Roy Sihombing SH
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) kembali menggelar acara sidang lanjutan dugaan Tipikor dengan terdakwa mantan Direktur Utama (Dirut) PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Emirsyah Satar terkait kasus korupsi pengadaan pesawat Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600 serta terdakwa Direktur PT Mugi Reksa Abadi, Soetikno Soedarjo (SS) di ruang Prof Dr HM Hatta Ali SH MH, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jakpus, Senin (25/03/2024).
Pada sidang kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan 2 Ahli yakni Gerry Soejatman selaku Ahli dan juga Konsultan Bidang Penerbangan dan Ahli Hukum Pidana dari Universitas Pancasila Agus Surono untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, JPU dan masing-masing tim Kuasa Hukum dari kedua terdakwa. Perlu diketahui, Emirsyah Satar sebelumnya sudah divonis bersalah terkait kasus suap pengadaan mesin Rolls-Royce untuk pesawat Airbus milik PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Boeing, Bombardier CJ-1000 dan ATR 72-600.
Dalam perkara itu, Emirsyah Satar dihukum 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 3 bulan kurungan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, pada 8 Mei 2020. Kini, Emirsyah Satar juga tengah diadili di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus dalam kasus yang sama yakni terkait pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600.
Jaksa menyebut total kerugian negara melalui PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk akibat perbuatan Emirsyah Satar sebesar 609 juta dolar Amerika Serikat (AS). “Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu memperkaya diri terdakwa Emirsyah Satar atau memperkaya orang lain yakni Agus Wahjudo Hadinoto Soedigno, Soetikno Soedarjo (SS) atau memperkaya korporasi yaitu Bombardier, ATR, EDC/Alberta sas dan Nordic Aviation Capital Pte, Ltd (NAC), yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yaitu merugikan keuangan negara Cq PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, seluruhnya sebesar USD609.814.504,” kata jaksa saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Jakpus, Senin (25/03/2024).
Total kerugian negara senilai 609 juta dolar, jika dirupiahkan senilai Rp9,37 triliun dengan kurs rupiah saat ini. Jaksa menyebut Emirsyah Satar tanpa hak menyerahkan rencana pengadaan armada (Fleet Plan) PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk ke Soetikno Soedarjo (SS).
Padahal, rencana pengadaan itu merupakan rahasia perusahaan. “Terdakwa Emirsyah Satar secara tanpa hak menyerahkan rencana pengadaan armada (Fleet Plan) PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang merupakan rahasia perusahaan kepada Soetikno Soedarjo (SS) untuk selanjutnya diteruskan kepada Bernard Duc yang merupakan Commercial Advisor dari Bombardier,” ujar jaksa.
Kuasa Hukum terdakwa mantan Dirut PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Emirsyah Satar, Roy Sihombing SH mengatakan, Ahli yang dihadirkan oleh jaksa tidak memiliki kompetensi terhadap perkara yang saat ini sedang disidangkan.
”Karena semua pertanyaan tentang pidana kepada Ahli Hukum Pidana dari Universitas Pancasila Agus Surono ternyata tidak ditanggapi. Pasti menurut kita, jawaban seperti itu tidak berkompetensi,” ujar Roy Sihombing SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Dikatakannya, termasuk Ahli Gerry Soejatman menyebutkan dirinya adalah Ahli Penerbangan tapi tidak punya pengalaman dalam hal pengadaan. “Ahli Gerry mengatakan Ahli Pengadaan Penerbangan. Sementara, untuk mengerjakan feasibility study (fs) atau kajian, tidak pernah. Jadi kita tetap pada Nota Pembelaan kita, bahwa klien kami tidak bersalah,” ungkap Roy Sihombing SH dari kantor Monang Sagala and Partners yang beralamat di daerah Senayan, Jakarta Selatan (Jaksel) ini.
Sidang selanjutnya akan digelar pada Senin (01/04/2024) dengan agenda jaksa masih menghadirkan Ahli. “Kalau keterangan dari jaksa, jaksa masih akan menghadirkan 5 orang Ahli. Kalau klien kami tentu juga akan menghadirkan saksi dan Ahli yang menguntungkan buat klien kami,” katanya.
“Ahli Gerry Soejatman lulusan Bachelor dari Australia dan menurut kami, keterangannya tidak berkompetensi. Itu intinya,” tegasnya.
Menurutnya, keterangan kedua Ahli di muka persidangan tidak punya kompetensi dan ketika ditanya segala macam hal, justru menguntungkan buat kliennya. “Karena keterangan kedua Ahli ini tidak punya kompetensi kan,” tandasnya. (Murgap)