Presiden Partai Buruh Said Iqbal (ketiga dari kiri) bersama tim Kuasa Hukumnya saat jumpa pers soal rencana partai tersebut mengajukan gugatan uji materi (judicial review) atas pasal terkait Presidential Threshold, di Kantor LBH Jakarta, Jum’at siang (14/07/2023). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Partai Buruh siap mengajukan gugatan uji materi atau judicial review atas ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Partai tersebut ngin MK menghapus ketentuan yang sudah 30 kali digugat supaya mereka bisa mencalonkan presiden sendiri. Tim Kuasa Hukum Partai Buruh menyebutkan, gugatan tersebut akan didaftarkan ke MK pada Kamis (20/07/2023).
Gugatan itu diajukan oleh 3 (tiga) pihak, yakni Partai Buruh dan 2 (dua) mantan bakal calon anggota legislatif (Bacaleg) Partai Buruh yang memilih mengundurkan diri karena partainya tidak bisa mencalonkan presiden. Dalam gugatan itu, Partai Buruh menguji konstitusionalitas Pasal 222 Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Pasal itu mengatur, bahwa pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) RI bisa dilakukan, jika partai politik (parpol) atau gabungan parpol punya 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) atau 25% suara nasional pada pemilu sebelumnya. Adapun Partai Buruh ingin pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional alias dihapus.
Salah satu anggota tim Kuasa Hukum Partai Buruh, Alghiffari Aqsa SH mengatakan, pasal Presidential Threshold sebenarnya sudah digugat sebanyak 30 kali di MK. Namun, semua gugatan itu kandas dengan berbagai alasan.
Alghiffari SH yakin gugatan ke-31 yang diajukan Partai Buruh ini bisa dikabulkan MK. Sebab, menurutnya, terdapat sejumlah fakta antara gugatan Partai Buruh dan 30 gugatan sebelumnya yakni pertama, gugatan ke-31 ini diajukan oleh Partai Buruh, partai yang sudah ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024 dan ingin mencalonkan presiden.
“Pemohon adalah Partai Buruh yang ingin mencalonkan presiden alternatif di luar nama yang sekarang beredar,” kata Alghiffari SH saat konferensi pers di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jum’at (14/07/2023).
Kedua, sambungnya, MK kini sudah berubah pandangan terkait open legal policy atau kebijakan hukum terbuka. “Dalam 30 gugatan sebelumnya, MK beberapa kali menolak gugatan dengan alasan pasal Presidential Threshold merupakan open legal policy,” katanya.
Namun, imbuhnya, MK beberapa waktu lalu, ternyata mengabulkan gugatan terkait masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebuah ketentuan yang selama ini dianggap open legal policy. “Nah, gara-gara putusan terkait KPK itu, artinya MK sudah tidak lagi menggunakan rezim putusan open legal policy,” ujar anggota tim Kuasa Hukum Partai Buruh lainnya, Feri Amsari SH.
“Dengan demikian, MK wajib pula menafsirkan apakah Pasal 222 UU Pemilu ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 atau tidak. Jadi tidak bisa lagi menghindar dengan alasan open legal policy,” paparnya.
Feri Amsari SH mengatakan, ketika MK masuk membahas substansi pasal Presidential Threshold, pihaknya bisa menjelaskan mengapa pasal Presidential Threshold bertentangan dengan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945. Feri Amsari SH menjelaskan, bahwa Pasal 6A ayat 2 secara eksplisit menyatakan, bahwa Calon Presiden (Capres) RI dan atau Calon Wakil Presiden (Cawapres) RI diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum penyelenggaraan pemilu.
Pasal tersebut, kata Feri Amsari SH, tidak menyertakan syarat-syarat lain seperti Presidential Threshold, apalagi berdasarkan raihan kursi pemilu sebelumnya. “Artinya, berdasarkan pasal 6A Ayat 2, Partai Buruh berhak secara konstitusional mengajukan Capres RI dan atau Cawapres RI,” ujarnya.
Presiden Partai Buruh, Said Iqbal mengatakan, gugatan Presidential Threshold ini diajukan karena ketentuan Presidential Threshold telah menghambat partainya untuk mencalonkan presiden, yang sesuai dengan aspirasi buruh. Padahal, Partai Buruh merupakan peserta Pemilu 2024.
“Andaikan tidak ada Presidential Threshold, kita tidak akan menjadi penonton saja dari sebuah proses penting memilih presiden. Sekarang kita hanya jadi penonton ketika koalisi A, koalisi B, koalisi C ngomong. Bahkan, kita tidak mengerti apa dasar mereka membentuk koalisi itu,” kata Said Iqbal, merujuk pada tiga poros koalisi Capres RI yang sudah terbentuk jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) RI 2024. (Murgap)