Tim Penasehat Hukum terdakwa Laksamana Muda (Purn) Agus Purwoto, Forum Advokat Spesialist Tipikor (FAST) yang diketuai oleh RM Tito Hananta Kusuma SH MM foto bersama anggota lainnya yakni AP Silalahi SH, Hasan Basri SH MH, Humaidi Fikri SH, Dr Anwar Sadat Tanjung SH MH, Dr Sabela Gayo SH MH, Puguh Wirawan SH MHum, Dwi Atmoko SH MH, Ahmad Balya SH MH, Andi Faisal SH MH, Akmal Hidayat SH SHI MH, Mila Ayu Dewata Sari SH SE, Asgar Hasrat Sjafri SH, Rinto Dani Wicaksono SH, Roland Hutabarat SH MH, Marulitua Siringoringo SH,
Hesti Valentina SH, Suryo Wicaksono SH, Dimas Noor Ibrahim Kuncorodjati SH, Rezky Wirmandi SH dan para Asisten Advokat yakni Feri Ferdinal SKom SH, Darul Akram SH, Abdullah Rizky SH, Rezha Setiawan SH,
Renato Balstra Van Tou SH dan
Syahrika Wifra SH di teras PN Jakpus, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis (09/03/2023). (Foto : Murgap Harahap)
Jakarta, Madina Line.Com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) kembali menggelar acara sidang lanjutan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) kontrak sewa satelit Artemis Avanti di Kementerian Pertahanan Republik Indonesia (Kemenhan RI) tahun 2015 dengan 4 (empat) terdakwa di ruang Prof Dr HM Hatta Ali SH MH, Jalan Bungur, Kemayoran, Kamis (09/03/2023).
Terdakwa dalam perkara ini adalah Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan (Dirjen Kuathan) Kemenhan RI periode Desember 2013 sampai Agustus 2016 Laksamana Muda (Purn) Agus Purwoto, Komisaris Utama (Komut) PT Dini Nusa Kusuma (DNK), Arifin Wiguna dan Direktur Utama (Dirut) PT DNK, Surya Cipta Witoelar. Selain itu, ada satu terdakwa yang merupakan Warga Negara Asing (WNA) asal Amerika Serikat (AS) bernama Thomas Van Der Heyden.
Pada sidang kali ini, dihadirkan 8 (delapan) saksi termasuk terdakwa yang merupakan WNA asal AS bernama Thomas Van Der Heyden untuk memberikan keterangan di hadapan majelis hakim, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan tim Kuasa Hukum dari masing-masing terdakwa. Keempat terdakwa dalam kasus ini diduga melakukan pengadaan satelit slot orbit 123 derajat BT kontrak sewa satelit Artemis dari Avanti dengan dalih, bahwa dalam kondisi darurat untuk menyelamatkan Alokasi Spektrum pada slot orbit 123 derajat BT.
Namun, ternyata satelit Artemis yang telah disewa tidak berfungsi karena spesifikasi satelit tersebut tidak sama dengan satelit sebelumnya, yaitu Garuda-1. Tindakan secara melawan hukum dan melanggar peraturan perundang-undangan yang dilakukan para terdakwa itu mengakibatkan kerugian negara.
Perkiraan kerugian negara dari kasus ini berdasarkan laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) RI Nomor : PE.03.03/SR-607/D5/02/2022 tanggal 12 Agustus 2022, kurang lebih Rp453.094.059.540,68. Perbuatan para terdakwa diduga telah memenuhi unsur Tipikor sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto (jo) Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Tim Penasehat Hukum terdakwa Laksamana Muda (Purn) Agus Purwoto,
Forum Advokat Spesialist Tipikor (FAST) yang diketuai oleh RM Tito Hananta Kusuma SH MM mengatakan, perbuatan terdakwa Agus Purwoto adalah keputusan diskresi dan tidak dapat dipidana, bahwa berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertahanan RI (Menhan RI) Nomor : KEP/2069/M/XII/2017 Tentang Penetapan Penyedia Jasa Penyewaan Satelit Slot Orbit GSO 123 BT dan Pendukungnya, maka penyewaan Satelit Avanti adalah perbuatan diskresi. “Diskresi berdasarkan Undang-Undang RI (UU RI) Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan : Pasal 1 ayat (9) yang berbunyi Diskresi adalah Keputusan dan atau Tindakan yang ditetapkan dan atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan atau adanya stagnasi pemerintahan,” ujar RM Tito Hananta Kusuma SH MM kepada wartawan Madina Line.Com ketika ditemui usai acara sidang ini.
“Pasal 9 ayat (4) Ketiadaan atau ketidakjelasan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, tidak menghalangi Badan dan atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang untuk menetapkan dan atau melakukan Keputusan dan atau Tindakan sepanjang memberikan kemanfaatan umum dan sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUB),” terangnya.
Dijelaskannya, terdakwa Agus Purwoto hanyalah melaksanakan perintah atasan yang berdasarkan pasal 51 KUHP yang berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak boleh dipidana”, maka dari itu, perbuatan terdakwa hanyalah melaksanakan perintah atasan dari Kemenhan RI, sehingga tidak ada unsur melawan hukum dalam perkara ini, sehingga tidak dapat dipidana. “Terdakwa Agus Purwoto tidak menerima dan tidak menikmati hasil dugaan korupsi yang diterima oleh pihak Avanti Comunications Limited, bahwa sesuai dengan surat dakwaan JPU seluruh uang yang diduga merugikan keuangan negara kurang lebih Rp450 miliar, sepenuhnya diterima oleh Avanti dan tidak ada sama sekali diterima oleh terdakwa klien kami,” tegasnya.
“Terdakwa Agus Purwoto menegaskan, bahwa yang bersangkutan siap dirujuk ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan dapat dirujuk pula ke Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) pada Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) terakhir tahun 2019 yang telah dipublikasikan oleh KPK, karena beliau (Agus Purwoto) tidak pernah menerima apa pun dalam perkara ini,” ungkapnya.
Kami mempertanyakan, sambungnya, tidak adanya kepastian hukum dari Kejaksaan Agung RI (Kejagung RI) dalam menyikapi perkara ini karena dalam proses persidangan Arbitrase Avanti ada SK Khusus dari Kemenhan RI kepada Kejagung RI, hal itu membuktikan, bahwa semua hal ini telah diketahui oleh Kejagung RI yang pada saat Jaksa Agung yang lama yaitu HM Prasetyo dan sudah memberikan laporan ke Presiden RI terkait Pembayaran Kewajiban Arbitrase Avanti dan di dalam surat tersebut menyatakan perkara tersebut telah selesai, sehingga menjadi aneh bagi kami ketika Jaksa Agung di era berikutnya yaitu Jaksa Agung yang sekarang malah menjadikan perkara ini sebagai dakwaan, dalam hal ini pihaknya menanyakan tanggapan kepastian hukum yang diterapkan dalam perkara ini karena adanya perbedaan kebijakan dari 2 (dua) Jaksa Agung yang berbeda. “Kami juga menyayangkan adanya ketidakadilan dalam perkara ini karena Avanti Comunications Limited sebagai pihak yang menerima dan menikmati dana tersebut tidak pernah diperiksa oleh Kejagung RI,” paparnya.
“Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa dalam praktek Tipikor yang selalu menjadi tersangka, terdakwa, bahkan terpidana adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan KPA (Kuasa Pengguna Anggaran), sementara Agus Purwoto bukanlah PPK maupun KPA. Pada saat itu, sama sekali tidak dijadikan tersangka dalam perkara ini,” jelasnya.
Menurutnya, ia selaku Penasehat Hukum (PH) berkeyakinan, bahwa terdakwa Agus Purwoto merupakan korban dari seputar kasus Satuan Komunikasi Pertahanan (Satkomhan), dan masyarakat nantinya dapat menilai saat persidangan yang kami mohon dapatnya untuk dilaksanakan secara “Terbuka” agar kita sama-sama bisa menilai dan mengetahui siapa di balik munculnya permasalahan ini. “Kami sampaikan, bahwa pada saat permasalahan ini muncul, beliau (Agus Purwoto) masih aktif menjadi Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) yang menjabat sebagai Dirjen Kuathan Kemenhan RI periode 24 Agustus 2012 sampai dengan 2 September 2016 di Kemenhan RI,” urainya.
“Berdasarkan Peraturan Menteri Pertahanan (Permenhan) RI Nomor 17 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pengadaan Alat Utama Sistim Persenjataan (Alutsista) di lingkungan Kemenhan RI dan TNI pada pasal 10 dinyatakan, bahwa Dirjen Kuathan Kemenhan RI adalah Pengendali Fungsi Pemenuhan Kebutuhan Kekuatan Pertahanan dan Bukan ditetapkan sebagai PPK untuk Unit Organisasi Kemenhan RI. Sangat jelas pada Permenhan RI tersebut, bahwa terdakwa Agus Purwoto bukan sebagai PPK dan tentunya juga bukan menjabat sebagai PA (Pengguna Anggaran) dan KPA saat menandatangani dokumen dengan Avanti, sehingga dalam perkara ini tidak tepat menjadi terdakwa dan diadili dalam perkara ini,” ungkapnya.
Selain itu, sambungnya, berdasarkan pasal 47 Permenhan RI Nomor 17 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pengadaan Alutsista di lingkungan Kemenhan RI dan TNI ditentukan, bahwa Pembelian langsung (Pl) dilakukan terhadap calon penyedia yang paling mampu memenuhi sesuai efektif kebutuhan mendesak. “Terkait adanya hasil audit BPKP RI yang menyatakan, adanya kerugian negara dalam perkara ini, kami Tim Penasehat Hukum berkeyakinan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung (MA) Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Salah satu poinnya rumusan kamar pidana (khusus) yang menyatakan hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang secara konstitusional berwenang menyatakan kerugian keuangan negara. Ini artinya, bahwa SEMA Nomor 4 Tahun 2016 menegaskan, bahwa BPKP RI tidak berhak menyatakan kerugian negara,” jelasnya.
Dikatakannya, Agus Purwoto sebagai terdakwa juga mengambil hikmah dari perkara ini agar di masa depan tidak terjadi lagi dugaan korupsi seperti perkara ini agar BPKP RI dilibatkan dalam proses pengadaan untuk memberikan Pre-Audit untuk mencegah dugaan kerugian negara. “Selanjutnya, dilibatkan BPK RI untuk memberikan review sebelum dilaksanakan transaksi pembayaran melalui keabsahan dan kelengkapan dokumen yang akan dijadikan sebagai dasar transaksi pembayaran oleh pihak yang telah ditetapkan sesuai Permenhan RI Nomor 17 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pengadaan Alutsista di lingkungan Kemenhan RI dan TNI,” tandasnya. (Murgap)