Advokat Johnny Bakar SH : Apa Perlu “Presiden Prabowo Subianto Turun Tangan” Menghadapi Persoalan Hukum di Negara Ini
Johnny Bakar SH
Jakarta, Madina Line.Com – Kuasa Hukum Direktur Utama (Dirut) PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo yang telah divonis oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jskpus) dengan hukuman kurungan penjara selama 11 tahun, Johnny Bakar SH mengatakan, pihaknya mencoba masuk kepada kajian yuridis tentang perkara yang berkaitan dengan kliennya (Satrio Wibowo).
“Kalau bicara tentang perkara Satrio Wibowo ada suatu keadaan tertentu pada waktu itu Indonesia kala itu sedang darurat Corona Virus Disease-19 (Covid-19). Termasuk bukan hanya masyarakat saja yang terdampak tapi lebih spesifik kepada tenaga kesehatan (Nakes). Pada saat itu, memang kondisi dan keadaannya tidak bisa ditawar-tawar lagi mau tidak mau suka tidak suka, Nakes harus dilindungi atau diproteksi sedemikian rupa supaya pandemi Covid-19 sama-sama bisa diatasi, baik masalah kepada masyarakat maupun kepada Nakes itu sendiri ” ujar Johnny Bakar SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui di PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Selasa (05/08/2025).
“Nah, kalau kita melihat konteks ini memang agak lucu. Kenapa? Klien kami (Satrio Wibowo) pada saat itu, mencoba untuk menawarkan Alat Pelindung Diri (APD) Covid-19 merk BOHO. Pada waktu itu, jelas tidak ada satu pun orang yang bisa mensupply (memasok) APD Covid-19 tersebut. Satu-satunya yang bisa mensupply itu adalah klien kami. Klien kami pun mengadakan APD itu dengan komitmen-komitmen tertentu yang pada waktu itu memang situasinya tidak bisa ditawar lagi. Kalau kita bilang prosedur bagaimana ya? Kalau bicara prosedur dalam keadaan tertentu, di sini berlaku keselamatan rakyat itu adalah hukum tertinggi,” katanya.
Akhirnya, kliennya mensupply APD Covid-19, sambungnya, Nakes merasa terlindungi dan merasa percaya diri (PD) lagi menjalankan tugas-tugas kesehatan dan sampai pada akhirnya negara ini selesai juga dengan problem (masalah) pandemi Covid-19. “Ini memang menyedihkan, dalam artian, padahal ada Instruksi Presden (Inpres) jelas secara tertulis, malah sampai ada diterbitkan Peraturan Pengganti Perundang-undangan (Perppu) dan akhirnya menjadi UU Darurat Covid-19. Salah satu pasalnya memberikan imunitas pelaku atau pelaksana Covid-19 pada saat itu, sehingga supaya mereka-mereka yang bekerja di dalam tugas kemanusiaan ini bisa merasa aman dan nyaman karena resiko nyawa pada saat itu, dalam menghadapi pandemi Covid-19,” tegasnya.
“Nah, di situ kami juga agak bingung ya kalau dikatakan dalam putusan hakim adanya kerugian negara. Kerugian negara itu bagaimana standar menghitungnya? Saya selalu mengatakan bagaimana standar penghitungan kerugian negara ini? Sementara, pada waktu itu, tidak ada kompetitor. Jangan bicara sudah di tengah jalan ya. Di tengah jalan itu, beda cerita. Tapi pada waktu itu, satu-satunya yang bisa mengadakan APD cuma klien kami,” terangnya.
Menurutnya, fakta tidak bisa dibantah, bahwa ada 170.000 APD yang diambil paksa pada waktu itu. “Kenapa ada kebijakan ambil paksa? Pasti ada kajian di situ. Jadi kami merasa klien kami yang harusnya diberikan reward (penghargaan) buat klien kami oleh negara, karena klien kami berjasa menyelamatkan Nakes, malah yang terjadi klien kami sekarang malah dihukum oleh negara selama 11 tahun. Ini kan menyedihkan,” terangnya.
“Kalau kita melihat kondisi kajian berpikirnya, kami juga bingung. Apa sih yang menjadi landasan yuridisnya, sehingga klien kami harus divonis penjara selama 11 tahun? Apa yang menjadi kajian yuridisnya Pejabat Pembuat Komitmen (PPk) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) Budi Sylvana hanya divonis penjara selama 3 tahun? Bagaimana cara berpikirnya?” tanyanya.
Dikatakannya, perkara kliennya ini yang merupakan penegakan hukum yang sangat luar biasa menyedihkan. “Kami tidak tahu harus ke mana lagi meminta keadilan,” urainya.
Ia mengaku kecewa terhadap putusan vonis Majelis Hakim memberikan hukuman kurungan penjara selama 11 tahun kepada kliennya. “Karena dengan mencoba melihat fakta di pengadilan, satu pun tidak ada yang bisa dibuktikan atas suatu kerugian negara tapi tiba-tiba “Kok ada kesan agak dipaksakan klien kami dinyatakan bersalah”. Artinya, kami berpikir kalau sepanjang itu, memang fakta yuridisnya mampu dilakukan dengan legal reasoning atau kajian hukum atau pertimbangan hukum yang sangat-sangat bagus, mungkin kami bisa terima. Tapi kami di sini melihat ada kerugian negara yang mana yang dijadikan acuan? Sementara, pada waktu itu, dalam setiap pengambilan keputusan juga melibatkan Aparat Penegak Hukum (APH). Kalau mover paling semuanya. Nah, ditambah lagi adanya putusan perdata terhadap Muhammad Taufik selaku Dirut PT Permana Putra Mandiri (PT PPM). Tegas-tegas menyatakan, negara dalam hal ini Kemenkes RI mengganti sebesar Rp600 miliar sekian,” terangnya.
“Kalau kita bicara kajian orang-orang kampung saja, kita tos-tosan saja Rp300 miliar dibayar dan Rp300 miliar lagi dibalikan ke perusahaan. Itu jelas artinya, putusan pengadilan perdata kamu punya hutang, bayar,” ucapnya.
Dijelaskannya, pihaknya saat ini masih dalam kajian dan kalau untuk banding, tidak. “Klien kami tidak banding. Apakah nanti klien kami akan melakukan upaya hukum yang terakhir. Ya tinggal kita sepakati dengan klien saja,” tuturnya.
Ketika ditanya apakah akan mengajukan Abolisi kepada Presiden RI Prabowo Subianto untuk upaya hukum kepada kliennya, ia menjawab pihaknya belum tahu apakah kliennya termasuk di dalam nama-nama yang mendapatkan Abolisi ataupun Amnesty. “Yang jelas, faktanya kliennya adalah orang yang menyelamatkan negara dalam kondisi darurat Covid-19. Karena apa? Kalau kita bicara kemanusiaan ukuran itu sudah tidak ada. Artinya, kalau kita bicara kekeringan, uang Rp100 ribu untuk membeli air putih pun tidak ada nilainya pada waktu itu karena kering sama dengan kondisi perkara kliennya. Artinya, di fakta persidangan terbukti barang APD itu diambil paksa,” paparnya.
“Dalam kondisi tertentu kita juga tidak menyalahkan. Memang kondisinya pada waktu itu, membuat klien kami tidak ada pilihan karena keselamatan rakyat menjadi prioritas. Bukan tentang petantang dan petentang, bukan. Ini tentang kebutuhan sangat genting yang mau tidak mau suka dan tidak suka harus dibuat,” katanya
Ia selalu melihat dari aspek filosofis. “Dalam keadaan tertentu pun hukum mungkin sudah tidak ada nilai. Contoh ketika kita bicara tentang kekeringan, mungkin “Mengambil air orang” mungkin dapat dibenarkan karena memang kita tidak ada pilihan karena kita harus minum,” katanya.
“Ke depan, kita butuh melakukan evaluasi terhadap segala bentuk penegakan hukum di negara kita ini. Saya tidak memfokuskan kepada lembaga mana tapi yang pasti ini menjadi Pekerjaan Rumah (PR) kita bersama karena kita cinta dengan republik ini dan kita mau republik ini betul-betul menjadi suatu bentuk konsep yang dibangun di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, bahwa negara kita ini Rechstaat (Negara Hukum) bukan Machstaat (Negara Kekuasaan). Jadi inti pointnya semoga momentum dari kasusnya mantan Menteri Perdagangan (Mendag) RI Thomas Trikasih Lembong dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Sekjen DPP PDIP) Hasto Kristiyanto ini bisa menjadi suatu bentuk pembenahan menyeluruh penegakan hukum di negara ini. Semestinya, tidak perlu ada Abolisi dan Amnesty atau Asimilasi, sepanjang memang penegakan hukum ini mendapatkan trust (kepercayaan) di tengah masyarakat kita. Jadi itu pointnya,” ucapnya.
Dijelaskannya, memang Abolisi itu tidak ada batasannya. “Abolisi ini kan hak preogatif (mutlak) Presiden RI. Jadi kita serahkan kepada Presiden RI karena Presiden RI punya tim kajian hukum. Yang pasti kita tahu lah tim kajian hukum Presiden RI ini pakar-pakar hukum juga di dalamnya. Jadi prinsip dasarnya, Abolisi itu hak Presiden RI sebagai seorang Kepala Negara. Kepala Negara memberikan Abolisi kepada siapa pun itu kembali kepada kajian subjektifnya Kepala Negara dengan tim hukumnya,” tandasnya.
Perlu diketahui, Majelis Hakim pada Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus telah menjatuhi hukuman kurungan penjara kepada Dirut PT EKI Satrio Wibowo dengan vonis 11 tahun hukuman kurungan penjara dalam perkara Tipikor pada pengadaan 1,1 juta set lebih APD Covid-19 dengan eks PPK Kemenkes RI Budi Sylvana yang divonis hukuman kurungan penjara 3 tahun dan sejumlah pengusaha lain yang merugikan negara Rp319.691.374.183,06 (Rp319,6 miliar).
Adapun pengusaha yang terlibat lain adalah Dirut PT Permana Putra Mandiri (PT PPM) Ahmad Taufik yang juga divonis hukuman kurungan penjara selama 11 tahun. (Murgap)