal milik PT JN dalam menentukan opsi skema transaksi jual beli.

Jaksa menyebut, para terdakwa melakukan pengondisian penilaian sebanyak 53 (lima puluh tiga) unit kapal PT JN oleh Kantor Jasa Penilai Publik Mutaqin Bambang Purwanto Rozak Uswatun dan rekan (KJPP MBPRU). Para terdakwa juga disebut telah mengabaikan hasil uji tuntas teknik engineering (due diligence) PT Biro Klasifikasi Indonesia (PT BKI) dalam proses akuisisi terkait untuk tidak mengakuisisi 9 (sembilan) kapal PT JN yang kondisinya tidak layak.

“Bahwa berdasarkan laporan uji tuntas engineering (due diligence) PT BKI menyebut, terdapat 2 (dua) unit kapal yang belum siap beroperasi yaitu Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Marisan Nusantara karena dari status, kelas, dan sertifikat perhubungan lainnya telah tidak berlaku dan KMP Jembatan Musi II karena kapal saat inspeksi dalam kondisi karam,” ujar jaksa.

Jaksa mengatakan, para terdakwa melakukan penundaan docking rutin tahunan 12 (dua belas) kapal milik PT JN dengan tujuan untuk mengalihkan beban pemeliharaan rutin terjadwal tahun 2021 kepada PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) sebagai pemilik baru PT JN. Jaksa menambahkan, para terdakwa mengondisikan valuasi perusahaan PT JN oleh KJPP Suwendho Rinaldy dan Rekan (KJPP SRR) berdasarkan penilaian KJPP MBPRU tanpa verifikasi dan review ulang serta memilih menggunakan Discount of Lack Marketability (DLOM) yang lebih rendah 20% kepada opsi DLOM 30% yang diusulkan KJPP SRR.

Jaksa mengatakan, perbuatan para terdakwa telah memperkaya Adjie selaku Beneficial Owner PT JN sebesar Rp1,25 triliun. Jaksa menerangkan, nilai ini menjadi kerugian keuangan negara yang terdiri dari tiga komponen yaitu dari nilai pembayaran atas akuisisi saham PT JN sebesar Rp892 miliar; pembayaran 11 (sebelas) kapal afiliasi PT JN sebesar Rp380 miliar; serta dari nilai bersih yang dibayar PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) kepada Adjie, PT JN, dan perusahaan afiliasi sebesar Rp1,272 triliun.

“Perbuatan terdakwa Ira Puspa Dewi, terdakwa Muhammad Yusuf Hadi, terdakwa Harry Muhammad Adhi Caksono telah memperkaya Adjie selaku pemilik atau penerima manfaat PT JN Group sebesar Rp1.253.431.651.169,” ujar jaksa

Agenda sidang hari ini, tim Kuasa Hukum terdakwa Dirut PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspa Dewi dkk menghadirkan saksi penilai independen Oki untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, jaksa dan tim Kuasa Hukum terdakwa. Kuasa Hukum terdakwa Dirut PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspa Dewi, mantan Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Yusuf Hadi, serta mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Harry Muhammad Adhi Caksono, Gunadi SH CN mengatakan, semua penilaian saksi Oki adalah independen.

Menurutnya, ada pemahaman yang kurang tepat dalam bidang DLOM. “Apa yang dilakukan oleh saksi Oki selaku penilai adalah keputusan profesional,” ujar Gunadi SH CN kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.

“Contohnya penentuan 20% itu adalah keputusan profesional yang didasarkan atas kajian-kajian sesuai Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi)-nya bukan atas permintaan siapa pun PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) maupun PT JN. Jadi ada yang kurang tepat dalam melihat perkara ini. Pengertian KJPP harus independen, KJPP harus melakukan penilaian tidak mementingkan siapapun. Meskipun yang bayar PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) dan PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) adalah Badan Usaha Milik Negera (BUMN), tidak boleh dipentingkan tapi harus seimbang,” terang Gunadi SH CN dari Kantor Hukum Soesilo Aribowo (KHSA) yang beralamat di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan (Jaksel) ini.

Dikatakannya, baik PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) maupun yang lain harus seimbang. “Kepentingannya untuk publik bukan untuk memihak siapa pun. Meskipun PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) adalah BUMN dan di situ menurut pemahaman saksi Oki adalah uang negara tapi tidak ada uang negara di situ, yang ada saham,” katanya.

Ia menegaskan, KJPP bekerja secara profesional tidak berpihak kepada siapa pun. “Tidak ada yang dipentingkan. Itu namanya independen dan profesional,” paparnya.

Ia mengharapkan perkara kliennya ini bisa semakin terang benderang. “Semua pihak memahami perkara ini secara utuh. Jangan sepotong-sepotong hanya satu kekhilafan sepotong digeneralisir menjadi kesalahan semua. Harus melihat perkara ini secara utuh,” tandasnya. (Murgap)

Tags: