Kuasa Hukum terdakwa salah satu ahli waris tanah dari RS Hadi Sopandi, Ali Sofyan, Hizbulah Ashidiqi SH MH (pertama dari kanan) foto bersama anggota tim Kuasa Hukumnya Rizky SH (kedua dari kiri), Fajar SH (kedua dari kanan) dan lainnya dari Kantor Law Firm Managing Partner Eggi Sudjana and Partner yang beralamat di Jakarta, di luar ruang Wirjono Projodikoro 2, PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis (25/05/2023). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) kembali menggelar acara sidang lanjutan untuk kelima kalinya sidang dengan Nomor Pokok Perkara 39 Tipidsus terkait perkara Ali Sofyan yang merupakan salah satu ahli waris tanah dari RS Hadi Sopandi, pemilik tanah yang sebelumnya dikuasai oleh pihak PT Pertamina dan kejadiannya pada tahun 2016 hingga 2017 dengan terdakwa ahli waris tanah Ali Sofyan, di ruang Wirjono Projodikoro 2, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis (25/05/2023).
Pada sidang kali ini, dihadirkan 5 (lima) saksi untuk memberikan keterangan dan penjelasan di hadapan Jaksa Penuntut Umum (JPU), majelis hakim, dan Kuasa Hukum dari terdakwa ahli waris tanah Ali Sofyan. Kuasa Hukum terdakwa salah satu ahli waris tanah dari RS Hadi Sopandi, Ali Sofyan, Hizbulah Ashidiqi SH MH mengatakan, menurut JPU akan menghadirkan 30 saksi di muka persidangan.
“So far (sejauh ini) saksi yang baru diperiksa itu 11 saksi. Sidang kemarin saksi yang baru diperiksa sekitar 6 orang dan sidang pada hari ini 5 orang,” ujar Hizbulah Ashidiqi SH MH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Dikatakannya, pada sidang hari ini, ada lima saksi dan 2 saksi berasal dari keluarga ahli waris tanah terdakwa Ali Sofyan, saudara kandungnya. “Satu saksi dari tersangka (Tsk) Rina Pertiwi yang katanya menerima gratifikasi dari terdakwa Ali Sofyan. Tapi ternyata, Rina Pertiwi ini juga jadi Tsk tapi tidak ditahan. Sementara, klien kami terdakwa Ali Sofyan belum apa-apa sudah ditahan,” ungkap Hizbulah Ashidiqi SH MH dari Kantor Law Firm Managing Partner Eggi Sudjana and Partner yang berlokasi di Jakarta ini.
“Jadi bagaimana azas praduga tak bersalah itu? Sangat diskriminatif dimainkan oleh penyidik Kejaksaaan Tinggi (Kajati) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, pada saat itu,” katanya.
Dijelaskannya, pihaknya sudah mengajukan permohonan kepada majelis hakim. “Saat itu atau pada waktu sidang Selasa kemarin, majelis hakim masih belum mengabulkan permohonan kami tapi nanti kita akan ajukan lagi permohonan penangguhan penahanan dan tadi hakim mengizinkan karena melihat fakta, bahwa tersangka lain tidak ditahan, yang namanya Rina Pertiwi,” ungkapnya.
“Satu hal yang harus digarisbawahi, saksi panitera Rina Pertiwi mengatakan, dirinya tidak pernah mengetahui adanya transaksi ataupun transfer uang atau pemberian hadiah dari terdakwa Ali Sofyan,” urainya.
Rina Pertiwi, sambungnya, tidak pernah mengakui dan mengetahui. “Artinya, memang tidak ada. Sementara, dakwaan daripada JPU, seolah-olah terjadi pemberian hadiah oleh terdakwa Ali Sofyan melalui Dede Rahmana yang kemudian diserahkan kepada Rina Pertiwi. Ini yang harus diluruskan, bahwa klien kami tidak pernah memberikan uang kepada panitera Rina Pertiwi,” jelasnya.
Dikatakannya, ada dugaan pemberian dana-dana itu lah yang ada di dakwaan JPU. “Padahal, posisinya sudah pensiun dan sudah tidak ada hubungan. Saya kurang tahu pensiunnya kapan. Karena perkara ini bermulanya pada tahun 2020, terdakwa Ali Sofyan ketemu dengan Saleh Wiyono,” katanya.
“Saleh Wiyono sudah pensiun kala itu dan sudah tidak ada lagi dengan jabatan publik. Artinya, Saleh Wiyono memang murni membantu klien kami dalam konteks membantu bantuan hukum. Menyediakan pengacara, membantu mungkin teknis-teknis dalam artian bagaimana mendaftarkan gugatan. Memberikan nasehat lah atau konsultan. Itu kan sah-sah saja,” ujarnya.
Menurutnya, sangat wajar kalau dibayar. “Namanya kita sebagai advokat kan dibayar. Dalam konteks kesaksian Rina Pertiwi ini menegaskan dan membuktikan, bahwa tidak ada hubungan aliran dana antara terdakwa Ali Sofyan dan panitera Rina Pertiwi,” tuturnya.
“Sesuai keterangan Rina Pertiwi, bahwa dirinya tidak pernah menerima aliran dana dari terdakwa Ali Sofyan tapi dirinya menerima aliran dana dari Dede Rahmana yang kemarin sidang menjadi saksi di muka persidangan,” ucapnya.
Tapi, sambungnya, konteksnya jelas, Rina Pertiwi mengklaim pemberian dana dari Dede Rahmana dalam konteks perjanjian sewa menyewa yang selama ini belum pernah dibayar oleh Dede Rahmana. “Kalau tadi sesuai keterangan saksi Rina Pertiwi, bahwa dirinya punya rumah toko (ruko) yang disewa oleh Dede Rahmana karena faktor kedekatan tapi belum pernah dibayar,” tuturnya.
“Artinya, baru dibayar kemarin. Rina Pertiwi pun tidak mempersoalkan dari mana uang itu berasal. Yang penting, dibayar masalah sewa rukonya,” katanya.
Sementara, sambungnya, saksi dari terdakwa Ali Sofyan menjelaskan, uang atau cek yang diserahkan oleh Dede Rahmana itu adalah sumbangan atas arahan dari Saleh Wiyono. “Jadi tidak ada hubungan konektivitas antara yang satu dengan pihak lainnya. Harusnya JPU bisa teliti disitu dan jangan dicari-cari kesalahannya,” pungkasnya.
“Karena niat pertama memberikan cek itu adalah niatnya baik untuk pesantren. Jadi tidak ada Mensreanya atau Niat jahatnya. Tidak ada unsur gratifikasi atau tindak pidana,” katanya.
Dijelaskannya, unsur gratifikasi itu harus diberikan oleh seseorang sebagai hadiah kepada pejabat negara atau Aparatur Sipil Negara (ASN). “Dari sidang Selasa kemarin sudah dijelaskan, bahwa pemberian cek ke Dede Rahmana ini kan warga sipil. Dede Rahmana ini kan rakyat biasa dan pengurus pesantren atau pendakwah atau ustadz. Ketika terdakwa Ali Sofyan menyerahkan ceknya ke sana niatnya jelas, memberikan sumbangan,” ungkapnya.
“Cek tersebut dari Bank BCA. Kalau cek jelas ada nama yang dituju. Ditujukan ke Dede Rahmana dari klien kami ini terdakwa Ali Sofyan pewaris tanah dari RS Hadi Sopandi. Itu sudah jelas ada namanya,” katanya.
Cuma tadi yang dibahas di muka persidangan, sambungnya, cek semuanya sudah ada namanya yakni Dede Rahmana. “Sementara, transfer uang Rp50 juta teraebut sudah diakui oleh Dede Rahmana, bahwa ia yang mengirimkan uang sebesar 50 juta kepada Rina Pertiwi,” bebernya.
“Rina Pertiwi bilang memang ada uang masuk pada tanggal 6 Juli,” jelasnya.
Kalau dirunut kesaksian Dede Rahmana, sambungnya, di sini terbukti, Dede Rahmana mengakui, bahwa yang mentransfer uang 50 juta ke Rina pertiwi adalah Dede Rahmana atas permintaan Rina Pertiwi bukan permintaan kliennya. “Jadi yang mentransfer uang ke Rina Pertiwi adalah Dede, bukan klien kami,” tegasnya.
Agenda sidang selanjutnya, masih pembuktian saksi dari JPU. “Harapan saya, justru semakin membuka tabir, bahwa dakwaan dari JPU ini sangat keliru dan harusnya dilihat unsur gratifikasi itu apa. Unsurnya seperti memberikan hadiah kepada pejabat negara atau pejabat berwenang dan Rina Pertiwi ini sudah dimutasi ke Pengadilan Tinggi (PT) Padang, Sumatera Barat (Sumbar),” paparnya.
“Kalau ditanya pejabat yang berwenang memutuskan pelaksanaan eksekusi adalah Ketua PN. Sementara, Rina Pertiwi itu hanya panitera saja, sehingga tidak punya kewenangan apapun dalam pelaksanaan eksekusi putusan, terlebih juga sebelum eksekusi terlaksana, Rina Pertiwi sudah dimutasi ke PT Padang, Sumatera Barat (Sumbar), sehingga seharusnya sudah tidak ada hubungan hukumnya lagi,” katanya
Jadi harapannya, imbuhnya, kembalilah, bahwa pemeriksaan harusnya sudah terbuka tabirnya dan hakim bisa melihat sejauhmana kebenaran dari dakwaan JPU. “Saya yakin dakwaan JPU ini tidak benar,” tandasnya.
Tim Kuasa Hukum terdakwa ahli waris tanah Ali Sofyan yang hadir dalam acara sidang hari ini adalah Prof Dr Eggi Sudjana SH MSi, Hizbullah Ashidiqi SH, Akhlan Balweel SH, Dio Alberto S SH MH, Fajar SH dan Rizky SH. (Murgap)