Ahli Audit BPKP RI Suaedi sedang menerangkan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara PT Timah Tbk di hadapan majelis hakim, JPU dan masing-masing tim Kuasa Hukum dari keempat terdakwa Tamron alias Aon Cs di ruang Prof Dr Kusumah Atmadja SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jum’at (15/11/2024). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan dugaan Tipikor di PT Timah Tbk dengan terdakwa Tamron alias Aon selaku Komoditer Pasif atau Pemegang Saham dari CV Venus Inti Perkasa (VIP), Achmad Albani sebagai General Manager (GM), Hasan Tjhie selaku Direktur dan Kwan Yung alias Buyung sebagai Kolektor, yang didakwa mengakomodir kegiatan penambangan illegal di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015 hingga 2022, di ruang Prof Dr Kusumah Atmadja SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jum’at (15/11/2024).
Agenda sidang kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan 2 orang Ahli yakni Guru Besar dan Ahli Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr Bambang Hero Saharjo dan Ahli Audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia (BPKP RI) Suaedi untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, JPU dan masing-masing tim Kuasa Hukum dari keempat terdakwa. Kuasa Hukum terdakwa Komoditer Pasif atau Pemegang Saham dari CV VIP, Tamron alias Aon, Achmad Albani sebagai GM, Hasan Tjhie selaku Direktur dan Kwan Yung alias Buyung sebagai Kolektor, Andy Nababan SH mengatakan, keterangan Ahli Prof Dr Bambang Hero Saharjo menjelaskan, bahwa terkait dengan kerugian lingkungan akibat dugaan korupsi di tata niaga di PT Timah Tbk, menjelaskan, bahwa harganya sesuai yakni Rp150 triliun dan bukan Rp271 triliun.
“Tadi kita juga konfrontir dengan Ahli Audit dari BPKP RI mengatakan, bahwa angka yang diberikan kepada BPKP RI Rp271 triliun. Jadi ada perbedaan ya. Tapi tadi tegas disampaikan oleh Ahli Prof Bambang Hero Saharjo mengatakan, periode 2019 hingga 2020, itu adalah Rp150 triliun. Jadi signifikan sekali perbedaan angka,” ujar Andy Nababan SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
“Nanti saya juga akan mengkonfrontir dengan keterangan pegawai di Dinas Lingkungan Hidup (LH) Provinsi Bangka Belitung (Babel) yang mengubah keterangannya tentang luasan kawasan hutan di PT Timah Tbk itu,” ungkapnya.
Dikatakannya, Ahli Prof Dr Bambang Hero Saharjo mengatakan,, silahkan saja, ada perbedaan. “Menurut kami, apa yang dimaksud dengan kerugian riil itu yang tidak riil,” jelasnya.
Agenda sidang selanjutnya akan digelar pada Senin (18/11/2024) dengan pihak Kuasa Hukum dari keempat terdakwa akan menghadirkan Ahli di muka persidangan. “Ahlinya apa? Kita surprise (kejutan) saja lah,” katanya.
Dijelaskannya, terkait adanya keterangan Ahli Audit BPKP RI menyebut Harga Pokok Peleburan (HPP) dalam perkara kasus dugaan Tipikor di PT Timah Tbk ini, itu perspektifnya berbeda dengan Harga Pokok Produksi (HPP). “Karena sedari awal yang kita ketahui itu HPP itu adalah Harga Pokok Produksi. Kalau kita mau membandingkan apple to apple dengan harga sewa smelter itu tidak bisa hanya di satu unit bisnis saja karena yang namanya perusahaan dengan karyawannya yang jumlahnya 700 orang dengan satu perusahaan lain. Tidak bisa begitu,” paparnya.
“Karena cost (biaya) produksi jelas berbeda. Karena masih ada komponen-komponen yang belum dihitung. Membandingkan itu tidak apple to apple. Kalau ingin membandingkan bisnisnya PT Timah Tbk dan HPP-nya itu dengan smelternya swasta,” tutur
Andy Nababan SH dari Kantor Inarema Law Firm yang beralamat di Bandung, Jawa Barat (Jabar) ini.
Dikatakannya, baik dari apa yang diterangkan oleh Kepala Divisi (Kadiv) PT Timah Tbk, Direktur PT Timah Tbk, maupun dari keterangan Direktur Keuangan PT Timah Tbk mengatakan, jumlahnya tidak seperti apa yang dihitung. “Ada keterangan Ahli Audit BPKP RI yang dibacakan dari hasil Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidik yang dibacakan oleh Ahli Audit BPKP RI di depan majelis hakim sebagai bahan Ahli untuk mengaudit kerugian negara, Ahli ada menyebut nama seorang Ahli tapi Ahli tersebut tidak pernah dihadirkan di muka persidangan, harusnya JPU bisa menghadirkannya biar bisa kita konfrontir keterangannya,” ucapnya.
“Karena menghadirkan Ahli itu adalah hak jaksa yang bisa menghadirkannya. Tapi karena saksi dan ahli dari jaksa sudah selesai dihadirkan, ya tidak mungkin dihadirkan lagi Ahli tersebut,” ulasnya.
Menurutnya, tinggal pihaknya mempertimbangkan keterangan Ahli atau tidak karena Ahli yang disebutkan oleh Ahli Audit dari BPKP RI tidak bisa dihadirkan oleh jaksa. “Kita bisa menganggap keterangan Ahli Audit BPKP RI tidak didengar,” tandasnya. (Murgap)