Kuasa Hukum Terdakwa Dirut PT BMM, Hans Falita Utama, Agus Sudjatmoko SH MH Jelaskan PT PPI Dapat Untung Rp105 Per Kg Beli Gula Rafinasi Dari Perusahaan Kliennya
Kuasa Hukum terdakwa Dirut PT Berkah Manis Makmur (BMM), Hans Falita Utama, Agus Sudjatmoko SH MH (pertama dari kanan) foto bersama anggota tim Kuasa Hukumnya Damar SH, di teras Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Selasa (29/07/2025). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan dugaan Tipikor 9 perusahaan gula swasta yang didakwa merugikan keuangan negara Rp578.105.411.622,47 (Rp578 miliar) bersama-sama mantan Menteri Perdagangan Republik Indonesia (Mendag RI) 2015 hingga 2016, Thomas Trikasih Lembong dan mantan Mendag RI 2016 hingga 2019, Enggartiasto Lukita dengan terdakwa Direktur Utama (Dirut) PT Berkah Manis Makmur (BMM), Hans Falita Utama, di ruang Prof Dr Kusumah Atmadja SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Selasa (29/07/2025).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung (Kejagung) RI menyebut para terdakwa melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dengan mengajukan dan mendapatkan Persetujuan Impor (PI) Gula Kristal Mentah (GKM) dari Tom Lembong. “Total kerugian keuangan negara sebesar Rp578.105.411.622,47,” kata jaksa di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis (19/06/2025).
Adapun 8 nama pengusaha gula lainnya adalah Dirut PT Angels Products, Tony Wijaya NG, Direktur PT Makassar Tene, Then Surianto Eka Prasetyo, Dirut PT Sentra Usahatama Jaya, Hansen Setiawan, Dirut PT Medan Sugar Industry, Indra Suryaningrat, Dirut PT Permata Dunia Sukses Utama, Eka Sapanca, Presiden Direktur (Presdir) PT Andalan Furnindo, Wisnu Hendraningrat, Kuasa Direksi PT Duta Sugar International, Hendrogiarto A Tiwow, dan Direktur PT Kebun Tebu Mas Ali Sandjaja Boedidarmo. Jaksa menyebut mereka mengajukan PI kepada Tom Lembong dan Enggar ketika Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI menugaskan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI), Induk Koperasi Kartika (Inkopkar) milik Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) dan Induk Koperasi Polisi Republik Indonesia (Inkopol) menjaga stok dan stabilisasi harga gula.
“Tanpa disertai rekomendasi dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) RI,” ujar jaksa
PMH lainnya adalah mereka mengajukan PI GKM meskipun perusahaannya tidak berhak mengolah produk tersebut menjadi Gula Kristal Putih (GKP). Sebab, perusahaan-perusahaan tersebut merupakan produsen gula rafinasi.
Selain itu, jaksa juga mempersoalkan waktu importasi yang dilakukan para pengusaha gula. “Dilakukan pada saat produksi dalam negeri GKP mencukupi dan pemasukan atau realisasi impor GKM tersebut terjadi pada musim giling,” tutur jaksa.
Karena perbuatannya, para terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Juncto (Jo) Pasal 18 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Agenda sidang hari ini, jaksa menghadirkan 2 (dua) saksi Lalang dari Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) RI dan Yudi Wahyudi untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, JPU dan masing-masing tim Kuasa Hukum dari terdakwa.
Kuasa Hukum terdakwa Dirut PT Berkah Manis Makmur (BMM), Hans Falita Utama, Agus Sudjatmoko SH MH mengatakan, saksi Lalang menyampaikan analisa harga gula di tingkat konsumen. “Saksi Lalang menerangkan, harga gula di tahun 2016 sekitar Rp14.000 d atas Harga Patokan Petani (HPP) Rp8.900. Kalau harga di tingkat konsumen saja Rp14.000, maka harga produksinya harus di bawah itu. Klien kita (terdakwa Hans Falita Utama) ini menjual GKP Rp9.000. Sementara, HPP Rp8.900,” ujar Agus Sudjatmoko SH MH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Ia mengatakan, kalau PT PPI mau membeli gula langsung ke petani itu tidak mungkin dapat di harga Rp9.000, pasti di atas Rp9.000. “Bahkan, ketika PT PPI membeli gula dari perusahaan gula rafinasi itu lebih untung dibanding PT PPI beli di petani. Karena di tahun 2015, mereka sudah mencoba membeli gula langsung dari petani. Itu tidak dapat harganya karena belinya gak langsung ke petani tetapi dilelang. Di lelang di pasar. Itu harganya di atas Rp9.000,” kata Agus Sudjatmoko SH MH dari Kantor Hukum Soesilo Aribowo (KHSA) yang beralamat di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan (Jaksel) ini.
“Maka, ketika dia beli di perusahaan gula rafinasi di angka Rp9.000 menguntungkan. Sebenarnya PT PPI tidak dirugikan dengan membeli gula rafinasi dari perusahaan kliennya karena harga gula rafinasi Rp9.000 sangat murah,” terangnya.
Menurutnya, harga Rp9.000 jual ke PT PPI, sampai ke konsumen harganya Rp14.000 itu suatu hal yang wajar, spend (untung) Rp5.000. “Karena ada distribusi tidak hanya cuma satu. Ada Distributor 1 (D1), Distributor 2 (D2), dan ada biaya transportasi, itu tinggi. Masing-masing kan ada biaya biar mendapat keuntungan. Jadi harga Rp9.000 itu sudah termasuk biaya plastik untuk pengemasan gula rafinasi,” jelasnya.
Ia menerangkan, PT PPI levelnya tinggal terima beres dan tinggal angkut gula rafinasi. “Sudah ada tulisannya per 5 Kilogram (Kg) PT PPI di gula rafinasi. Soal distribusi gula juga urusan PT PPI. Ke produksi jual beli putus kasih ke PT PPI bayar, sudah selesai urusannya. Jadi sebenarnya dari keterangan kedua saksi ini apa yang menjadi tugasnya, dan apa yang dilakukan oleh PT PPI beli gula rafinasi dari klien kami ini, lebih menguntungkan dibanding membeli langsung kepada petani,” tegasnya.
Terkait Perum Bulog, sambungnya, di Agustus 2016, impor GKP. “Sebenarnya keterangan kedua saksi tadi lebih menerangkan, bahwa gula yang diimpor itu GKM. Kebutuhan gula di tahun 2016, berdasarkan datanya, 3 juta ton. Produksi gula dalam negeri dari pabrik gula berbasis tebu itu, cuma 2,4 juta ton. Jadi ada defisit (selisih) 600.000 ton. Solusinya apa? Harus membeli gula dari luar negeri karena di dalam negeri tidak memenuhi kebutuhan,” katanya.
“Nah, tinggal 2 (dua).cara yakni beli langsung GKP atau beli raw sugar (GKM) diolah jadi GKP. Diimpor itu GKM. Kenapa? Pertama, kalau beli GKP lebih mahal. Devisa lari ke luar negeri. Kedua, nilai tambah yang diimpor itu GKM, di dalam negeri diproses lagi ada pabrik dan ada karyawan. Menyejahterakan karyawan. Kemudian, transportasi. Transportasi itu banyak perusahaan yang mendatangkan nilai tambah. Jadi menghidupkan roda perekonomian ketika yang diimpor itu GKM,” paparnya.
Menurutnya, kalau yang diimpor GKP, nilai tambahnya berkurang. “Jadi lebih menguntungkan impor GKM daripada GKP,” ungkapnya.
“Nilai tambah untuk membayar karyawan dan transportasi,” terangnya.
Ia mengharapkan perkara ini tidak ada kerugian negara. “Kalau tidak ada kerugian negara, maka kliennya diharapkan bisa bebas, itu yang pertama,” harapnya.
Kedua, sambungnya, perkara ini tidak ada Mensrea (Miat Jahat). “Demi merah putih. Kliennya membantu negara karena dipanggil,” katanya.
“Karena negara lagi kesulitan dalam pemenuhan gula di dalam negeri butuh bantuan, klien kita mau bantu. Kalau klien kita tidak mau bantu, maka dampaknya akan ada masalah di kemudian hari,” ungkapnya.
Ia menyebutkan, keuntungan PT PPI membeli gula rafinasi dari perusahaan kliennya, beli di harga Rp9.000, dan dijual ke distributor oleh PT PPI Rp9.105 per Kg. “Paling keuntungannya Rp105 per Kg. Dikalikan 198 ribu ton impor gula, sudah berapa keuntungan yang didapat oleh PT PPI? Sekitar miliaran rupiah dapat keuntungan PT PPI,” tandasnya. (Murgap)