Brigjen Pol (Purn) Drs M Zulkarnain MM MH
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Umum (Tipidum) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) kembali menggelar acara sidang lanjutan perkara dengan Nomor pokok perkara 141 yang menjerat mantan Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Wakabareskrim Mabes Polri) Inspektur Jenderal Polisi (Irjen Pol) Purnawirawan (Purn) Johny M Samosir selaku terdakwa dalam perkara perjanjian antara PT Konawe Putra Propertindo (KPP) dan PT Virtue Dragon Nickel Industry
(VDNI) pada tanggal 28 Maret 2018, atas perjanjian aquo, para pihak tidak menaati perjanjian, sehingga objek tanah yang diperjualbelikan jadi sengketa di ruang Oemar Seno Adji 1, PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran. Kamis siang (27/04/2023).
Dalam sidang hari ini, dihadirkan 3 (tiga) saksi yakni Venny sebagai Manajer Keuangan PT VDNIP/VDNI, Albert dari PT KPP dan Edy Wijaya selaku Direktur PT KPP untuk memberikan keterangan dan penjelasan di hadapan majelis hakim, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan tim Kuasa Hukum terdakwa Wakabareskrim Mabes Polri Irjen Pol Purnawirawan (Purn) Johny M Samosir. Kuasa Hukum tetdakwa mantan Wakabareskrim Mabes Polri Drs Johny M Samosir, Brigjen Pol (Purn) Drs M Zulkarnain MM MH mengatakan, JPU tidak memiliki bukti rekening yang ada di PT KPP.
“Bahwa orang yang dikirim uang Rp95 miliar oleh Venny sebagai Manajer Keuangan PT VDNIP/VDNI mampir hanya 2 jam. JPU tidak mempunyai bukti tersebut. Kenapa tidak punya? Karena tidak diteliti. Penyidikannya lain. Itu saja,” ujar Brigjen Pol (Purn) Drs M Zulkarnain MM MH kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
Dikatakannya, soal peralihan uang Rp95 miliar selama 2 jam itu bukti loh. “Bukti bahwa uang Rp95 miliar itu dikirim selama 2 jam oleh Direktur PT KPP yang lama. Itu bukti kunci,” ungkapnya.
Dijelaskannya, JPU tidak punya bukti tersebut. “Karena penyidik tidak kasih bukti tersebut tapi kita bisa dapat bukti tersebut. Uang Rp95 miliar itu tidak ada pada kliennya ketika menjabat Direktur PT KPP,” ungkapnya.
“Itu bukti otentik dan fakta, itu pertama. Kedua, harusnya hari ini dihadirkan 6 (enam) saksi oleh JPU. Namun, saksi yang dihadirkan hanya 3 (tiga) orang dan tiga orang lagi tidak dihadirkan. Alasannya apa?” tanyanya.
Dijelaskannya, ketidakhadiran tiga orang saksi harus jelas. “Kalau ketiga saksi lain tidak bisa hadir di muka persidangan, JPU bisa menjemput ketiga saksi tersebut. Tinggal dipanggil untuk hadir,” katanya.
“Tadi juga sudah dijelaskan oleh Kuasa Hukum terdakwa mantan Wakabareskrim Mabes Polri Johny M Samosir lainnya yakni Gunawan Raka SH MH mengatakan, pada saat dilaporkan ke Polda Sultra, ketiga orang saksi yang tidak hadir hari ini juga tidak hadir. Kenapa ketika ketiga saksi melapor malah hadir dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP)?” tanyanya.
Menurutnya, perkara ini aneh. “Malah dikelola kasus ini malah ditahan. Ada apa?” tanyanya lagi.
“Dalam perkara ini ada sesuatu yang tidak beres,” ungkapnya.
Ia menilai bagaimana sidang kasus perkara kliennya ini mau diteruskan kalau ketiga saksi kunci tersebut tidak bisa dihadirkan oleh JPU. “Gak jelas. Janji JPU, ketiga saksi yang tidak bisa hadir di muka persidangan pada hari ini, mau dihadirkan. Janjinya ketiga saksi mau dihadirkan pada tanggal 3 Mei 2023. Karena ketiga saksi tersebut adalah saksi kunci,” paparnya.
“Ketiga saksi kumci tersebut karena adalah orang yang membuat transaksi kok tidak dihadirkan? Ada apa dia?” tanyanya heran.
Ia menilai ada sesuatu yang tidak benar dalam perkara kasus kliennya ini. “Sudah jelas kok. Saya sama pendapatnya dengan anggota tim Kuasa Hukum terdakwa mantan Wakabareskrim Mabes Polri Johny M Samosir lainnya,” terangnya.
Dijelaskannya, saksi Fenny lah yang mentransfer uang Rp95 miliar kepada PT KPP. “Keterangan Fenny di muka persidangan tidak ada masalah karena dia hanya mentransfer uang tersebut berdasarkan data-data yang ada. Maka uang Rp95 miliar tersebut ditransfer kepada PT KPP. Saksi Fenny tidak tahu yang menerima uang tersebut siapa karena saksi Fenny tidak melihat siapa orang yang menerima uang tersebut,” katanya.
Ia mengatakan, harusnya saksi Fenny tahu penerima uang Rp95 miliar tersebut siapa namanya. “Sebagai orang yang duduk di bagian keuangan PT KPP harusnya tahu dong uang ditransfer kepada siapa namanya. Karena uang Rp95 miliar itu bukan jumlah yang kecil loh. Masa uang Rp95 miliar tidak tahu ditransfer ke siapa. Bagi saya non sense (tidak masuk akal) itu,” jelasnya.
“Uang Rp95 miliar tersebut untuk uang pembayaran 34 surat tanah,” paparnya.
Dikatakannya, saksi Edy Wijaya, bahwa saksi menjabat sebagai Direktur Operasional di PT KPP setelah ada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), bersama Johny M Samosir karena direksi lama kabur. “Setelah menjabat tidak memiliki data-data dan tidak tahu terjadi jual beli antara PT KPP dan PT VDNIP. Saksi tahu ada jual beli setelah diberitahu oleh polisi di dalam pemeriksaan sebagai saksi,” terangnya.
“Saksi Edy Wijaya menjelaskan, bahwa dari 64 (enam puluh empat) sertifikat dan lampirannya yang diserahkan dari Notaris Sabilal Ikhsan oleh Johny M Samosir dititipkan kepada Chen Jou Ching selaku pemegang saham 15,9% di PT KPP untuk keamanan surat-surat tersebut karena PT KPP setelah ditinggal pergi Huang Guo Chao tidak punya kantor,” katanya.
Terkait penitipan barang kepada Chen Juo Ching, sambungnya, Johny M Samosir tidak mendapat keuntungan apapun dan tidak ada niatan untuk dijual belikan atau digadaikan. “Saksi Edy Wijaya menjelaskan, bahwa PT KPP mendapat izin kawasan sekitar 720 Hektare (Ha) kemudian dengan perjanjian No 65 dijual ke PT VDNI seluas 500 Ha dengan harga Rp600 juta per Ha, sehingga apabila PT KPP menjual lagi ke PT VDNIP seluas 325 Ha seharusnya tidak bisa,” jelasnya.
“Saksi Edy Wijaya menjelaskan, untuk pembelian tanah oleh PT VDNI yang 500 Ha baru dibayar sebesar Rp42 miliar dan sisanya belum ada pembayaran lagi,” terangnya.
Dijelaskannya, saksi Edy Wijaya menjelaskan, untuk 64 sertifikat dan lampirannya yang dijadikan dakwaan JPU, bahwa sertifikat tersebut digelapkan oleh terdakwa Johny M Samosir telah dikembalikan sebanyak 38 sertifikat beserta lampirannya. “Menurut keterangan polisi yang dikembalikan tidak ada kaitannya dengan kasus penggelapan,” urainya.
“Saksi Edy Wijaya menjelaskan, bahwa 26 sertifikat sekarang berada di polisi, sebetulnya milik masyarakat dan milik PT Jalur Lintas Konawe yang harusnya dipisahkan dulu dan tidak ada milik PT VDNIP,” ujarnya.
Dijelaskannya, saksi Edy Wijaya menjelaskan, bahwa tahun 2016 perizinan tanah untuk PT KPP sudah mati seharusnya tidak dapat diperjual belikan. “Setelah menjadi Direktur Operasional PT KPP saksi Edy Wijaya atas perintah Johny M Samosir pada tanggal 20 juni 2019 melaporkan kepada Polda Sultra tentang tindak pidana penggelapan dalam jabatan dan pencucian uang yang dilakukan saudara Huang Zao, Chao Wang Bao Guang dan Chen Cao Zuang dan kasus berjalan normal sampai mereka dinyatakan menjadi tersangka dan dikeluarkan Red Notice serta kerjasama P to P. Namun, saksi Zhu Mindong dan saksi Dian Amor Bukit dipanggil 2 (dua) kali dan dikeluarkan Surat Penjemputan dua kali dan polisi tidak berhasil menanganinya,” katanya.
“Sejalan dengan waktu, Zhu Mindong melalui kuasanya Davin Pramanadita melaporkan Johny M Samosir ke Mabes Polri. Kasus laporan Zhu Mindong diproses lanjut sampai proses pengadilan, namun laporan saksi di-SP3-kan atau diberhentikan dengan alasan tidak cukup bukti,” jelasnya.
Keterangan saksi Venny, imbuhnya, bahwa saksi Venny melakukan pembayaran jual beli tanah sebesar Rp95 miliar melalui BNI pada tanggal 28-03-2018 atas perintah lisan 2 (dua) bos saksi Zhu Mindong dan tidak tahu di mana keberadaannya Zhu Mindong pada waktu itu,” terangnya.
“Saksi Venny menyatakan, hanya bayar untuk jual beli tanah tidak ada perintah untuk membayar pajak dan saksi tidak tahu kalau jual beli tanah harus bayar pajak,” ungkapnya.
Menurutnya, pelaksanaan jual beli tanah antara PT KPP dan PT VDNIP saksi Venny tidak mengetahui. “Saksi Venny tidak tahu dan tidak bisa menghubungi penerima uang tersebut dan hanya tahu uang dikirim ke Nomor Rekening PT KPP dan setelah ditransfer, saksi Venny lapor ke Zhu Mindong dan tanda transfer dikirim ke staf legal,” tandasnya.
Perlu diketahui, terdakwa
Wakabareskrim Mabes Polri Irjen Pol (Purn) Johny M Samosir
ditahan penyidik sebagai Direktur PT KPP setelah dikhawatirkan akan melarikan diri. PT KPP merupakan perusahaan pembangun dan perintis Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Konawe di Kabupaten Konawe, Provinsi Sultra sejak 2013.
PT KPP diundang oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Konawe untuk berinvestasi dalam pembangunan kawasan Industri di atas lahan seluas 5.500 Hektare (Ha). Perizinan dan rekomendasi telah dimiliki oleh kliennya dalam mengelola kawasan industri Konawe dan telah berhasil membebaskan lahan sekitar 730 Ha.
Termasuk membangun infrastruktur, seperti membangun jalan sepanjang 32 Kilometer (Km) persegi, pelabuhan, dan lain-lainnya untuk bisa menjadi kawasan industri dalam waktu 8 (delapan) bulan sejak berinvestasi. Bahwa dalam perkembangannya, perjanjian kontrak kerja antara pihak kliennya dan pihak PT VDNI terindikasi adanya konspirasi dalam tindak kejahatan yang dilakukan oleh Direktur Perusahaan PT KPP yang terdahulu yaitu Huang Zuochao. Huang Zuochao telah diberhentikan dari kedudukannya sebagai Direktur Utama (Dirut) berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada 27 Agustus 2018. Pemberhentian itu tertuang dalam Akta Pernyataan Keputusan RUPS PT KPP Nomor 2 pada 3 September 2018 yang dibuat di hadapan Musa Muamarta, Notaris di Jakarta.
Selanjutnya, terjadi perubahan Dirut, yang telah diberitahukan kepada Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (KemenkumHAM) RI sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku serta telah diterima oleh KemenkumHAM RI. Lalu terdakwa Johny M Samosir memerintahkan Wakil Direktur (Wadir) atas nama Eddy Wijaya untuk membuat Laporan Polisi (LP) di Polda Sultra.
LP tersebut sebagaimana teregistrasi dalam LP Nomor: LP/281/VI/2019/SPKT Polda Sultra tertanggal 20 Juni 2019. LP itu disampaikan PT Konawe Putra Propertindo karena terjadinya Tindak Pidana Penggelapan dalam jabatan atau penggelapan hak atas tanah dalam Perseroan Terbatas (PT). Diduga pula, terjadi Tindak Pidana di bidang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Diduga juga ada keterlibatan pihak-pihak lain. Karena dari hasil pengumpulan alat bukti, petunjuk, saksi-saksi diketahui telah terjadi penggelapan atas aset-aset dan uang PT KPP oleh tersangka Huang Zuochao dan Wang Bao Guang. (Murgap)