Kuasa Hukum terdakwa Alexander Victor Worotikan dan Punov Apituley, David Pella SH MH (pertama dari kanan) foto bersama anggota tim Kuasa Hukumnya Robert Paruhum Siahaan SH (tengah) dan Jaya Tambunan SH, di ruang Kusumah Atmaja 4, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jum’at (02/05/2025). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan dugaan Tipikor pada perkara PT Sucofindo Indonesia dengan terdakwa Alexander Victor Worotikan dan Punov Apituley di ruang Kusumah Atmaja 4, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jum’at (02/05/2025).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada sidang kali ini menghadirkan saksi Lilik Darwati Setiadji selaku Direktur Utsma (Dirut) PT Luna Daya Sejahtera (LDS) dan pemilik LDS Law Firm untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, JPU dan tim Kuasa Hukum dari terdakwa. Kuasa Hukum terdakwa Alexander Victor Worotikan dan Punov Apituley, David Pella SH MH mengatakan, secara prinsip hanya ingin memberikan semacam warning atau peringatan terhadap institusi peradilan.
“Tadi saudara saksi Lilik Darwati Setiadji mengatakan, bahwa PT Luna tidak mempunyai aktivitas apa-apa, itu yang pertama. Kedua, pengambilalihan JSI yang merupakan perusahaan Penyertaan Modal Asing (PMA) menjadi Penyertaan Modal Dalam Negeri (PMDN) dan menjadi PT Luna itu modal yang ditempatkan Rp5 miliar. Lalu saksi Lilik sendri diduga menerima uang dari PT Luna Rp6 miliar untuk biaya perkawinan anaknya Lintang Utami. Tapi saksi Lilik mengatakan, bahwa PT Luna adalah perusahaan yang tidak aktif. PT Luna masih punya hutang banyak,” ujar David Pella SH MH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sdang ini.
Ia mengatakan, saksi Lilik juga sebagai seorang konsultan hukum. “Dia punya LDS Law Firm. Artinya, bahwa sebenarnya, saksi Lilik tahu atau tidak tahu mengenai masalah ini secara dari sisi azaz fiktif hukum, bahwa itu tidak bisa dilakukan penyangkalan karena seluruh perbuatan hukum itu terjadi di lingkungan saksi. Saksi adalah Dirut, uang dari PT Luna kepada rekening perkawinan anaknya lalu dia mengatakan, PT tidak ada aktivitas,” ungkapnya.
Maka, sambungnya, ini sebenarnya sudah melakukan satu pembohongan. “Saksi Lilik diduga sudah membohongi perjalanan. Jadi pernyataan saksi Lilik ini sangat kontradiktif antara yang satu dan yang lain,” paparnya.
“Saksi Lilik di muka persidangan mengatakan, bahwa ia memberikan pinjaman Rp9 miliar kepada PT Lintang dan saksi Lilik mengambil uang secara pelan-pelan dari situ Rp5 miliar. Saksi Lilik diduga terima uang juga dari PT Luna Rp6 miliar. Terus saksi Lilik mengatakan, tidak ada pekerjaan di PT Luna,” jelasnya.
Ia berharap, bahwa majelis hakim bisa melihat jalannya pernyataan keterangan saksi Lilik di depan persidangan dan jangan lupa, perjanjian jual beli saham yang dilakukan itu menafikan atau meminggirkan Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) Nomor 40 tahun 2007 khususnya Pasal 97 Ayat 1 tidak ada undangan kepada para calon pemegang saham termasuk juga di dalam peralihan saham itu tidak ada penyerahan terhadap seluruh aset-aset dari hasil transaksi jual beli saham. “Walaupun jual beli saham itu sendiri secara materil. Ada 3 (tiga) lembar saham, yang diisi hanya satu lembar dan yang satu lembar lagi hanya di atasnya saja hanya baris pertama kosong, lalu ada tanda tangan di sebuah kertas tersendiri. Itu saja menunjukan, bahwa penandatanganan ini dilakukan dengan cacat hukum,” tegasnya.
Artinya, imbuhnya, ada kondisi paksa yang dihadapi oleh terdakwa Alexander Victor Worotikan, Ceri Onggorwalu dan Punov Apituley, sehingga mereka menandatangani kertas kosong. “Lucunya lagi, transaksi ini atas perusahaan yang memegang saham hampir perputaran uang itu sekitar Rp3,2 triliun tapi hanya dilakukan dengan Rp1000. Apa artinya? Artinya, bahwa ada pihak yang ingin melepaskan diri dari tanggungjawab perdata terhadap hutang kepada pihak ketiga. Siapa itu? Pemegang saham yang lama,” ungkapnya.
“Siapa pemegang saham yang lama? Keluarga Basuki Setiadji,” ucapnya.
Dikatakannya, Akta Jual Beli Saham itu dari sisi dilakukan di bawah tangan, itu cacat hukum. “Dalam pandangan kami, itu cacat hukum. Itu kesaksian. Mereka diintimidasi dan memang itu kalau dilihat dari sisi formal dan dari sisi UU PT Nomor 40 tahun 2007 itu cacat hukum dan tidak bisa dipakai,” jelasnya.
“Walaupun secara perdata, PN Jakarta Timur (Jaktim) sudah memutuskan itu dan menyatakan, bahwa perjanjian itu sah. Walaupun seluruh bukti yang ada di pengadilan ditampilkan foto copy tidak ada bukti asli yang ditampilkan oleh pihak keluarga Basuki Setiadji. Makanya sebenarnya, itu akan dilaporkan kepada hakim pengawas. Tapi sampai ke Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI), inchraat (berkekuatan hukum tetap),” paparnya.
Ia mengkhawatirkan, bahwa karena kasus ini terjadi sebelum terjadinya pihak dari MA RI ada yang ditangkap karena perkara dugaan terima suap Rp1 triliun, baru-baru ini, ia juga punya keraguan, ada indikasi ke arah sana. “Saya mempertanyakan, masa bukti foto copy bisa diterima sama pihak pengadilan. Tidak pernah dikasih bukti asli,” jelasnya.
Ia menerangkan, pada saat pembuatan Akta Perpindahan Saham, saudara Grace ini kan sudah meninggal dunia. “Otomatis dia punya ahli waris. Tetapi yang luar biasa, Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) terjadi tanggal 11 Desember. Surat keterangan kematian, Akta resmi sebagai pijakan untuk pembuatan Akta waris itu baru terjadi tanggal 18 November. Artinya, proses ini cacat hukum. Tapi nyatanya, di PN Jaktim, bukti itu diterima,” ungkapnya.
Ia menilai, ada wilayah gelap atau darkside yang tidak bisa dipegang atau tidak bisa diduga. “Tapi kondisi ini perlu menjadi perhatian baik oleh hakim pengawas daerah, hakim tinggi pengawas daerah maupun hakim MA RI,” tuturnya.
“Kita berharap, bahwa dari seluruh saksi ahli yang ada ini dan saksi-saksi dari perkara yang berjalan ini, itu dapat kami jadikan sebagai novum (barang bukti baru) untuk kami ajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan yang sudah inchraat di PN Jaktim,” katanya.
Dijelaskannya, MA RI pun juga sudah menyatakan, bahwa seluruh proses yang ada di juris fraksi baik di tingkat pertama dan tingkat kedua, juris menyatakan, bahwa ini dapat diterima dengan pertimbangan hukum dan saksi yang ada saat ini, maka itu akan dijadikan sebagai bukti baru atau novum untuk diajukan dalam PK. “Keterangan saksi Lilik buat klien kami (terdakwa Alexander Victor Worotikan) semakin gelap dan semakin kabur. Tetapi terindikasi ingin lari dari tanggung jawab,” terangnya.
Ia menyebut pemilik perusahaan PT Lintang Daya Selaras dan PT Luna Daya Sejahtera ini satu orang yakni suami dari saksi Lilik Darwati Setiadji yakni Basuki Setiadji, itu yang pertama. “Kedua, pemilik sahamnya adalah Luna Puspita, Lintang Utami dan Kurniawan Surya. Jadi mereka ini satu keluarga besar yang menguasai dua perusahaan besar untuk melakukan transaksi. Begitu ada masalah dalam tempo 2 (dua) minggu, langsung seluruhnya di over alih kepada orang yang bukan karyawan yakni terdakwa Punov Apituley, Ceri dan Alexander Victor Worotikan yang sama sekali tidak terlibat langsung dalam transaksi,” ujarnya.
Dikatakannya, keluarga Setiadji memegang perusahaan tersebut selama dua tahun. “Begitu terjadi masalah, langsung buru-buru dilepas. Artinya, mereka menghindari atau sengaja tidak ingin ketahuan. Ini ada yang namanya grand desain menghilangkan diri. Kalau ingin tanya cara bagaimana menghilangkan diri? Tanya kepada keluarga Setiadji. Basuki Setiadji tidak masuk di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidik dalam perkara ini. Hebat kan,” tuturnya.
“Kita lagi coba memahami suatu grand desain bagaimana menghilangkan diri dari tanggung jawab hukum, maka namanya itu Basuki Setiadji Family Theory,” katanya.
Lilik Darwati Setiadji selaku Dirut PT Luna Daya Sejahtera dan pemilik LDS Law Firm diperiksa sebagai saksi di ruang Kusumah Atmaja 4, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jum’at (02/05/2025). (Foto : Murgap Harahap)
Kuasa Hukum terdakwa Alexander Victor Worotikan dan Punov Apituley,
Robert Paruhum Siahaan SH menambahkan, Dirut PT Luna Daya Sejahtera berhasil loloskan diri dari dugaan Tipikor PT Sucofindo Indonesia walaupun ternyata yang tidak membayar adalah PT Luna Daya Sejahtera. “Padahal, menurut UU PT Nomor 40 tahun 2007 Pasal 97 Ayat 1 mengatakan, Dirut bertanggung jawab. Bukan PT Luna yang bertanggung jawab kepada PT ini,” ujar Robert Paruhum Siahaan SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usa acara sidang ini.
“Saksi yang hadir hari ini adalah Dirut. Bagaimana mungkin Dirut mengatakan, “Saya tidak tahu ini perusahaan. Yang tahu itu adalah Alexander Victor Worotikan”. Klien kami (terdakwa Alexander Victor Worotikan) bukan pengurus dan bukan pegawai pada saat tempus delicti (delik waktu). Pada saat ini terjadi, terdakwa Alexander Victor Worotikan bukan karyawan dan bukan pengurus PT. Bagaimana seorang Dirut mengatakan, “Saya tidak tahu kegiatan perusahaan ini PT. Tapi yang tahu itu adalah Alexander Victor Worotikan. Nah itu yang paling mustahil,” katanya.
Dikatakannya, yang paling kacau lagi, penegak hukum menerima bulat-bulat pernyataan ini. “Timbul tanda tanya, sebulat apa mereka menerimanya? Sehingga para penegak hukum ini bisa menerima omongan lisannya Dirut ini? Apakah Dirut ini diduga sudah menyetor?” tanyanya.
“Ini yang paling kita sayangkan, bahwa mengapa para penegak hukum ini tidak berpedoman kepada UU PT Nomor 40 tahun 2007? Kenapa berpedoman kepada ucapan lisan seorang Dirut? Makanya, tadi saksi mengatakan, bahwa terdakwa Alexander Victor Worotikan lebih mengetahui daripada saksi,” ucapnya.
Makanya, tadi ia bertanya, dasarnya apa. “Saksi Lilik menjawab, bahwa “Saya menemukan ada WhatsApp (WA) dan adai ini”. Saya tanya mana lebih kuat ketentuan Pasal 97 Ayat 1 UU PT Nomor 40 tahun 2007 daripada WA yang ditunjukan oleh saksi? Pasal 97 Ayat 1 UU PT Nomor 40 tahun 2007 mengatakan, Dirut bertanggung jawab terhadap perusahaan. Bukan WA-WA sama yang lainnya ini bertanggung kepada perusahaan,” urainya.
“Jadi maksud saya, hal itu tidak masuk di akal bagi penegak hukum. Hanya dukun yang bisa percaya kalau UU PT Nomor 40 tahun 2007 dikesampingkan dipakai mengenai apa yang dilihat mata di lapangan,” terangnya.
Ia sebagai penegak hukum, tidak mau mendengar omongan dari keterangan saksi Lilik tidak tahu. “Kita hanya tahu, UU PT Nomor 40 tahun 2007 Pasal 97 Ayat 1 mengatakan, Dirut bertanggung jawab penuh atas perusahaan. Oleh sebab itu, kalau penegak hukum di Indonesia ini tidak mengetahui, bahwa Dirut sebagai penanggung jawab penuh atas sebuah perusahaan, maka kiamat lah hukum di Indonesia ini,” katanya.
Dalam kasus ini, baginya adalah pengalihan saham dan jabatan dari saksi Lilik kepada terdakwa Alexander Victor Worotikan banyak cacatnya. “Jadi cacat ini akan kita ungkapkan semuanya. Akan kita ungkapkan semuanya ini di dalam Nota Pledoi (Pembelaan) kita,” terangnya.
“Terungkap di dalam perkara ini, bahwa saksi Lilik bilang, bahwa PT itu tidak punya aktivitas. Tapi begitu kita buka jejak aktivitasnya tiap tahun, ada family gathering ke luar negeri, ada sewa kantor Rp40 juta sebulan, ada pegawai 16 orang. Saya lihat daftar gajinya itu ada kurang lebih Rp100 juta lebih gajinya per bulan di PT LDS. Saksi Lilik tidak mengakui PT Luna tapi PT LDS,” ungkapnya.
Dijelaskannya, tiap bulan mereka mengeluarkan uang sekian banyak ratusan juta rupiah bisa mengatakan, tidak ada aktivitas. “Itu yang akan kita catat dalam keterangan saksi Lilik ini,” paparnya.
“Sebab pada saat kejahatan ini terjadi, pemilik kedua perusahaan ini yakni PT Lintang Daya Selaras dan PT Luna Daya Sejahtera ini pemiliknya adalah Lilik Darwati Setiadji dan suaminya Basuki Setiadji dan ketiga orang anaknya. Itu lah pemilik plus Almarhumah (Almh) Grace,” ucapnya.
Setelah (Almh) Grace meninggal dunia, sambungnya, mereka semua kabur, sehingga pemilik yang lama satu pun sudah tidak ada lagi di dalam kedua PT ini. (Murgap)