Oleh : Timboel Siregar
Penolakan terhadap kehadiran Undang-Undang (UU) Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK) dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja terus terjadi. Klaster ketenagakerjaan UU CK diyakini menurunkan perlindungan bagi pekerja formal. Tentunya pasal-pasal di UU CK klaster ketenagakerjaan yang menurunkan perlindungan bagi pekerja formal sudah menjadi diskusi umum di media-media.
UU CK yang dikampanyekan akan mengatasi defisit angkatan kerja sepertinya masih isapan jempol semata. UU CK belum mampu mengatasi defisit angkatan kerja di sektor formal. UU CK hanya lebih banyak menambah jumlah pekerja informal yaitu sebanyak 2.58 juta (antara Agustus 2021 ke Agustus 2022), sehingga jumlah pekerja informal terus bertambah lebih cepat dengan total saat ini sebanyak 80 jutaan pekerja informal.
Dengan jumlah yang bertambah banyak, tentunya UU CK juga tidak memberikan perlindungan kepada pekerja informal. Kalau pun ada program jaminan sosial yang baru yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), program ini pun dikhususkan untuk pekerja formal, tidak diberikan kepada pekerja informal.
Selama setahun, program JKP memberikan manfaat (Februari 2022 hingga saat ini) ternyata pekerja formal yang ter-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) yang mendapat manfaat JKP dan kembali bekerja, lebih banyak yang masuk bekerja di sektor informal, sementara yang kembali bekerja di sektor formal lebih sangat sedikit.
Memang kebijakan Pemerintah Republik Indonesia (RI) kerap kali meninggalkan pekerja informal. Program Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang sudah 3 kali diberikan, semuanya hanya untuk pekerja formal. Pekerja informal ditinggalkan.
Kalau pun Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 tahun 2013 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 5 tahun 2021 mewajibkan pekerja informal ikut program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm), faktanya sampai saat ini, baru 6 sampai 7 juta pekerja informal yang ikut JKK JKM, dari 80 jutaan pekerja informal saat ini.
Pasal 34 Permenaker Nomor 5/2021 yg mewajibkan aplikator mendaftarkan pekerja ojek online (ojol) ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, tapi sampai saat ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) membiarkan Pasal 34 tidak berjalan dengan baik, sehingga masih ratusan ribu sampai jutaan pekerja ojol tidak terlindungi di BPJS Ketenagakerjaan.
Pasal 14 dan Pasal 17 UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) mewajibkan Pemerintah RI mendaftarkan masyatakat miskin ke program jaminan sosial (jamsos), namun sampai saat ini pekerja informal miskin tidak kunjung didaftarkan pemerintah pusat ke program JKK dan program JKm. Belum ada Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKK dan JKm dari Amggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Terjadi pembiaran oleh Pemerintah RI terhadap pekerja informal, namun kerap kali pekerja informal dijadikan tameng alasan oleh Pemerintah RI dalam membuat regulasi ketenagakerjaan yang baru seperti klaster ketenagakerjaan di UU CK. Alasan yang biasa disampaikan, kita harus peduli kepada pekerja informal yang mau masuk ke sektor formal, sehingga regulasi harus mendukung hal tersebut. Menjadikan tameng pekerja informal tapi Pemerintah RI sangat lalai melindungi pekerja informal.
Perlindungan pekerja formal menurun dan lalainya perlindungan bagi pekerja informal menjadi fakta dalam UU CK, yang juga dilanjutkan oleh Perppu CK. *** (Penulis adalah Sekjen OPSI dan Koordinator Advokasi BPJS Watch)