Pilipus Tarigan SH
Jakarta, Madina Line.Com – Advokat Pilipus Tarigan SH menanggapi serius tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang hingga kini belum dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk disahkan menjadi Undang-Undang (UU).
“Kalau terkait dengan RUU Perampasan Aset, sebaik apa pun RUU kalau pelaksanaannya tidak baik, maka tidak bisa jalan juga. Jadi ada namanya sistem hukum, ada struktur hukum dan ada namanya budaya hukum. Ketiganya harus berjalan satu dengan yang lain untuk saling mendukung,” ujar Pilipus Tarigan SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Jalan Bungur, Kemayoran, Rabu (14/05/2025).
“Nah, RUU Perampasan Aset ini tentu ini juga sudah menjadi satu kebutuhan juga. Tapi nanti juga tidak boleh kemudian setelah menjadi regulasi menjadi alat yang sewenang-wenang,” terangnya.
Menurutnya, jika nanti RUU Perampasan Aset setelah disahkan menjadi UU dijalankan dengan baik, semua budayanya sudah jalan, sistemnya jalan dan hukumnya sudah ada, baik untuk kepentingan yang namanya menyelamatkan kerugian negara. “Tapi jika nanti RUU Perampasan Aset ini menjadi belum siap secara budayanya, perang strukturnya belum siap, ini bisa juga melahirkan abuse of power (pengaruh kekuatan) yang juga berbahaya untuk jangan sampai lembaga-lembaga hukum ini terkait di dalam lembaga penyidikan dan penuntutan kemudian menjadi semacam debt collector (penagih). Bisa begitu dampaknya gitu lho,” ucapnya.
“Artinya, bagaimana yang penting ada rampasan, kemudian menggunakan regulasi yang ada dengan tidak sesuai filosofi spirit dari pada pembentukannya. Kemudian, asal tebas saja nanti kan. Kemudian, membuat gejolak ketidakstabilan yang juga membuat investasi menjadi kabur dari negara ini,” ungkapnya.
Karena apa, sambungnya, sekarang saja investor-investor asing yang menyerap tenaga kerja dan memberikan devisa kepada negara, sudah banyak dari 15 tahun lalu sudah pergi ke Thailand, ada yang ke Bangladesh,baru-baru ini, bahkan ada juga yang ke Kamboja. “Jadi bagaimana dengan iklim usaha nanti?” tanyanya.
“Kepakan sayap kupu-kupu di padang pasir sana bisa mempengaruhi suhu di amazon. Itu yang harus dipikirkan,” katanya.
Pilipus Tarigan SH dalan kesempatan ini juga menanggapi serius RUU Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah disahkan menjadi UU BUMN oleh DPR RI, Selasa (05/02/2025). “Sebenarnya, terkait dengan UU BUMN ada yang namanya Business Jugment Rule (BJR). Maksudnya itu, terkait dengan kebijakan yang kemudian karena ini usaha lalu ada kebijakan, sepanjang secara prosedural dan secara formil tidak melanggar, jangan dipandang sebagai suatu tindakan pidana,” paparnya.
“Maksudnya, di BUMN sendiri kan ada kebijakan atau bisnis dalam usaha, ada untung dan rugi. Tapi di dalam kebijakan itu, tidak melanggar aturan, jangan dipandang sebagau perbuatan tindak pidana,” ucapnya.
Menurutnya, pidana itu kan harus yang dipandang sebagai terakhir bukan kepidanaan yang diutamakan. “Kalau begitu nanti orang tidak berani membuat satu kebijakan karena takut kemudian akan terjadi kerugian dan nanti akan berdampak pidana,” tegasnya.
Padahal, imbuhnya, usaha itu resiko yang harus dihadapi ada untung dan ada rugi. “Pidana itu tidak harus yang utama di sana. Sepanjang apakah prosedur jalan atau tidak. Sesuai tidak, misal administrasi. Maka, diuji dulu di Tata Usaha Negara (TUN), oh bahwa ini secara ada penyimpangan, secara regulasi benar, misalkan. Dia tidak bisa dibawa ke pidana. Mungkin muncul perdata ketika dibawa ke TUN,” ucapnya.
“Nah, pidana itu terkait dengan Business Jugment Rule harus dilihat. Kecuali jelas-jelas Operasi Tangkap Tangan (OTT), baru namanya pidana. Kalau kebijakan-kebijakan, tidak akan berani Pemerintah Daerah (Pemda) dan BUMN bertindak melakukan sesuatu untuk usaha karena ada resiko rugi tadi yang dianggap sebuah tindak pidana,” ujarnya.
Dijelaskannya, tapi tidak perlu dibuat satu regulasi khusus, bahwa kemudian BUMN tidak bisa dibawa ke pidana. “Ini kan karena dampak struktur hukum tadi dan budayanya. Kemudian, memberikan rasa takut kepada jajaran pengurus BUMN itu sendiri, sehingga muncul perlindungan diri dari BUMN, “Kalau saya mau dijadikan pimpinan BUMN, harus dibuat regulasi, bahwa BUMN tidak bisa dibawa ke pidana”. Jadi saling memprotect (menjaga) diri. Ini negara tidak akan jalan,” katanya.
“BUMN seakan-akan akan memproteksi dirinya karena ketakutan akan dipidanakan dan akan dikriminalisasi,” jelasnya.
Dikatakannya, kalau di UU Pajak itu bisa dibawa ke ranah pidana. “Semua itu kan ada sanksi pidana. Tapi sanksi administrasi harus lebih didahulukan, bahwa secara administrasi benar-benar ada yang dilanggar tidak? Jangan sampai kebijakan yang kemudian berdampak kerugian dianggap sebagai harus didekatkan dengan tindak pidana. Harus dilihat ultimum remedium, pidana itu yang terakhir,” katanya.
“Jangan apa-apa dikaitkan dengan perbuatan tindak pidana. Orang khawatir dan nasib perusahaan bagaimana? Harus ada jaminan usaha itu juga, bahwa usaha mereka akan aman,” imbaunya.
Menurutnya, jangan ego sektor dipandang secara luas karena bisa merepotkan nanti dampaknya. “Karena investor asing sudah pada lari ke Singapura, sudah lama itu. Seperti lari le Vietnam, Kamboja, Laos dan ke Bangladesh,” ucapnya.
“Menurut saya, RUU BUMN itu tidak perlu lah dijadikan UU BUMN. Jaminan kepada direksi BUMN cukup dengan regulasi yang sudah ada. Akan tetapi penegakan hukum, baik dari kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kejaksaan, harus melihat, bahwa usaha BUMN adalah Business Jugment Rule, kerugian usaha atau penyelewengan, karena ada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Nomor 31 tahun 1999 untuk merangkul itu,” paparnya.
Dikatakannya, kalau bisnis dagang itu sudah melanggar sebagaimana yang ada di Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor Nomor 31 tahun 1999 baru lah dibawa ke ranah Tipikor. “Misalkan soal pengadaan barang dan jasa, harus ada lelang. Itu harus dibentuk panitianya dan harus independen, dan transparan. Misalkan, pembelian harga atas dan harga bawahnya jelas. Terus dibeli di antara harga atas dan harga bawah. Penentuan harga atau selisihnya berapa. Jadi tidak bisa langsung itu dibawa ke ranah pidana sepanjang secara regulasi dan administrasi prosedur sudah memnuhi. Sekalipun ada kerugian yang dilahirkan dari pada peristiwa itu. Dampaknya kan tidak harus untung,” jelasnya.
“Jadi harus dilihat dari Business Jugment Rule,” katanya.
Ia menilai, dampak dari UU BUMN ini belum ada. “Tapi kejaksaan sudah berapa ratus triliun rupiah yang bisa mereka sita dikembalikan kerugian negara karena menggunakan regulasi UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sudah ada. Mungkin KPK kalah dengan kejaksaan dalam mengungkap kerugian negara itu. Karena yang diungkap oleh kejaksaan ini kan ada yang nilainya hingga triliun rupiah dari pelaku Tipikor. Jadi kalau ada pelaku dugaan Tipikor baik itu dari korporasi maupun dari BUMN cukup menggunakan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor,” terang Pilipus Tarigan SH yang saat ini sibuk mengurusi kantornya dan kadang ia bertani dan berkolam dan sibuk sidang di PN Jakpus mewakili perusahaan multi finance selaku pengacara. (Murgap)