Kuasa Hukum terdakwa mantan Atase Ketenagakerjaan KBRI Singapura Agus Ramdhany Machjumi (ARM), Oki Prasetyo SH MH (pertama dari kiri) foto bersama anggotanya Bias Prisma Wahyu Pradipta SH MH di luar ruang Prof Dr Kusumah Atmadja SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jakpus, Selasa (02/04/2024). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang lanjutan dengan Nomor perkara 25/Pidsus dugaan suap dan gratifikasi senilai 33.000 dollar Singapura (SGD) dikali 1 dollar Singapura adalah Rp12.000 pada 2019, maka kurang lebih totalnya Rp396 juta, terkait asuransi perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Singapura yang terjadi pada 2018 dengan terdakwa mantan Atase Ketenagakerjaan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Singapura Agus Ramdhany Machjumi (ARM), di ruang Prof Dr Kusumah Atmadja SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jakpus, Selasa (02/04/2024).
Agenda sidang pada hari ini adalah pemeriksaan 5 orang saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) setelah sebelumnya agenda sidang yakni pembacaan dakwaan oleh JPU, pembacaan Nota Eksepsi (Keberatan) oleh tim Kuasa Hukum terdakwa ARM dan pembacaan putusan sela oleh majelis hakim. Kelima orang saksi yang hadir pada sidang hari ini adalah Soes Hindharno, Yuli, Asrinal, Hestiarti dan Esther untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, JPU dan tim Kuasa Hukum terdakwa mantan Atase Ketenagakerjaan KBRI Singapura ARM.
Terkait kasus tersebut, JPU dalam dakwaannya menjerat terdakwa ARM dengan Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11, 12 a, dan 12 b Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor, dan Pasal 3 UU Nomor 8/2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TTPU) Juncto (Jo) Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kasus suap terkait jaminan pekerja bagi pembantu rumah tangga (PRT) Indonesia di Singapura ini sudah diadili di Negara Singapura.
Penerjemah paruh waktu, Abdul Aziz Mohamed Hanib (63 tahun), dituduh mengumpulkan suap lebih dari 92 ribu dollar Singapura untuk dirinya dan terdakwa ARM. Kasus ini melibatkan 2 (dua) Warga Negara Singapura lain, termasuk agen asuransi.
Kuasa Hukum terdakwa mantan Atase Ketenagakerjaan KBRI Singapura Agus Ramdhany Machjumi (ARM), Oki Prasetyo SH MH mengatakan, keterangan saksi Soes Hindharno mengatakan, bahwa Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh Duta Besar (Dubes) Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) KBRI Singapura terkait SK Nomor 19A/2018 itu dianggap surat itu resmi, namun dianggap menyimpang dari UU Kementerian, itu menurut saksi Hestiarti sebagai Audit dengan tujuan tertentu dan dari pendapat saksi Soes Hindharno seperti itu. “Sidang hari ini adalah pemeriksaan saksi untuk yang pertama,” ujar Oki Prasetyo SH MH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
“Selanjutnya, saksi Yuli menjelaskan terkait teknis kebanyakan. Saksi Yuli ini berasal dari kantor Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemnaker RI). Sebenarnya, ada 2 orang saksi lagi dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI, cuma tidak hadir. Saksi yang berasal dari Kemnaker RI ada 8 (delapan) orang untuk Tim Audit dan 2 orang dari Kemenlu RI dan saksi Esther berasal dari Kemenlu RI,” ungkap Oki Prasetyo SH MH dari kantor Alamgir Advocate Law Firm beralamat di Warung Jati, Jakarta ini.
Menurutnya, keterangan saksi hari ini seimbang. “Keterangan saksi ada yang meringankan dan memberatkan buat klien saya. Jadi kebanyakan karena pemeriksaan saksi itu sudah lama dilakukan yakni pada tahun 2019, sekarang baru diangkat lagi, makanya saksi banyak yang lupa dengan kejadian yang lalu,” terangnya.
Agenda sidang selanjutnya akan digelar pada Selasa (23/04/2024) masih pemeriksaan saksi oleh JPU. “Kalau dari kita, saksi meringankan atau saksi Ad-Charge belum ada dan belum bisa mengajukan. Tapi apabila salah satu ada saksi kita yang ada di Negara Singapura, maksudnya kalau saksi itu tidak digunakan, kita bisa pakai saksi tersebut. Tapi kalau saksi tersebut digunakan, kita tidak punya saksi karena kejadian perkara ini di Negara Singapura,” ucapnya.
“Saksi dari JPU masih ada 5 (lima) orang saksi lagi yang akan dihadirkan pada sidang selanjutnya,” paparnya.
Dijelaskannya, terdakwa ARM diangkat jadi Atase Ketenagakerjaan KBRI Singapura pada September 2017. “Kemudian, terdakwa ARM efektif menetap di Negara Singapura pada Oktober 2017. Selanjutnya, klien saya ini menjalankan program Performance Bones, dia bolak balik, dia minta arahan Dubes LBBP KBRI Singapura, kemudian Dubes LBBP Singapura juga memberikan arahan, dia karena minta petunjuk dan arahan, diberikan arahan disposisi untuk melakukan study banding dengan program Negara Filipina yang ada di Negara Singapura yang menggunakan Performance Bones (PB). Ternyata sudah 20 tahun, Negara Filipina tidak apa-apa menjalankan ini,” katanya.
Tapi, sambungnya, pada saat terdakwa ARM memulai program PB tersebut, baru saja berjalan 6 bulan, Abdul Aziz dan teman-temannya (Manik Buncah, James Leo dan Benyamin), ditangkap oleh polisi yakni Abdul Azis, Manik Buncah dan Benyamin di Indonesia. “Nah, pihak yang ditangkap oleh polisi di Negara Singapura adalah James Leo karena Warga Negara Singapura semua. Ditangkapnya pada tahun 2019. Nah, saya heran kenapa Indonesia baru melakukan program Performence Bones ini, Singapura dengan cekatan langsung menangkap tim-tim Abdul Azis Cs yang membantu pekerjaan Performance Bones?” tanyanya.
“Abdul Azis ini diambil translater atau penerjemah. Abdul Aziz diangkat oleh terdakwa ARM dan bekerja dengan terdakwa ARM,” urainya.
Dikatakannya, perkara kliennya ini tidak ada dugaan kerugian negara hanya dugaan gratifikasi saja. “Murni perkara ini gratifikasi saja. Tipikor baru akarnya saja karena tidak ada kerugian negara,” paparnya.
“Ketika terdakwa ARM sebagai Atase Ketenagakerjaan KBRI Singapura, langsung dicopot dan dikembalikan ke Indonesia. Kemudian, dia kembali ke Indonesia langsung mendatangi kantor Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Mabes Polri) untuk melaporkan dan menceritakan kejadian ini sebenarnya. Memang terdakwa ARM menerima uang sejumlah 33.000 dollar Singapura. Uang tersebut sebagian adalah terdakwa ARM mempunyai hutang kepada Abdul Aziz dan sebagian uang itu sudah dikembalikan atau dititipkan sebanyak Rp300 juta kepada penyidik dan sudah dikembalikan,” terangnya.
Uang yang diterima Abdul Aziz, imbuhnya, dimasukan dalam box (kotak) dicampur dengan uang Giat Naker, bahwa uang tersebut yang diterima oleh saudara Abdul Azis itu memang bukan milik dirinya pribadi, melainkan untuk Giat Naker di Kemnaker RI. “Giat Naker ini memang terdakwa ARM ini mengurus tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Pekerja Migran Indonesia (PMI). Khususnya paling banyak TKI atau PMI informal seperti Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) karena dalam program Performance Bones ini kan sebetulnya kenapa latar belakang mengambil program PB? Karena sebelumnya sering terjadi perselisihan,” tuturnya.
“Permasalahan antara TKI atau PMI Singapura dan pengguna (user) atau majikan di Negara Singapura, seperti gaji tidak dibayar. Kalau menggunakan Performance Bones, kalau gaji tidak dibayar, maka pihak asuransi akan memberikan gaji tersebut kepada TKI atau PMI lalu menagihkan kepada majikan TKI atau PMI di Negara Singapura. Itu manfaatnya dan itu salah satu contohnya,” tandasnya. (Murgap)