Erwan Suryadi SH
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan dugaan Tipikor pada perkara kasus dugaan Tipikor pengadaan 1,1 juta set lebih alat pelindung diri (APD) Corona Virus Disease-19 (Covid-19) dengan terdakwa eks Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) Budi Sylvana dan sejumlah pengusaha yang merugikan negara Rp319.691.374.183,06 (Rp319,6 miliar) di ruang Wirjono Projodikoro 2, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Senin (17/03/2025).
Adapun sejumlah pengusaha yang terlibat itu adalah Direktur Utama (Dirut) PT Energi Kita Indonesia (EKI) dan Dirut PT Permana Putra Mandiri (PT PPM) Ahmad Taufik dan Satrio Wibowo. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dakwaannya menyebut kerugian negara itu merujuk pada hasil perhitungan kerugian negara yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia (BPKP RI).
“Mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp319.691.374.183,06,” kata Jaksa KPK di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Selasa (04/02/2025).
Dalam dakwaannya, jaksa menyebut perbuatan ini dilakukan Budi, Satrio, dan Taufik bersama-sama Komisaris Utama (Komut) PT PPM Siti Fatimah Az Zahra, legal PT EKI Isdar Yusuf, dan Sekretaris Utama (Sestama) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Harmensyah pada kurun 2019 hingga Mei 2020. Dalam pengadaan itu, Budi duduk sebagai PPK Kemenkes RI, sementara Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dijabat Harmensyah.
Adapun sumber dana pengadaan APD ini berasal dari Dana Siap Pakai (DSP) BNPB Tahun 2020. Perkara ini berawal dari kondisi pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia pada 2020.
Pada 29 Februari 2020, Kepala BNPB yang saat itu dijabat Almarhum (Alm) Doni Monardo menandatangani Keputusan Kepala BNPB tentang Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia. Saat itu, terdapat sejumlah perusahaan di Kawasan Berikat Bogor dan Bandung, Jawa Barat (Jabar), yang memproduksi APD merek BOHO.
Agenda sidang hari ini, jaksa menghadirkan saksi Sestama BNPB Harmensyah untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, jaksa dan tim Kuasa Hukum dari ketiga terdakwa. Kuasa Hukum terdakwa PPK Kemenkes RI Budi Sylvana, Erwan Suryadi SH mengatakan, hal penting yang diperoleh dari sidang tanggal 17 Maret 2025 atas kesaksian Harmensyah selaku Sestama BNPB periode 2019 hingga 2021 mengakui, bahwa Sestama memimpin rapat pada tanggal 24 dan 26 Maret 2020 untuk negosiasi harga dengan penyedia dan menetapkan harga USD50 per set, sebagai acuan harga awal yang wajar pada waktu itu.
“Namun, harga tersebut belum merupakan harga final, karena penyedia wajib masih harus menyampaikan komponen harga dan perbandingan harga untuk kemudian dilakukan audit oleh BPKP RI guna menetapkan harga final,” ujar Erwan Suryadi SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Dikatakannya, Sestama BNPB Harmensyah mengakui memerintahkan dan menekan PPK pada tanggal 28 Maret 2020 untuk melakukan pembayaran kepada penyedia atas 170.000 set APD yang telah diambil dan didistribusikan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). “Tadi di persidangan juga sudah dijelaskan oleh klien saya (terdakwa Budi Sylvana) sudah lama mengenal saksi Sestama BNPB Harmensyah. Keterangan saksi Sestama Harmensyah di muka persidangan mengatakan lupa dan tidak tahu. Tapi keterangan saksi-saksi lain di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) bertolak belakang dengan keterangan saksi Sestama BNPB Harmensyah. Jadi itu kan bisa diverifikasi dari penyidik,” ungkap Erwan Suryadi SH dari kantor law firm Lex Luminis ini.
Menurutnya, saksi Sestama BNPB Harmensyah berusaha menampilkan posisinya seolah-olah banyak tidak tahu dan Sestama BNPB Harmensyah hanya di ujung-ujung saja tidak dikaitkan, padahal perannya penting sekali. “Di satu sisi saksi Sestama BNPB Harmensyah mengarahkan itu BPKP RI. Bahkan disindir baik oleh jaksa dan hakim, apa BPKP RI semua. Karena seharusnya BPKP RI tapi faktanya yang melakukan adalah saksi Sestama BNPB Harmensyah,” ungkapnya.
“Ketika saya bertanya, jawaban saksi Sestama BNPB Harmensyah tidak tahu. Maka tadi saya sempat bertanya kepada saksi Sestama BNPB Harmensyah terkait Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) Sestama mana yang membolehkan dan mempunyai wewenang untuk melakukan negosiasi dan melakukan penetapan harganya. Di mana wewenangnya?” tanyanya.
Artinya, sambungnya, pihaknya ingin mengarah kepada Sestama BNPB Harmensyah juga melanggar wewenang di luar wewenangnya dia. “Cuma di sisi lain, apa yang harusnya tugasnya Sestama BNPB Harmensyah, langsung ke PPK. Tapi PPK tidak dikasih kesempatan itu tapi dilakukan oleh dia,” jelasnya.
Ia mengatakan, justru saksi Sestama BNPB Harmensyah yang mengarahkan tanggungjawabnya ke PPK. “Hakim juga sudah bisa melihat jalannya peristiwa tersebut ada tanggung jawab dia yang harus dia ambil. Tidak bisa semua dikenakan ke PPK,” tegasnya.
Dijelaskannya, saksi Sestama BNPB Harmensyah yang memimpin rapat tapi dia yang memutuskan. “Dialihkan ini perintah oleh Kepala BNPB (Alm) Doni Monardo. Sementara, orangnya sudah tidak ada,” katanya.
Agenda sidang selanjutnya masih menghadirkan saksi dari jaksa KPK. (Murgap)