Kuasa Hukum terdakwa Hakim PN Surabaya Heru Hanindyo, Farih Romdoni Putra SH (pertama dari kiri) dan Basuki SH MM MH saat jumpa pers di luar ruang Prof Dr Kusumah Atmadja SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Selasa (22/04/2025). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com –
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan terkait dugaan Tipikor pada perkara kasus dugaan suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur dengan terdakwa Hakim PN Surabaya Heru Hanindyo, Erintuah Damanik dan Mangapul di ruang Prof Dr Kusumah Atmadja SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Selasa (22/04/2025).
Agenda sidang kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan tuntutan kepada terdakwa Hakim PN Surabaya Heru Hanindyo, Erintuah Damanik dan Mangapul. Terdakwa Heru Hanindyo, dituntut hukuman 12 tahun kurungan penjara paling berat dibanding dengan 2 (dua) terdakwa lainnya yakni Erintuah Damanik dan Mangapul yang dituntut hukuman masing-masing 9 tahun hukuman kurungan penjara.
Terdakwa Heru Hanindyo dituntut hukuman tinggi karena dinilai paling tidak kooperatif dibanding dua rekannya yang juga menjadi terdakwa dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi yakni Erintuah Damanik dan Mangapul. Jaksa menilai terdakwa Heru Hanindyo tidak menunjukan sikap kooperatif selama proses hukum dan tidak mengakui perbuatannya.
Selain itu, perbuatannya disebut menciderai kepercayaan publik terhadap institusi peradilan. “Terdakwa tidak bersikap kooperatif dan tidak mengakui perbuatannya,” kata jaksa dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Selasa (22/04/2025).
Terdakwa Heru Hanindyo juga dituntut untuk membayar denda sebesar Rp750 juta, dengan ketentuan subsider 6 (enam) bulan penjara, jika tidak dibayar. Satu-satunya hal yang meringankan tuntutan terhadap terdakwa Heru Hanindyo adalah karena ia belum pernah dihukum sebelumnya.
Dua hakim lainnya, terdakwa Erintuah Damanik dan Mangapul, masing-masing dituntut pidana kurungan penjara 9 tahun dengan membayar uang denda Rp750 juta subsider enam bulan kurungan penjara. Keduanya juga menjadi bagian dari majelis hakim yang memvonis bebas Gregorius Ronald Tannur.
Ketiga hakim tersebut dijerat dengan Pasal 5 ayat (2) Juncto (Jo) Pasal 6 ayat (2) Jo Pasal 12 huruf e Jo Pasal 12B Jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam kasus ini, mereka diduga menerima suap untuk menjatuhkan putusan bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur dalam kasus penganiayaan terhadap Dini Sera Afriyanti yang berujung kematian.
Kuasa Hukum terdakwa Hakim PN Surabaya Heru Hanindyo, Farih Romdoni Putra SH MH mengatakan, terdakwa Erintuah Damanik diduga menerima uang suap lebih banyak. “Terdakwa Erintuah Damanik menerima 100 ribu Dollar Singapura dan terdakwa Mangapul menerima 36.000 Dollar Singapura, dan tuntutan hukuman penjara dari jaksa, sama 9 tahun,” ujar Farih Romdoni Putra SH MH kepada wartawan saat jumpa pers ketika ditemui usai acara sidang ini.
“Pihak yang menemui pengacara Gregorius Ronald Tanur, Lisa Rahmat SH adalah terdakwa Erintuah Damanik dan terdakwa Mangapul diduga dapat uang suapnya dari terdakwa Erintuah Damanik, sama dipukul rata dengan hukuman 9 tahun kurungan penjara,” kata Farih Romdoni Putra SH MH dari Kantor Law Firm ARSB yang beralamat di Surabaya, Jawa Timur (Jatim) ini.
Dikatakannya, hal lain yang perlu dikritisi dari tuntutan jaksa, bahkan perhiasan ibu dari terdakwa Heru Hanindyo itu warisan dan sudah meninggal dunia. “Disita dan dirampas oleh negara. Coba bayangkan. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan kasus suap ini,” terangnya.
“Bahkan jauh 10 tahun yang lalu disita dan dirampas untuk negara. Kita bisa menilai sendiri lah tuntutan ini. Yang pastinya yang bisa saya terangkan adalah ada 2 (dua) hal di sini, memang terdakwa Heru Hanindyo memang tidak pernah menerima uang dari pengacara Lisa Rahmat SH secara langsung dan tidak pernah menerima uang dari terdakwa Erintuah Damanik yang bagi-bagi uang pun itu tidak ada,” jelasnya.
Dikatakannya, lewat Nota Pembelaan atau Pledoi akan menunjukan bukti, bahwa memang dugaan bagi-bagi uang itu tidak pernah ada karena memang terdakwa Heru Hanindyo memang tidak pernah ada di lokasi ketika diduga ada bagi-bagi uang tersebut. “Jadi memang ada perbedaan sikap dari ketiga terdakwa. Terdakwa Erintuah Damanik dan Mangapul mengakui perbuatannya di muka persidangan. Tapi terdakwa Heru Hanindyo bukan tidak mengakui ya berbeda antara tidak mengakui dan tidak menerima. Jangan dipelintir. Terdakwa Heru Hanindyo memang tidak menerima uang baik dari pengacara Gregorius Ronald Tannur, Lisa Rahmat SH maupun tidak menerima dari terdakwa Erintuah Damanik ketika ada dugaan bagi-bagi uang. Kalau dulu pada saat sidang ada dugaan bagi-bagi uang bertiga, ketika kita tanya kepada terdakwa Erintuah Damanik siapa yang bagi-bagi semuanya. Tidak mungkin. Tidak mungkin kan semua menghitung uang dan itu tidak masuk akal,” paparnya.
“Nanti kita bisa buktikan di pembacaan Nota Pledoi kami soal bagi-bagi uang itu terdakwa Heru Hanindyo tidak berada di Surabaya, ” ungkapnya.
Dijelaskannya, memang tidak pernah ada komunikasi antara terdakwa Heru Hanindyo dan Lisa Rahmat SH pun pada saat di persidangan, terdakwa Heru Hanindyo pernah bilang ke Lisa Rahmat SH, jangan pernah main-main sama kasus Gregorius Ronald Tannur. “Jangan pernah kasih apa pun dan kasih janji apa pun sama saya dan sama hakim lainnya. Di keterangan Lisa Rahmat SH mengakui, bahwa terdakwa Heru Hanindyo pernah bilang bicara seperti itu. Memang terdakwa Heru Hanindyo tidak pernah menerima uang dari perkara Gregorius Ronald Tannur,” pungkasnya.
“Melihat perkara kasus Gregorius Ronald Tannur, banyak sekali kejanggalan-kejanggalan dalam kasus tersebut. Salah satu kejanggalannya adalah yang kalian lihat viral di media sosial (medsos) soal adanya perlindasan maju mundur mobil, ketika kita tanyakan semua saksi yang hadir di dalam muka persidangan, tidak ada satu pun itu dihadirkan di muka persidangan. Itu adalah satu keanehan dan dokter yang periksa langsung korban Dini Sera Afriyanti pada saat itu sudah diminta oleh hakim agar hadir secara langsung di muka persidangan dan bahkan oleh jaksa, dokter tersebut tidak dihadirkan,” katanya.
Menurutnya, dari kasus Gregorius Ronald Tannur itu sendiri, hakim memutus tidak berdasarkan dari viralnya berita. “Hakim itu tidak memutus berdasarkan karena kasus ini viral lalu kemudian dihukum, tidak. Hakim itu memutus berdasarkan apa yang ada di muka persidangan dan bahkan yang kalian saksikan di medsos yang viral itu tidak ada satu pun video itu ditunjukan di muka persidangan soal maju dan mundurnya perlindasan mobil. Maka, terdakwa Heru Hanindyo memutus perkara tersebut memang karena ragu karena tidak pernah ada bukti Camera Control Television (CCTV) untuk lift memang tidak pernah ada. Itu balik ke flash back (waktu lampau). Jadi memang terdakwa Heru Hanindyo ketika memutus perkara Gregorius Ronald Tannur memang tidak ada buktinya dan tidak pernah cukup bukti untuk menghukum Gregorius Ronald Tannur saat itu,” terangnya.
“Baru tahu ada video viral yang beredar di medsos ketika putusan. Setelah putusan hakim, baru tahu video tersebut viral. Semua hakim ketika di muka persidangan, semua hakim tahu video tersebut viral semuanya adanya di medsos. Tidak ada di persidangan,” paparnya.
Kuasa Hukum terdakwa Hakim PN Surabaya Heru Hanindyo, Basuki SH MM MH menambahkan, ada sertifikat tanah di Safe Deposito Box (SDB) milik terdakwa Heru Hanindyo. “Sertifikat itu adalah kumpulan dari beberapa dokumen dan itu tadi juga ada dokumen dan sertifikat itu tanah yang ada di Cianjur, Jawa Barat (Jabar) ada 2 (dua). Kemudian, ada sertifikat tanah yang ada di Bali. Kemudian, ada 1 (satu) lagi sertifikat tanah di Tangerang dan itu nyatanya hasil dari jerih payah orangtua terdakwa Heru Hanindyo. Jadi di dalam tuntutan jaksa, itu semua dirampas untuk negara,” ujar Basuki SH MM MH kepada wartawan saat jumpa pers ketika ditemui usai acara sidang ini.
“Kurang adilnya dalam tuntutan jaksa kepada kliennya,” katanya.
Namun, sambungnya, apa pun itu adalah haknya JPU untuk menyatakan hal tersebut. “Kemudian, disebutkan ada emas. Supaya teman-teman media tahu dan informasi ini supaya berimbang, bahwa emas tersebut dibeli oleh ibunya terdakwa Heru Hanindyo, itu karena di dalam plastik, diselipkan. Emas itu ada yang beli di Grogol, ada yang beli di Kalimantan, ada yang dibeli di Papua, di saat itu ibunya terdakwa Heru Hanindyo mendampingi suaminya selaku seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas di daerah itu. Jadi hal ini juga sewenang-wenang. Haknya orang lain tanpa ada hubungannya dengan perkara yang ada saat ini disikat begitu saja,” katanya.
Menurutnya, hal tersebut merupakan suatu pelajaran bagi semua pihak. “Mungkin nanti penegakan hukum di republik ini ke depan, dasarnya fakta persidangan. Apa pun yang terjadi di persidangan bukan hanya sesuai dengan kemauannya dan terkait SDB 3 (tiga) itu kalau teman – teman media tahu, SDB itu bukan barang mewah. Karena sewanya itu hanya Rp800 ribu per tahun. SDB itu dipakai juga untuk menyimpan ijazah dan menyimpan hal-hal lain,” urainya.
“Terkait di dalam SDB itu ada mata uang asing seperti Dollar Singapura, Yen dan Riyal seperti yang dibacakan oleh jaksa dalam tuntutannya, itu adalah di fakta persidangan, kami sudah gali itu adalah sisa perjalanan beliau tugas. Orangtuanya jalan ke Eropa, orangtuanya jalankan ibadah umrah dan lain sebagainya. Jadi apa yang disampaikan di dalam tuntutan jaksa, tidak ada hubungan dengan perkara vonis bebas Gregorius Ronald Tannur,” tandasnya. (Murgap)