Peluncuran Hasil Survei APJII Profil Internet Indonesia 2025
Ketum APJII Muhammad Arif (keempat dari kanan) didampingi Sekretaris Umum APJII Zulfadly Syam (kedua dari kanan) foto bersama Dirjen Komdigi RI Mira Tayyiba (tengah), perwakilan dari BSSN, dan perwakilan dari Kemenkopolkam RI, usai menyerahkan buku Hasil Survei APJII Tahun 2025 kepada Dirjen Komdigi RI Mira Tayyiba pada Peluncuran Hasil Survei APJII Profil Internet Indonesia 2025, di Conference Room 1, JICC, Jakarta, Rabu (06/08/2025). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Ketua Umum (Ketum) Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Muhammad Arif menggelar Peluncuran Hasil Survei APJII Profil Internet Indonesia 2025, di Conference Room 1, Jakarta International Convention Center (JICC), Jakarta, Rabu (06/08/2025).
Tampak hadir dalam acara ini Sekretaris Umum APJII Zulfadly Syam, Kepala Bidang (Kabid) Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Anggota, I Gede Yudhatama, Direktur Jenderal (Dirjen) Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia (Komdigi RI) Mira Tayyiba, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan Kementerian Koordinasi Politik dan Keamanan (Kemenkopolkam) RI. Muhammad Arif melaporkan APJII mencatat tingkat penetrasi internet Indonesia capai 80,66%
Ia menjelaskan, tingkat penetrasi internet tahun ini naik sekitar 1% dari tahun 2024 sebesar 79,50%. “Artinya, saat ini koneksi internet telah menjangkau 229.428.417 jiwa dari total populasi Indonesia tahun 2025 sebanyak 284.438.900 jiwa,” ujar Muhammad Arif.
“Penetrasi internet Indonesia saat ini 80,66% dari sebelumnya 79,5% di tahun 2024. Kita sudah menjangkau sekitar 229 juta penduduk di seluruh Indonesia,” katanya.
Ia merinci Pulau Jawa menjadi wilayah dengan tingkat penetrasi internet tertinggi yakni 84,69%, disusul oleh Pulau Kalimantan sebesar 78,72% dan Pulau Sumatera 77,12%. Hasil survei APJII mengungkapkan, masih ada 19,34% atau sekitar 55 juta orang Indonesia belum mendapatkan akses internet di tahun 2025.
“Masih ada hampir 20% masyarakat kita belum mendapatkan internet,” ungkapnya.
Muhammad Arif mengatakan, bahwa pengembangan internet Indonesia masih miliki kendala infrastruktur telekomunikasi yang menumpuk dan tidak merata. “Padahal, saat ini jumlah penyedia layanan internet (Internet Service Provider atau ISP) sudah mencapai sekitar 1.320,” terangnya.
“Ini jadi Pekerjaan Rumah (PR) kita bersama, bagaimana kita menciptakan regulasi yang benar-benar dapat mendorong bukan hanya pemerataan, tapi juga kualitas internet di Indonesia,” ucapnya.
Sementara itu, Sekretaris Umum APJII, Zulfadly Syam dalam Diskusi Panel di hadapan pers menjelaskan, setidaknya ada beberapa kendala yang dihadapi perusahaan penyedia layanan internet (ISP) untuk mengembangkan industrinya di Indonesia. “Faktor pertama yakni persaingan yang terlalu tinggi dengan persentase 26%. Kedua adalah regulasi dan kebijakan Pemerintah RI yang kurang mendukung dengan 25,67%,” ujar Zulfadly Syam di hadapan awak media di Conference Room 2, JICC, Jakarta, Rabu (06/08/2025).
Sekretaris Umum APJII Zulfadly Syam (tengah) didampingi Kabid Penelitian dan Pengembangan SDM Anggota , I Gede Yudhatama (pertama dari kiri) dan Ali, saat Diskusi Panel di hadapan pers memberikan paparan hasil survei APJII tahun 2025 di Conference Room 2, JICC, Jakarta, Rabu (06/08/2025). (Foto : Murgap Harahap)
“Jadi memang kendala sekarang untuk pertumbuhan industri ini adalah di persaingan yang terlalu tinggi. Nah kemudian, regulasi tentunya, jadi memang ada dua hal ini,” tuturnya.
Ia menjelaskan, regulasi ini juga mencakup kebijakan di Pemerintah Daerah (Pemda). “Beberapa dari mereka kadang kurang memahami peta jalan yang sudah ditentukan oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Komdigi RI,” jelasnya.
“Jadi bagaimana kami mau membangun infrastruktur kalau terlalu banyak regulation charge,” keluhnya.
Alasan ketiga, sambungnya, biaya pemasangan dan pemeliharaan infrastruktur yang tinggi dengan 21,67%. “Keempat adalah sulitnya infrastruktur yang menjangkau akses layanan terutama pada area remote dan rural dengan 17,33%,” katanya.
“Kelima yaitu terbatasnya akses permodalan dan kurangnya kesadaran konsumen dengan 3,67%. Lalu kurangnya SDM berkualitas tinggi dengan persentase 3%,” tandasnya. (Murgap)