Erwan Suryadi SH
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan perkara dugaan Tipikor pada pengadaan 1,1 juta set lebih alat pelindung diri (APD) Corona Virus Disease-19 (Covid-19) dengan terdakwa eks Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) Budi Sylvana dan sejumlah pengusaha yang merugikan negara Rp319.691.374.183,06 (Rp319,6 miliar) di ruang Prof Dr Kusumah Atmaja SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jum’at (10/04/2025).
Adapun sejumlah pengusaha yang terlibat itu adalah Direktur Utama (Dirut) PT Energi Kita Indonesia (EKI) dan Dirut PT Permana Putra Mandiri (PT PPM) Ahmad Taufik dan Satrio Wibowo. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dakwaannya menyebut kerugian negara itu merujuk pada hasil perhitungan kerugian negara yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia (BPKP RI).
“Mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp319.691.374.183,06,” kata Jaksa KPK di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Selasa (04/02/2025).
Dalam dakwaannya, jaksa menyebut perbuatan ini dilakukan Budi, Satrio, dan Taufik bersama-sama Komisaris Utama (Komut) PT PPM Siti Fatimah Az Zahra, Legal atau Konsultan Hukum PT EKI Isdar Yusuf SH, dan Sekretaris Utama (Sestama) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Harmensyah pada kurun 2019 hingga Mei 2020. Dalam pengadaan itu, Budi duduk sebagai PPK Kemenkes RI, sementara Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dijabat Harmensyah.
Adapun sumber dana pengadaan APD ini berasal dari Dana Siap Pakai (DSP) BNPB Tahun 2020. Perkara ini berawal dari kondisi pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia pada 2020.
Pada 29 Februari 2020, Kepala BNPB yang saat itu dijabat Almarhum (Alm) Doni Monardo menandatangani Keputusan Kepala BNPB tentang Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia. Saat itu, terdapat sejumlah perusahaan di Kawasan Berikat Bogor dan Bandung, Jawa Barat (Jabar), yang memproduksi APD merek BOHO.
Agenda sidang hari ini, jaksa menghadirkan saksi Isdar Yusuf SH selaku Konsultan Hukum atau Legal PT EKI untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, jaksa dan tim Kuasa Hukum dari ketiga terdakwa. Dalam keterangan saksi Isdar Yusuf SH di muka persidangan, terdakwa Budi Sylvana pelit ketika ditagih untuk membayar kepada pihak supplier (pemasok) APD yang sudah dipesan ketika rapat antara Kemenkes RI, BNPB dan pihak PT EKI.
Kuasa Hukum terdakwa PPK Kemenkes RI Budi Sylvana, Erwan Suryadi SH mengatakan, keterangan saksi Isdar Yusuf SH selaku Legal PT EKI di muka persidangan yang menyebut kliennya pelit itu, mendukung kliennya. “Dalam arti gambaran, bahwa dianggap melakukan pembayaran tanpa mempertimbangkan dan segala macam itu semakin tidak terbukti ke arah sana,” ujar Erwan Suryadi SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Dikatakannya, alasan kliennya tidak mau membayar APD kepada PT EKI dalam risalah rapat pada saat rapat kliennya dengan pihak BNPB dan Kemenkes RI serta PT EKI walaupun sudah ada kontrak dengan kliennya, karena faktor prudent (menjaga kehati-hatian) dalam hal seperti ini. “Butuh ada keyakinan dan kepastian dari tim yang lain, bahwa untuk pembayaran itu safe (aman),” ungkap Erwan Suryadi SH dari kantor law firm Lex Luminis ini.
Dalam arti, sambungnya, di sini juga sebenarnya sudah ada ketentuan yang menyatakan, bahwa pembayaran dapat dilakukan terlebih dahulu, dan harga final nanti setelah dilakukan audit. “Walaupun sudah ada ketentuan itu tapi klien saya tetap berhati-hati, tidak gegabah dalam melakukan pembayaran,” ungkapnya.
Dijelaskannya, akhirnya kliennya membayar juga karena ada desakan dari Sekretaris Utama (Sestama) BNPB Harmensyah kepada kliennya. “Dalam arti, supplier juga butuh dana operasional. Jadi memang ada timbal balik lah dan klien kami juga saat itu tetap melakukan negosiasi harga dan terus melakukan negosiasi harga dan harga terakhir Rp300 ribu. Jadi tetap klien saya (terdakwa Budi Sylvana) melakukan apa yang tetap akan dia lakukan,” terangnya.
Ia menilai keterangan saksi Isdar Yusuf SH dalam situasi tadi sedikit mendukung bagi kliennya untuk mengetahui kondisi saat itu, bahwa kliennya cukup berhati-hati dalam melakukan pembayaran. “Klien saya bayarnya melalui transfer dan pada waktu itu langsung dibuat kontraknya dan pemesanannya dibuatkan juga karena memang ada kewajiban membayar Pemerintah RI juga,” tandasnya. (Murgap)