Kuasa Hukum terdakwa salah satu ahli waris tanah dari RS Hadi Sopandi, Ali Sofyan, Hizbulah Ashidiqi SH MH (kedua dari kiri) foto bersama anggota tim Kuasa Hukumnya Rizky SH (pertama dari kiri), Akhlan Balweel SH (kedua dari kanan) dan Dio Alberto S SH MH dari Kantor Law Firm Managing Partner Eggi Sudjana and Partner berlokasi di Jakarta, di luar ruang Wirjono Projodikoro 2, PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Selasa (23/05/2023). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menggelar acara sidang dengan Nomor Pokok Perkara 39 Tipidsus untuk keempat kalinya terkait perkara Ali Sofyan yang merupakan salah satu ahli waris dari RS Hadi Sopandi selaku pemilik tanah yang sebelumnya dikuasai oleh pihak PT Pertamina dan kejadiannya pada tahun 2016 hingga 2017 dengan terdakwa Ali Sofyan di ruang Wirjono Projodikoro 2, Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Selasa (23/05/2023).
Pada sidang kali ini dihadirkan 8 saksi untuk memberikan keterangan dan penjelasan di hadapan Jaksa Penuntut Umum (JPU), majelis hakim, dan Kuasa Hukum dari terdakwa Ali Sofyan. Adapun kedelapan saksi tersebut adalah Dede Rahmana, Jumar sebagai tukang kebun, Fenny sebagai karyawan bank BRI Cabang Veteran, Agnes sebagai Asisten Manajer Operasional dan Marketing Bank BRI Cabang Veteran, Erni Silvana sebagai karyawan Bank BTN Cabang Bekasi, Riko Wicaksono sebagai karyawan dari Bank BCA, dan Junito sebagai karyawan dari Bank BCA Jakpus.
Kuasa Hukum terdakwa salah satu ahli waris tanah dari RS Hadi Sopandi, Ali Sofyan, Hizbulah Ashidiqi SH MH mengatakan, mulai perkara gugatan perdatanya sudah dimulai dari tahun 2016 hingga 2017 tapi perkara ini hanya eksesnya saja. “Karena pada saat itu gugatan dimenangkan oleh ahli waris, sehingga PT Pertamina dihukum untuk mengganti rugi sebesar Rp244 miliar kepada para ahli waris,” ujar Hizbulah Ashidiqi SH MH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Dikatakannya, dalam.proses eksekusi pembayaran uang ganti rugi sebesar Rp244 miliar itu pada akhirnya dibayarkan oleh pihak PT Pertamina. “Tapi di sini JPU memeriksa penyelidikan dan penyidikan, katanya dalam informasinya ada dugaan gratifikasi. Kalau menurut cerita awal, gratifikasi sampai ke tingkat Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI). Ada disebut namanya dalam uraian Kejaksaaan Agung (Kejagung) RI ya, ini JPU yang bilang, bukan saya, dalam uraian perkara yang ditangani oleh JPU ini, disebutkan ada namanya hakim MA RI yakni Pri Pambudi Teguh SH,” terangnya.
“Dulu awalnya gugatan perkara ini digelar di PN Jaktim. Gugatan diterima dan dimenangkan oleh pihak ahli waris dan pihak PT Pertamina diminta untuk membayar dan dieksekusi. Tapi karena yang dieksekusi adalah rekening yang dimiliki oleh pihak PT Pertamina untuk melakukan pembayaran, maka didelegasikan di PN Jakpus karena ada dugaan gratifikasi oleh pihak JPU,” ungkapnya.
Dijelaskannya, kliennya diduga atas pasal 13 dan 5 Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor karena adanya pemberian hadiah atau janji dengan gratifikasi kepada pejabat atau Aparatur Sipil Negara (ASN). “Itu dari dakwaan JPU,” bebernya.
Menurutnya, terkait proses uang ganti rugi kepemilikan tanah ahli waris sudah selesai dibayarkan oleh pihak PT Pertamina. “Tidak ada urusan lagi. Itu disitanya oleh PN Jakpus selaku juru sitanya dan delegasi dari PN Jaktim. Sudah selesai dan tidak ada lagi soal pembayaran uang ganti rugi itu,” tegasnya.
“Yang didakwakan oleh JPU adalah dugaannya adanya gratifikasi kepada panitera PN Jaktim Rina Pertiwi. Dulu dia memang panitera di PN Jaktim. Tapi sebelum proses eksekusi itu diputus atau dilaksanakan, Rina Pertiwi sudah dimutasi ke Pengadilan Tinggi (PT) Padang, Sumatera Barat (Sumbar). Jadi tidak ada hubungannya,” ungkapnya.
Tidak ada hubungannya dengan Rina Pertiwi, sambungnya, ketika proses eksekusi akan dilaksanakan karena Rina Pertiwi sudah tidak punya kewenangan lagi. “Bukan lagi seorang pejabat seperti yang didakwakan oleh JPU terkait pasal 13 dan 5 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor,” katanya.
“Keterangan saksi yang berasal dari pihak bank tidak ada hubungannya dalam konteks klien kami. Karena proses eksekusi sudah selesai mau dibahas apalagi oleh JPU?” tanyanya.
Dakwaan JPU yang dibahas, imbuhnya, dugaan gratifikasi sebesar Rp1 miliar melalui panitera PN Jaktim Rina Pertiwi. “Faktanya, klien kita sesuai keterangan dari saksi Riko Wicaksono dari Bank BCA, tidak ada transaksi. Riko menegaskan, tidak ada bukti transaksi antara klien kami terdakwa Ali Sofyan dengan Rina Pertiwi maupun Dede Rahmana. Yang ada bukti transaksi antara Dede Rahmana dan Rina Pertiwi,” bebernya.
“Acara sidang hari ini sudah masuk kepada sidang pembuktian. Saksi masih dari JPU. Sebenarnya, saksi-saksi yang dihadirkan di muka persidangan, masih jauh dari kualifikasi saksi fakta. Karena ini tidak ada yang langsung berhubungan dengan klien kami. Paling saksi Dede Rahmana juga sifatnya justru menguatkan klien kami,” katanya.
Saksi Dede Rahmana, sambungnya, mengakui sebagai pihak yang mentransfer dan menyerahkan uang ke Rina Pertiwi, saksi Dede Rahmana itu sendiri. “Tidak ada transfer dari terdakwa Ali Sofyan kepada Rina Pertiwi selaku pejabat. Tapi perlu digarisbawahi memang pada saat klien kami terdakwa Ali Sofyan menyerahkan cek kepada saksi Dede Rahmana, atas amanah dari Almarhum (Alm) Saleh Wiyono. Beliau itu adalah mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari Fraksi Partai Gerindra,” jelasnya.
“Atas amanah itu disampaikan lah kepada saksi Dede Rahmana dan saksi Dede Rahmana ini sosok pendakwah, seorang Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) dan suka menerima sumbangan, memang sub konteksnya itu sumbangan,” katanya.
Ia mengharapkan, proses perkara ini dilakukan di PN Jakpus. “Sebenarnya, dari awal locus delicti (lokasi delik) di Bandung, Jawa Barat (Jabar). Penyerahan ceknya di Bandung. Pencairan ceknya juga di Bandung. Kita juga sudah mengajukan putusan sela tapi hakim mungkin tidak memeriksa berkas kita dengan detail dengan rinci dan tidak memeriksa dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), sehingga menolak putusan sela yang kita ajukan dengan dasar pencairan ceknya di Jakarta. Tapi faktanya tadi di muka persidangan, diakui oleh saksi-saksi yang hadir, bahwa pencairannya di Bandung,” ungkapnya.
“Dalam hal ini, saya juga ingin mengoreksi PN Jakpus, agar bisa lebih hati-hati dalam memeriksa berkas perkara yang sedang diperiksa ini, itu pertama. Kedua, proses eksekusi didelegasikan di PN Jakpus, sudah selesai semua. Saya yakin tidak ada salah lah. Karena PN Jakpus sudah menyelesaikan itu semua kan berkas-berkas dan pihak bank juga sudah memeriksa semua. Bank juga sudah melakukan prosedur dan tidak ada masalah dengan itu,” katanya.
Harapannya tentu, sambungnya, PN Jakpus bisa memutus perkara ini dengan arif dan bijaksana. “Kalau tidak ada unsur Tipikor, maka jangan dipaksakan. Kalau tidak ada bukti, jangan dicari-cari bukti dan kalau tidak ada kesalahan, jangan dicari-cari kesalahan orang. Karena kalau Tindak Pidana itu satu yaitu Mensrea atau Niat jahatnya. Tadi juga sudah disampaikan oleh Eggi Sudjana tidak ada Mensrea kepada terdakwa Ali Sofyan ketika beliau menyerahkan cek itu kepada saksi Dede Rahmana dan itu tidak ada niat jahatnya. Niat jahatnya dalam hal ini melanggar pasal 5 dan 13 tadi ya. Jadi Mensreanya tidak ada ya. Bagaimana majelis hakim memutuskan perkara ini kalau tidak ada Mensreanya. Jadi obyektiflah, kita itu harapannya,” ujarnya.
“Terkait soal luas tanah yang sudah ditempati oleh PT Pertamina dari salah satu ahli waris Ali Sofyan adalah 11.900 Hektare (Ha) dan masih ada beberapa Ha lagi yang belum diganti rugi oleh pihak PT Pertamina. Jadi memang masih belum selesai masalah dengan pihak PT Pertamina. Makanya, terus dipersoalkan dan dipersulit klien kami ini,” paparnya.
Dijelaskannya, Rina Pertiwi tidak dijadikan saksi oleh JPU. “Padahal, Rina Pertiwi katanya sudah ditetapkan tersangka atau Tsk dan berkasnya dipisahkan tapi kenapa tidak dihadirkan sebagai saksi terhadap klien kami?” tanyanya heran.
Anggota tim Kuasa Hukum ahli waris tanah Ali Sofyan lainnya, Akhlan Balweel SH menambahkan, bukti rekening cek Rp500 juta terakhir yang katanya dicairkan lewat rekening, bahwa sesungguhnya ditarik cash (tunai) dulu oleh Dede Rahmana, menurut bukti yang ditujukan oleh pihak Bank BCA. “Cek dicairkan dulu yang cash jumlahnya Rp500 juta, baru disetorkan secara tunai ke rekening Dede Rahmana sejumlah Rp450 juta lalu disetorkan tunai ke rekening Rina Pertiwi. Jadi secara harfiah, bahwa uang tersebut sudah diambil oleh Dede Rahmana terlebih dulu,” ujar Akhlan Balweel SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Dijelaskannya, hal yang disampaikan oleh terdakwa ahli waris Ali Sofyan, bahwa sebelum diamanatkan uang oleh Saleh Wiyono, saksi Dede Rahmana mengirimkan foto dengan anak-anak yatim di sebuah sekolah. “Itu yang menjadi tanda tanya buat kami untuk apa saksi Dede Rahmana mengirimkan foto ia berada di sebuah sekolah bersama anak-anak. Itu yang menjadikan (Alm) Saleh Wiyono memberikan titipan yang disampaikan melalui terdakwa Ali Sofyan,” tuturnya.
Anggota tim Kuasa Hukum terdakwa ahli waris tanah Ali Sofyan lainnya, Dio Alberto S SH MH mengatakan, terkait saksi-saksi yang dihadirkan di muka persidangan terkesan ingin mengarahkan dan memberatkan terdakwa Ali Sofyan. “Tetapi setelah kita korek malah saksi-saksi ini tidak bisa mempertanggungjawabkan kesaksiannya. Seperti tadi saksi Jumar yang mengaku sebagai tukang kebun. Dia mengatakan, bahwa dia mengerti, bahwa yang ingin diurusi itu adalah putusan pengaturan untuk pemenangan Peninjauan Kembali (PK) dengan Nomor urut sekian-sekian. Tapi ketika saya tanya ke saksi Jumar, PK itu apa? Saksi Jumar tidak tahu PK itu apa. Jadi di situ memperlihatkan, bahwa saksi Jumar tidak mengerti proses hukum,” ujar Dio Alberto S SH.MH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Terkait soal memijat kepala (Alm) Saleh Wiyono oleh Jumar, sambungnya, sambil menerima telpon dari telpon genggamnya atau Handphone (Hp) milik (Alm) Saleh Wiyono, saksi Jumar mengatakan, bahwa terdakwa Ali Sofyan menerima telpon dari Rina Pertiwi. “Padahal, saksi Jumar tidak pernah berbicara langsung kepada Rina Pertiwi dan tidak pernah bertemu langsung dengan Rina Pertowi. Kalau dari konsekuensi hukumnya ada. Saksi Jumar dianggap bukan saksi fakta, bukan saksi yang melihat, mendengar dan merasakan langsung peristiwa perkara ini. Saksi Jumar bersaksi sesuai asumsinya sendiri atau pendapatnya sendiri,” terangnya.
Anggota tim Kuasa Hukum terdakwa ahli waris tanah Ali Sofyan lainnya, Rizky SH menambahkan, ada ahli waris dari (Alm) Saleh Wiyono diduga menitipkan uang sebesar Rp9,4 miliar kepada pihak JPU, judulnya titipan uang sebagai Barang Bukti (BB). “Kalau memang uang itu disita oleh JPU tolong dikeluarkan hak sitanya. Tapi jangan uang tersebut jadi milik jaksa. Makanya, majelis hakim terkait BB uang Rp9,4 miliar yang disita oleh JPU, bukan urusan saya, kata majelis hakim karena tidak ada di dalam dakwaan,” ujar Rizky SH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
“Justru kita mempertanyakan hal itu. Disuruh dikembalikan kalau memang uang Rp9,4 miliar tersebut sebagai BB,” tegasnya.
Tim Kuasa Hukum terdakwa ahli waris tanah Ali Sofyan yang hadir dalam acara sidang ini adalah Prof Dr Eggi Sudjana SH MSi, Hizbullah Ashidiqi SH MH, Akhlan Balweel SH, Dio Alberto SH MH dan Rizky SH. (Murgap)